Jumat, 14 Maret 2014

Dimulai

Intermezzo

Hari ini hari Minggu, satu hari sebelum masuk sekolah hari pertama di taun ajaran baru. Cuaca cerah menyelimuti daerah sekitar Jabodetabek. Pagi – pagi sekitar pukul tujuh Ridhan sudah berada di daerah Kebon Nanas, Tengerang untuk menunggu bus jurusan ke Bandung lewat. Disebuah halte yang berada di dekat jembatan penyebrangan dia terlihat duduk santai sambil mendengarkan MP3 dari telepon genggamnya dan juga menikmati sarapannya sebuah roti isi dan susu kotak. Ridhan hari ini ada janji bertemu Sigi di Bandung pada siang hari. Kegiatan ini tidak dia ceritakan kepada teman – temannya. Yang dia ceritakan kepada teman – temannya hanyalah bahwa dia akan berangkat ke Bandung pada siang hari dan sampai kira – kira pada sore hari. Beberapa hari sebelumnya Ridhan memang pernah mengajak Sigi untuk bertemu di Bandung lewat telepon dan Sigi menerima ajakan tersebut, namun terdengar suara Sigi agak terpaksa saat menerima ajakan Ridhan yang memang pada saat itu agak sedikit memaksa Sigi. Maka dari itu Ridhan tidak menceritakan kepada teman – temannya tentang pertemuan ini karena gengsi takut diolok - olok oleh teman – temannya. Ridhan bisa mencapai halte yang sekarang sedang dia tempati ini diantar oleh ayahnya karena letaknya yang sangat jauh dari rumah orang tuanya yang berada di daerah Serpong. Tidak lama setelah dia duduk di halte sekitar lima belas menit bus yang diharapkan pun datang, sontak Ridhan pun beranjak dari tempat duduknya dan memberi isyarat kepada bus itu untuk naik. Bus terlihat masih kosong, hanya ada beberapa penumpang saja didalamnya. Ini mungkin karena masih pagi. Ridhan pun memilih posisi di tengah dan duduk di dekat kaca agar bisa melihat pemandangan. Ridhan pun akhirnya berangkat ke Bandung dengan perasaan yang gembira penuh suka cita sambil ditemani lagu slow milik Maroon5 yang berjudul Sunday Morning dan lagu Edson yang berjudul Sunday Lovely Sunday dari telepon genggamnya yang dia putar berkali – kali. Lagu – lagu tersebut membuatnya merasa sangat nyaman sampai lama – lama dia merasa mengantuk. Ditambah AC bus yang dingin membuatnya tambah mengantuk dan akhirnya dia pun tertidur. Perjalanan dari Tangerang menuju Bandung waktu itu tidak banyak memakan waktu, lalu lintas yang tidak terlalu padat di tol Cipularang dan sekitarnya membuat perjalanan tersebut hanya memakan waktu sekitar tiga jam. Sekitar jam setengah sepuluh Ridhan terbangun karena ada sebuah pesan singkat masuk ke teleponnya. Ternyata itu dari Ewin.
“Woi Dhan, jadi ke kosan gue ga hari ini? Udah ada Toro, Iyan, sama Banyu nih.” Isi pesan singkat Ewin.
“Jadi ini baru mau berangkat bro.” Jawab Ridhan berbohong.
Ketika Ridhan terbangun ternyata bus yang dia tumpangi sudah sampai daerah Padalarang, artinya ini sudah dekat dengan daerah tujuan. Bus tersebut keluar di pintu tol Pasir Koja, setelah itu bus tersebut menuju ke terminal Leuwi Panjang. Di terminal tersebutlah pemberhentian terakhir bus tersebut. Sekitar jam sepuluh Ridhan akhirnya sampai di terminal Leuwi Panjang. Kali ini dia harus mencari angkot untuk mencapai rumah neneknya yang berada di daerah Buah Batu. Untuk mencapai komplek rumah neneknya dia harus dua kali naik angkot. Setelah sampai didepan komplek Ridhan harus berjalan dahulu untuk mencapai rumah neneknya. Untungnya dia tidak harus berjalan jauh untuk mencapai rumah neneknya. Setelah sampai dia pun langsung menyapa neneknya yang sedang menyapu di halaman dan tidak lupa untuk cium tangan.
“Kamu kok ga bilang mau dateng?” Tanya neneknya.
“Eh iya Eyang, Ridhan lupa.” Jawab Ridhan sambil cengengesan.
“Ridhan masuk dulu ya Yang.” Lanjut Ridhan.
Setelah menyapa neneknya, Ridhan pun langsung masuk ke rumah. Dia melewati ruang tempat menonton televisi dan disitu terlihat tantenya yang judes sedang menonton televisi. Ridhan pun langsung menyapanya dan cium tangan. Tanpa banya basa – basi Ridhan langsung pergi menuju kamarnya untuk menyimpan ranselnya. Tidak lama dia beranjak keluar dari kamarnya menuju garasi untuk memanaskan motor skuternya. Ridhan mendapatkan skuter ini dari orang tuanya ketika dia berhasil naik kelas kemarin. Orang tuanya menghadiahi Ridhan skuter tersebut karena Ridhan berhasil naik kelas. Ridhan sebenarnya agak bingung kenapa dia sampai dihadiahi, karena sebenarnya dia adalah calon tidak naik kelas sebelumnya. Namun dia pikir juga rezeki itu tidak boleh ditolak, dia hanya bisa bersyukur.
“Mau kemana Dhan?” Tanya neneknya ramah.
“Mau ketemu temen Yang.” Jawab Ridhan.
Tidak begitu lama Ridhan memanaskan motornya, setelah sekitar tujuh menit dia mematikan mesin skuternya. Lalu dia bersiap – siap dikamar. Dia memakai parfum dengan jumlah cukup banyak sehingga bau parfumnya tercium hingga radius lima meter. Dan Ridhan pun akhirnya siap berangkat menjemput Sigi dengan motor barunya. Tidak lupa dia menggunakan helm dan membawa helm satu lagi yang nantinya akan digunakan oleh Sigi. Rumah Sigi berada didaerah Male’er disekitar jalan Gatot Subroto, Bandung. Rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah baru Iyan. Untuk mencapai daerah Male’er, Ridhan menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit, karena lalu lintas agak padat siang hari itu. Kalau lalu lintas lancar dia hanya membutuhkan waktu sekitar lima belas menit perjalanan dengan motor. Sigi meminta agar dijemput bukan di rumah namun didepan gang rumahnya. Sigi beralasan takut orang tuanya tau waktu itu. Ridhan agak curiga dengan permintaan sigi namun dia memilih untuk tidak terlalu memikirkannya yang terpenting Sigi menerima ajakannya siang ini. Sigi menunggu didepan gang rumahnya yang berhiaskan sebuah gapura warna putih dengan sedikit corak warna merah. Gapura tersebut dihias seperti itu untuk memperingati hari kemerdekaan taun kemarin. Dibawah pohon rindang yang melindungi terik matahari, Sigi menunggu Ridhan yang berjanji akan menjemputnya. Sigi mengenakan kaos lengan pendek berwarna putih yang ditutupi sebuah vest berwarna hitam dan juga celana jeans warna biru dongker. Semua kombinasi tersebut dilengkapi oleh sepatu kads dan tas selempang kecil berwarna hitam yang dia kenakan menyilang. Ridhan yang ditunggu akhirnya pun datang setelah tidak terlalu lama Sigi sampai di gapura untuk menunggunya.
“Hai, udah lama?” Ridhan menyapa.
“Belom kok, baru aja sampe.” Jawab Sigi tersenyum.
“Kita kemana sekarang?” Tanya Ridhan.
“Terserah kamu aja deh, tapi jangan terlalu sore ya, aku ada janji.” Jawab Sigi.
“Yaudah deh kita ke es goyobod di jalan Kliningan aja yuk.” Ajak Ridhan.
‘Boleh deh, pas banget cuaca lagi panas sekarang.” Jawab Sigi.
“Nih kamu pake helm ya biar aman.” Kata Ridhan sambil memberikan helm.
“Iya, makasih ya.” Jawab Sigi sambil tersenyum.
“Aku naik ya Dhan.” Pinta Sigi.
“Iya, Silahkan.” Jawab Ridhan sambil tersenyum.
Setelah semuanya siap mereka berdua pun akhirnya berangkat. Jarak antara daerah Male’er dan tempat tujuan mereka tidak terlalu jauh. Ridhan memilih jalan melewati daerah Turangga untuk menghindari kemacetan yang lebih parah. Sebenarnya di daerah sekitar Turangga juga macet karena hari Minggu, akan tetapi tidak separah di jalan – jalan utama. Ridhan duduk didepan sambil mengendarai sepeda motornya, tangan kanannya mengendalikan gas motor sekaligus rem depan sedangkan tangan kirinya mengendalika rem belakang. Sigi duduk dibelakangnya, dia tidak berpegangan kepada besi melingkar yang berada dibelakang jok. Kedua tangannya merangkul melindungi tas selempang kecil yang dia bawa, ada jarak antara tempat duduknya dengan Ridhan. Suasana hening tecipta selama beberapa menit selama awal perjalanan, sampai akhirnya Sigi membuka pembicaraan di motor.
“Dhan tau ga kalau nanti kelas bakal di acak?” Tanya Sigi.
“Hah? Apa Gi? Ga kedengeran.” Jawab Ridhan.
“Yaudah nanti aja Dhan di omonginnya.” Kata Sigi.
Ridhan yang pendengarannya terhalang oleh helm waktu tidak menjawabnya lagi. Dia berkonsentrasi ke jalan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Pertanyaan Sigi hanyalah kalimat basa – basi pembuka, sebenarnya ada sesuatu yang ingin dia beri tau kepada Ridhan. Sesuatu yang menurut Sigi sangat penting, dan Ridhan harus tau. Tidak lama akhirnya mereka memasuki jalan Kliningan. Ada banyak pohon rindang di pinggir – pinggir jalan ini. Udara panas yang dari tadi terasa terik pun berubah menjadi adem dan sejuk. Mereka pun langsung menuju tempat tujuan mereka. Terlihat ada sebuah gerobak besar di pinggir jalan dan terdapat tulisan Es Goyobod pada gerobak tersebut. Ada banyak kursi dan meja di sekitar gerobak tersebut. Di sisi lain ada banyak juga motor yang diparkirkan. Ridhan pun langsung memarkirkan motornya, melepaskan helm dan menggantungnya di spion sebelah kanan. Lalu dia membantu Sigi melepaskan helm yang dipakai oleh Sigi dan menggantungnya di spion sebelah kiri. Mereka berdua lalu mencari meja yang kosong. Warung tersebut cukup ramai pengunjung, ini menyulitkan mereka untuk mendapatkan meja. Ternyata masih ada satu meja kosong. Ridhan meminta Sigi untuk duduk duluan dan dia memesankan dua buah es goyobod untuk mereka berdua. Setelah selesai memesan lalu Ridhan menghapiri Sigi yang sudah duduk duluan dan memperhatikan Ridhan dari tempat duduknya.
“Enak ya tempatnya Dhan.” Sigi membuka pembicaraan.
“Iya Gi adem, padahal sekarang matahari lagi sangar – sangarnya ya.” Jawab Ridhan.
“Eh iya tadi pas di motor kamu mau ngomong apa?” Tanya Ridhan.
“Kamu udah tau belom kalo nanti kelas bakal diacak?” Tanya Sigi.
“Belom, kamu tau dari siapa?” Ridhan agak kaget.
“Rachmi waktu itu ngasih tau aku.” Jawab Sigi.
“Dia kok ga ngasih tau aku ya? Nanti kita bisa ga sekelas ya.” Ridhan cemas.
“Justru aku harap kita nanti ga sekelas Dhan.” Jawab Sigi.
“Loh kok gitu Gi?” Ridhan kaget.
“Soalnya…..” Sigi belum selesai menjelaskan.
“Punten A! Teh! Ini es goyobodnya.” Pelayan memotong pembicaraan.
“Makasih ya Mang.” Jawab Sigi sambil tersenyum.
“Nuhun Mang, taro aja disitu.” Jawab Ridhan agak kesal sambil menunjuk meja.
“Kamu kok sewot gitu? Kan udah dianterin es goyobodnya.” Tanya Sigi.
“Kesel aja. Terus kenapa kamu gamau sekelas lagi sama aku?” Kata Ridhan.
“Nanti ya, mending kita abisin dulu ini.” Jawab Sigi sambil mengaduk es goyobodnya.
“Yaudah deh.” Jawab Ridhan kecewa.
Lalu suasana hening pun tercipta selama mereka berdua menghabiskan es goyobodnya masing – masing. Ridhan dengan cepat menghabiskan es goyobodnya karena terbawa rasa penasaran yang berlebihan.
“Oke aku udah abis nih, ayo jawab pertanyaan aku.” Ridhan kembali membuka pembicaraan.
“Tunggu dong Dhan, aku masih ada sedikit lagi nih. Ini bukan lomba.” Jawab Sigi.
“Yaudah deh, aku mau nyari toilet dulu deh.” Kata Ridhan.
Ridhan pun akhirnya beranjak dari tempat duduknya untuk mencari toilet. Ternyata disekitar warung itu tidak ada toilet sehingga dia harus mencari mesjid terdekat, dan mesjid terdekat ada di ujung jalan yang cukup jauh. Dia harus berjalan cukup lama untuk pergi ke toilet dan kembali lagi menghampiri Sigi. Ini memakan waktu cukup lama sehingga rasa penasarannya pun hilang terbawa angin selama perjalanan bolak balik ke toilet. Akhirnya dia pun kembali.
“Kok lama banget? Jauh ya?” Tanya Sigi.
“Iya Gi maaf yah.” Jawab Ridhan.
“Eh iya Gi aku mau ngomong sesuatu.” Kata Ridhan.
“Apa Dhan?” Tanya Sigi agak bingung.
“Sebenernya aku sengaja ngajak kamu kesini sekarang, ada sesuatu yang pengen aku tanya.” Ridhan menjelaskan.
“Iya ada apa Dhan?” Tanya Sigi sambil menatap mata Ridhan.
Tatapan mata Sigi membuat Ridhan sulit untuk berbicara dan takluk.
“Ini Gi, sebenernya aku itu.” Ridhan terbata – bata.
“Kamu kenapa Dhan?” Tanya Sigi masih sambil menatap mata Ridhan.
Tatapan matanya kali ini makin menghancurkan mental Ridhan.
“Aku itu suka sama…” Ridhan terbata – bata.
‘Sama Rachmi?” Tanya Sigi memotong pembicaraan.
“Bukan, kok Rachmi sih?” Ridhan kaget.
“Soalnya kamu deket kan sama dia.” Sigi menjelaskan.
“Bukan Gi, aku sukanya sama kamu.” Kata Ridhan.
“Kamu mau jadi pacar aku?” Lanjut Ridhan.
Sigi terkejut mendengar pernyataan dari Ridhan. Ternyata selama ini apa dia rasakan dirasakan juga oleh Ridhan. Dia merasa senang akhirnya Ridhan mau bicara jujur kepadanya dan diucapkan secara langsung. Namun dia juga merasa kecewa dalam waktu yang bersamaan.
“Kamu telat seminggu Dhan.” Jawab Sigi sambil tersenyum dan matanya berkaca – kaca.
“Maksudnya?” Tanya Ridhan.
“Aku udah sama yang lain, dan ini udah seminggu.” Sigi menjelaskan.
“Dari kapan Dhan?” Tanya Sigi.
“Dari pas kita pulang bareng ujan – ujanan Gi.” Jawab Ridhan lesu.
“Kenapa baru sekarang?” Tanya Sigi lagi.
“Aku belum ada keberanian sebelum – sebelumnya.” Jawab Ridhan tambah lesu.
“Aku juga udah nunggu dari pas kita pulang bareng itu.” Kata Sigi.
Ridhan terkejut mendengar perkataan Sigi. Dia sangat menyesal, dia tidak bisa berkata apa – apa.
“Makanya aku berharap nanti kita ga sekelas, untuk kebaikan kita berdua.” Lanjut Sigi.
“Coba aja kamu ngomong gini pas kita selesai pembagian rapot waktu itu. Aku berharap banget waktu itu.” Kata Sigi.
Ridhan makin terkejut dibuatnya. Dia makin menyesal.
“Maafin aku Gi, Cuma itu yang bisa aku lakukan, Cuma minta maaf.” Kata Ridhan.
“Kalau bener kita beda kelas nanti, aku harap kamu ga berubah sikap jadi beda.” Lanjut Ridhan.
“Iyan Dhan, aku ga akan jadi sombong atau jutek kok.” Jawab Sigi sambil tersenyum.
Suasana hening kembali tercipta, kali ini cukup lama. Mereka seperti sedang saling berbicara satu sama lain, namu tidak sepatah kata pun terucap. Terkadang suasana dapat tercipta dengan sendirinya tanpa harus ada yang berbicara.
“Dhan aku pulang duluan ya.” Sigi memecah keheningan.
“Aku anter Gi.” Ajak Ridhan.
“Ga usah, pacar aku udah jemput tuh. Aku duluan ya.” Jawab Ridhan.
Sigi berjalan menjauh meninggalkan Ridhan terduduk sendiri menghadap ke jalan raya. Sigi berjalan mendekati sosok laki – laki berjaket kulit hitam, mengenakan helm full face merk ternama, menunggangi sepeda motor sport bertenaga besar pabrikan ternama jepang. Sigi duduk dibelakangnya setelah mengenakan helm yang dibawa oleh laki – laki tersebut. Sebelum berangkat Sigi sempat memberikan senyuman kepada Ridhan dari kejauhan dan Ridhan membalasnya dengan senyuman dan lambaian tangan.
“Pantesan. Udah guenya kalah cepet geraknya, motor gue juga kalah kenceng larinya.” Gumam Ridhan dalam hati sambil tersenyum.

Kelas Baru

Proses belajar mengajar di kelas baru sudah berjalan sekitar satu bulan. Ridhan, Iyan, Banyu, Akbar, Adit, Ewin, dan Toro sudah mulai beradaptasi dengan lingkungan kelas barunya. Ewin ditunjuk sebagai wakil ketua kelas, dan ketua kelasnya adalah Dayat. Akan tetapi yang lebih sering melakukan tugas – tugas ketua kelas adalah Ewin, karena Dayat terlalu malas untuk melakukannya. Mereka sudah mulai mengetahui sedikit karakter – karakter penghuni kelas tersebut. Dewi perempuan yang ditaksir oleh Ridhan dan Iyan ternyata memiliki sifat yang sangat santai dan humoris. Ini membuatnya menjadi orang yang paling dekat dengan mereka bertujuh. Ifa perempuan yang duduk satu meja dengan Dewi memiliki sifat yang pasif, jadi dia terlihat seperti yang pendiam dan lugu, akan tetapi dia selalu ikut nimbrung dan tertawa bersama ketika ada bahan obrolan yang menarik. Ifa adalah pendengar yang baik. Dita juga memilik sifat yang hampir sama dengan Dewi, namun karena tempat duduknya yang agak jauh jadi dia tidak terlalu sering berinteraksi dengan mereka bertujuh. Sintia terlihat yang paling tertutup, dia jarang sekali berbicara, dan jika dia berbicara juga itu hanya sedikit. Okta dan Laras juga sama seperti Dita, karena tempat duduknya yang jauh dari jangkauan dia juga jarang berinteraksi dengan mereka bertujuh. Selain itu mereka bertujuh juga sudah mulai berani bertingkah seperti tidur di kelas, mengobrol atau mendengarkan lagu lewat MP3 player pada saat guru sedang menerangkan pelajaran, sampai bolos pelajaran.
“Aduh Yan gue ga ngerti pelajaran kimia ini.” Keluh Ridhan.
“Sama Dhan, kok si Toro sama si Ewin bisa antusias gitu ya keliatannya.” Kata Iyan.
“Gatau dah, mereka kan ngerti  sama ilmu gaib kayak kimia ini.” Jawab Ridhan.
“Liat tuh si Banyu sama si Adit juga antusias keliatannya.” Kata Ridhan.
“Dari tadi nyatet terus soalnya.” Lanjut Ridhan.
“Lu berdua emang ngerti?” Tanya Iyan kepada Adit dan Banyu.
“Kagak, ini mah gue nyatet doang.” Jawab Adit.
“Sama gue juga cuma gambar – gambaran doang.” Jawab Banyu.
“Gambar apa Nyu? Gambar porno ya?” Tanya Ridhan becanda.
“Gue gak kayak lu Dhan.” Jawab Banyu.
“Coba gue liat Nyu gambarnya.” Pinta Iyan.
“Nih.” Jawab Banyu sambil memberikan gambarnya.
“Wah lu gambar si ibu lagi ngajar dari belakang.” Kata Iyan sambil menahan tawa.
“Bagus Nyu gambarnya asli bagus banget.” Kata Ridhan menahan tawanya.
“Sssst! Jangan berisik oi!” Tegur Ewin sambil berbisik.
“Bosen nih gue waketu.” Jawab Iyan.
“Cabut yuk yan, bentar lagi kan istirahat nih.” Ajak Ridhan.
“Pura – pura ke kamar mandi?” Tanya Iyan.
“Iya, gue duluan ya.” Jawab Ridhan.
Istirahat biasanya dimulai jam setengah sepuluh pagi, kali ini waktu menunjukan jam sembilan lewat tujuh menit. Ridhan pun beranjak dari tempat duduknya, melewati meja Adit dan Banyu sambil tersenyum licik. Lalu melewati meja Dewi dan Ifa sambil melirik sedikit kearah Dewi dan tersenyum malu. Melewati meja Sintia dan Dita lalu meja Laras dan Okta. Sintia sempat memperhatikan langkah Ridhan sebentar lalu meneruskan catatannya. Setelah sampai di depan kelas Ridhan langsung menghampiri ibu guru yang sedang mengajar dan meminta izin untuk ke kamar mandi. Setelah diberikan izin dia pun langsung meninggalkan kelas dan sempat memberikan isyarat berupa acungan jempol kepada Iyan. Bukannya ke kamar mandi Ridhan malah menuju kantin Naon – Naon untuk jajan dan santai disana sambil melihat kelas lain yang sedang peraktek olah raga di lapangan basket. Di kelas Iyan menunggu waktu yang pas untuk mempraktekan apa yang Ridhan lakukan. Dia terus menunggu dan terus menunggu. Sampai akhirnya waktu menunjukan jam setengah sepuluh kurang beberapa menit. Iyan pun beranjak dari tempat duduknya, melewati tempat duduk Banyu dan Adit sambil tersenyum licik. Lalu melewati meja Dewi dan Ifa sambil melirik sedikit kearah Dewi dan tersenyum malu. Dia pun langsung meminta izin kepada ibu guru yang sedang mengajar untuk ke kamar mandi. Tiba – tiba bel istirhat pun berbunyi.
“Pelajaran sampai sini dulu ya, silahkan istirahat, dan kamu Iyan silahkan ke kamar mandi.” Kata Ibu Guru.
“Iya bu.” Jawab Iyan yang agak kecewa.
Setelah ibu guru keluar kelas, Adit, Banyu, dan Akbar langsung menghampiri Iyan yang berdiri di depan kelas.
“Naon – Naon yuk!” Ajak Banyu sambil tertawa.
“Pasti si monyong udah nungguin disana dari tadi.” Kata Adit sambil tertawa.
“Kok pada ketawa?” Tanya Akbar.
“Si Iyan tadinya mau cabut kelas tadi, tapi keburu istirahat.” Banyu menjelaskan.
“Oh yaudah deh, sekarang kita ke Naon – Naon.” Jawab Akbar santai.
Mereka berempat pun langsung beranjak ke Naon – Naon untuk menghampiri si monyong yang tak lain dan tak bukan adalah Ridhan. Toro tidak ikut karena dia sudah membawa bekal nasi dari rumah dan Ewin meminta bagian sedikit dari bekal Toro sehingga mereka berdua tetap di kelas.
“Lama amat lu Boncel.” Kata Ridhan.
“Salah perhitungan gue Tem.” Jawab Iyan kesal.
“Yaudah kita ke kantin sebelah sana yuk nyari nasi atau apa gitu.” Ajak Banyu.
“Iya nih gue laper setelah mencerna pelajaran tadi.” Kata Akbar.
“Lu ngerti kimia Bar?” Tanya Ridhan.
“Gampang kali Dhan.” Jawab Akbar sombong.
“Hebat lu ngerti ilmu gaib.” Iyan terkagum.
“Si Ewin tuh gaib mah.” Kata Akbar sambil tertawa.
“Iya bener banget.” Lanjut Adit sambil tertawa.
“Tinggi, item, kerempeng, tampangnya ganteng abis.” Iyan meneruskan sambil tertawa terbahak – bahak.
“Eh jangan gitu, dia punya pacar loh.” Ridhan membela.
“Tapi kasian juga ya si Nisa.” lanjut Ridhan menjatuhkan dan tertawa.
“Ngomongin gue ya kalian?” Ewin tiba – tiba muncul.
“Beneran gaib ini anak.” Banyu terkejut.
“Maksudnya?” Ewin bingung.
“Lu ganteng banget Win maksudnya.” Ridhan menjelaskan.
“Ngagetin aja lu, bukannya makan sama Toro tadi?” Tanya Banyu.
“Gue mau ke kelas si Nisa dulu sekarang.” Jawab Ewin.
“Gak mau ikut kita nih? Yaudah cukup tau.” Kata Iyan.
“Iya gue nyusul nanti, gue butuh pencerahan, bosen sama batangan terus kayak kalian.” Jawab Ewin.
“Wah sial, liat aja nanti kita juga bakal punya pacar Win.” Adit membela diri.
“Gue doain Dut, kurang baik apa coba gue sama kalian.” Jawab Ewin tertawa.
“Yaudah sonoh lu mojok sama si Nisa.” Ridhan ngusir.
“Gue juga bakal punya pacar Win.” Lanjut Ridhan.
“Iya Dhan iya.” Jawab Ewin.
Ewin pun berpisah dari rombongan dan menuju ke kelas kekasihnya. Kembali tinggal berlima dalam rombongan. Adit dan Banyu memesan nasi goreng dengan minum teh kemasan. Ridhan memesan batagor dengan minum air mineral botolan. Iyan dan Akbar memesan mie goreng dengan minum air mineral botolan. Mereka menyantap makanannya masing – masing dengan lahap, karena mereka tidak pernah sarapan sebelum berangkat sekolah. Sehingga rutinitas sarapan selalu dilakukan ketika istirahat di sekolah. Mereka duduk sebaris saling berdekatan. Tidak jauh dari tempat mereka duduk ada sebuah pasangan muda – mudi yang sedang sarapan juga. Terlihat mereka menyantap batagor sepiring berdua, saling suap – menyuapi dan terlihat sangat berlebihan. Ridhan sempat memperhatikan kejadian tersebut, sehingga membuatnya agak kesal. Tidak lama setelahnya datang lagi sepasang muda – mudi yang baru datang, pasangan tersebut melewati mereka berlima dan secara otomatis menjadi perhatian mereka berlima.
“Kenapa gue jadi kepikiran ya.” Iyan membuka pembicaraan.
“Apaan?” Tanya Akbar.
“Gue pengen punya pacar.” Jawab Iyan.
“Gue juga.” Kata Ridhan.
“Ini gara – gara si Ewin manas – manasin, tapi gue juga pengen.” Kata Adit
“Gue belom kepikiran tuh.” Kata Akbar santai.
“Yaelah! Yang begitu dipikirin, nanti juga dateng sendiri.” Banyu menenangkan.
“Kapan Nyu? Kapan?” Tanya Ridhan.
“Tunggu aja, sabar Dhan.” Jawab Banyu.
“Gue udah ga sabar Nyu udah jomblo dua taun.” Kata Iyan.
“Apa lagi si Adit jomblo dari lahir.” Lanjut Iyan sambil tertawa terbahak – bahak.
“Woi! Kenapa gue?” Adit agak kesal.
“Ya gatau, coba tanya sama Tuhan.” Kata Banyu sambil tertawa.
“Mau nanya apa sama Tuhan? Ke mesjid atuh yuk.” Toro tiba – tiba muncul.
“Hayu Tor! Gue mau curhat sama Tuhan.” Jawab Adit kesal.
“Lu kok kayak si Ewin sih muncul tiba – tiba mengejutkan.” Banyu terkejut.
“Ke mesjid yuk, bantuin gue beres – beres di mesjid.” Ajak Toro sambil tertawa.
“Bentar lagi kan masuk Tor.” Kata Ridhan.
“Kalian dapet dispen kok.” Jawab Toro.
“Ini kegiatan ekskul keluarga mesjid.” Lanjut Toro menjelaskan.
“Let’s Go!” Iyan bersemangat.
“Kita culik si Ewin juga suruh bantuin kita.” Kata Adit.
“Boleh.” Jawab Toro.
Toro mengajak Ridhan, Iyan, Adit, Akbar, dan Banyu yang sudah selesai makan di kantin untuk membantunya bersih – bersih di mesjid. Ini merupakan piket pengurus mesjid sekolah, maka dari itu siswa yang kebagian piket akan mendapatkan dispensasi. Jadwal piket pun di acak terus setiap minggunya. Jadi setiap minggu siswa yang melakukan piket akan selalu berbeda. Kali ini Toro mendapatkan bagian. Sebelum ke mesjid mereka berenam mencari Ewin terlebih dahulu di kelas Nisa, pacarnya. Terlihat Ewin sedang duduk berdua dengan Nisa di kelas tersebut. Ewin menyantap bekal yang dibawakan oleh Nisa untuknya. Ketika sedang asik – asiknya makan Ewin dipaksa oleh teman – temannya untuk pergi ke mesjid. Ewin menolaknya, karena dia harus menghabiskan bekal yang dibawa oleh pacarnya tersebut. Melihat respon seperti itu, teman – temannya langsung membantu Ewin menghabiskan bekal yang dibawakan oleh Nisa tersebut. Dalam waktu sekejap bekal tersebut pun habis tak bersisa. Ewin agak kesal dibuatnya, akan tetapi setelah melihat Nisa yang tertawa karena kelakuan teman – teman pacarnya kesalnya pun menghilang. Mereka bertujuh pun langsung pamit untuk pergi ke mesjid setelahnya. Mereka berjalan bersama melewati koridor - koridor sekolah dengan lantai berwarna putih bersih, ada beberapa pilar kayu yang di cat warna biru muda di samping – sampingnya. Sebelumnya Ewin juga diberi penjelasan atas apa yang sedang terjadi dan apa yang akan dilakukan. Ewin pun dengan antusias menerima rencana ini. Mereka bertujuh pun bergegas menuju mesjid. Sesampainya di mesjid mereka langsung pergi ke tempat wudhu laki – laki untuk berwudhu, setelahnya mereka langsung solat dhuha masing – masing. Mesjid terlihat sangat bersih dan rapi, dengan karpet hijau yang membentang berbaris – baris dan juga pilar – pilar kayu besar yang berwarna coklat. Iyan selesai paling pertama, diikutin Banyu dan Ridhan. Setelah selesai solat dhuha mereka bertiga berdoa dan langsung tidur – tiduran di mesjid. Tidak lama Toro, Ewin, Akbar, dan Adit selesai dan langsung berdoa. Adit kali ini berdoa paling lama. Benar saja dia menumpahkan semua isi hatinya ketika sedang berdoa sehingga membuatnya lama dalam berdoa. Setelah berdoa dia pun langsung membaca kitab suci Al-Qur’an. Baru pertama kali teman – temannya melihat Adit seperti ini.
“Terus kita ngapain nih Tor?” Tanya Ridhan
“Bebas, mau bersihin tempat wudhu boleh, rapihin tempat sepatu boleh, ngaji kayak si Adit juga boleh.” Jawab Toro.
“Gue bersihin tempat wudhu deh, biar bisa maen air.” Kata Ridhan.
“Gue ikut Dhan.” Kata Iyan.
“Gue juga.” Kata Akbar.
“Yaudah kita beresin yang didalem Nyu.” Ajak Ewin.
“Siap.” Jawab Banyu.
“Biar si Adit aja yang beresin Qur’an.” Kata Toro.
Mereka pun berbagi tugas. Ridhan, Iyan, dan Akbar membersihkan tempat wudhu. Sesekali mereka pun sempat bermain air, saling semprot air dari pancuran kran. Banyu, Ewin, dan Toro merapihkan karpet didalam mesjid. Adit merapihkan rak tempat Al-Qur’an setelah selesai mengaji. Kegiatan ini tidak berlangsung lama karena dilakukan bersama – sama. Setelah selesai dengan tugasnya, Ridhan, Akbar dan Iyan pun langsung duduk – duduk santai didalam mesjid dan ternyata Ewin, Banyu dan Toro pun sudah selesai dengan tugasnya. Tidak lama Adit menyusul mereka duduk – duduk santai.
“Sampe pulang nih kita disini atau gimana?” Tanya Ridhan.
“Jangan, nanti jam pelajaran terakhir kita balik ke kelas.” Jawab Toro.
“Dispennya cuma segitu soalnya.” Lanjut Toro.
“Masih lama, ngapain dong kita?” Tanya Iyan.
“Kita maen jujur - jujuran aja.” Ajak Ewin.
“Boleh deh.” Ridhan menerima ajakan.
“Mulai dari siapa?” Tanya Iyan.
“Karena lu yang nanya duluan, jadi mulai dari lu Yan.” Kata Ridhan sambil tertawa.
“Sial, boleh deh, ayo kalian silahkan bertanya.” Iyan menantang.
“Lu naksir siapa di kelas baru?” Tanya Banyu.
“Gue.. gue naksir Dewi bro.” Jawab Iyan gugup.
Teman – temannya pun langsung tertawa terbahak – bahak setelah mendengarnya, kecuali Ridhan, dia hanya tertawa seadanya.
“Yah malah pada ketawa, gue suka sejak pertama kali ngeliat dia.” Kata Iyan.
“Ga jadi milik bersama dong si Dewi.” Kata Adit sambil tertawa.
“Kita harus jaga jarak berarti.” Lanjut Akbar sambil tetawa.
“Udah udah! Sekarang giliran siapa?” Tanya Iyan.
“Puter arah jarum jam, berarti si Ridhan.” Kata Banyu.
“Aturan dari mana itu?” Tanya Ridhan.
“Dari dulu aturannya juga gitu kali.” Jawab Banyu.
“Yaudah, pertanyaannya sama, Jawab Dhan.” Ewin menantang.
“Gue juga suka sama Dewi bro.” Jawab Ridhan lemas.
“Wah masalah.” Kata Toro.
“Ini harus dibincangkan.” Kata Akbar.
“Haduh! Kalian duduk semeja kecengannya sama.” Kata Banyu.
“Gue udah tau kok Dhan, gue ngalah ga apa apa.” Kata Iyan.
“Jangan Yan, biar gue nyari yang lain aja, gue ga terlalu naksir kok sama dia.” Kata Ridhan.
“Beneran ini? Jangan nyesel Dhan.” Kata Iyan.
“Iya Yan beneran lu terusin aja, gue bakan dukung lu abis – abisan.” Jawab Ridhan.
“Lu kejar Sintia aja Dhan.” Akbar memberikan saran.
“Kok dia?” Tanya Ridhan.
“Percaya sama gue, dia berharap sama lu.” Jawab Akbar.
“Waktu hari pertama gue pernah nyuruh lu ngembat dia kan, gue liat gelagat yang beda dari dia terhadap lu, kayak si Sigi aja gimana.” Lanjut Akbar.
“Oh iya ya? Beneran gitu emang?” Tanya Ridhan.
“Gue juga ngeliatnya gitu sih Dhan.” Kata Ewin.
“Perasaan mah bakal dateng dengan sendirinya Dhan, kasian kalau cewek berharap ga direspon gitu.” Banyu memberi saran.
“Eh iya, Sigi kemana Dhan? Lu deket sama dia kan sebelum kelas diacak.” Kata Banyu.
“Gatau, gue udah ga deket sama dia semenjak liburan.” Jawab Ridhan singkat.
“Yaudah deh Monyong, lu deketin aja Sintia yang lebih pasti daripada berebut sama si Iyan.” Adit memberikan saran.
“Maaf nih, saya tidak menerima saran dari anda yang tidak berpengalaman.” Jawab Ridhan.
“Maksudnya apa nih? Liat aja gue pasti menemukan cewek yang mau menerima gue.” Adit membela diri.
“Kalau si Banyu emang berpengalaman dia?” Tanya Adit.
“Maaf nih, gue lagi deket sama anak ekskul padus.” Jawab Banyu.
“Sialan. Banyak ceweknya ga disitu?” Tanya Adit.
“Banyak banget.” Jawab Banyu bangga.
“Mulai minggu depan gue ikutan ekskul padus Nyu. Daftarin gue.” Pinta Adit.
“Siap.” Jawab Banyu.
“Emang lu lagi deket sama siapa Nyu?” Tanya Ewin.
“Ada lah pokonya, gue sebut nama juga lu ga bakal kenal.” Jawab Banyu.
“Keren juga sahabat gue yang satu ini.” Puji Ewin.
“Masa lu kalah sama duet lu gendut.” Kata Akbar.
“Iya iya! Mulai minggu depan.” Adit membela diri.
Adit merasa tertantang karena sudah di olok – olok oleh sahabat – sahabatnya. Semuanya akan dia mulai minggu depan ketika latihan paduan suara. Para sahabat memang mengolok – olok akan tetapi selalu mendukung pada akhirnya. Mereka meneruskan pembicaraan dengan berbagai macam topik. Setiap anggota mendapatkan bagian untuk di olok – olok. Dari mulai kejadian gagalnya Iyan untuk bolos jam pelajaran sampai Toro yang belum juga menemukan sosok pengganti Shifa. Toro belum mau jujur tentang keadaan yang satu ini. Sebenarnya dia sudah menemukan sosok pengganti Shifa, yaitu gadis berkerudung dan berkaca mata yang duduk di sebrang kelas. Dia menyebutnya kerudung di seberang kelas. Sama halnya seperti Ewin yang menamai kisah percintaannya dengan Nisa dengan sebutan kisah manis. Para sahabatnya selalu memplesetkan kisah manis menjadi kisah Mantan Nisa, atau kalau tidak kisah Manajer Nisa karena Ewin selalu setia mewujudkan semua kemauan Nisa. Beda halnya dengan Adit, dia masih menyandang predikat suci dari lahir, karena dia belum juga menemukan tambatan hati semenjak dia lahir ke dunia. Tidak terasa waktu berjalan cepat ketika mereka sedang berkumpul. Bel pergantian jam pelajaran pun akhirnya berbunyi, ini artinya mereka harus kembali ke kelas. Pelajaran selanjutnya adalah kesenian. Mereka bertujuh pun bergegas kembali ke kelas dan berjalan agak cepat agar bisa mendahului guru yang bersangkutan. Akhirnya mereka pun sanpai di kelas, untungnya guru yang bersangkutan belum masuk ke kelas.
“Dari mana aja kalian? Gue capek jadi ketua kelas tadi” Kata Dayat.
“Abis bersihin mesjid Yat.” Jawab Ewin.
“Nanti mah lu laporan dulu ke gue lah.” Dayat kesal.
“Lah kan lu ketua kelasnya Yat, lu harusnya tanggung jawab penuh.” Jawab Ewin terpancing.
Mereka berdua pun berdebat di depan kelas cukup lama. Ridhan, Akbar, Iyan, Adit, Banyu, dan Toro meninggalkan Ewin yang berdebat dengan Dayat dan langsung pergi menuju bangkunya masing – masing. Di tengah perjalanannya menuju bangku tempat duduk, perhatian Ridhan tercuri.
“Kok ga masuk pelajaran kewarganegaraan Dhan?” Tanya Sintia.
“Eh? Aku dispen bersihin mesjid tadi Ti.” Jawab Ridhan.
“Tadi materinya banyak banget Dhan.” Sintia memberi tau.
“Oh gitu ya? Yaudah deh gak apa apa.” Jawab Ridhan sambil cengengesan.
Ridhan pun langsung beranjak menuju tempat duduknya, meninggalkan Sintia. Sintia sesaat memandangi punggung Ridhan yang pergi melangkah menuju bangkunya lalu memalingkan pandangannya setelah menyadari bahwa perbincangannya dengan Ridhan diperhatikan oleh Adit, Banyu, dan Iyan.
“Ngomong apa lu tadi berdua?” Tanya Banyu.
“Ga banyak, dia cuma ngasih tau kalau materi kewarganegaraan banyak tadi.” Jawab Ridhan.
“Terus lu jawab apa?” Tanya Iyan.
“Oh gitu yaudah deh.” Jawab Ridhan.
“Bego! Harusnya lu minta catetan dia, dia kan rajin nyatet.” Adit menyentak.
“Hey! Gue ga nerima kritik dari yang ga berpengalaman.” Jawab Ridhan.
“Tapi ada benernya juga tuh kata si gendut.” Kata Banyu.
“Wei! Kok lu ngatain gue gendut, lu juga kan gendut.” Adit menyentak.
“Yaudah lah sama – sama gendut.” Iyan menengahi.
“Yaudah deh, nanti kalo dia nanya lagi gue pinta catetanya.” Kata Ridhan.
Perbincangan pun terhenti, karena guru kesenian sudah memasuki kelas. Ewin dan Dayat pun berhenti berdebat setelah melihat guru kesenian yang memasuki kelas dan mereka pun kembali ke bangkunya masing - masing. Ada yang beda dengan pelajaran kesenian kali ini. Guru yang datang ternyata berbeda, dan ternyata beliau adalah guru magang. Guru ini perempuan, masih muda dan cantik. Beliau menggantikan guru kesenian yang sebenarnya untuk sementara waktu. Namun pelajaran yang diberikan sama saja, tidak dapat dimengerti oleh Ridhan. Materi kali ini tentang gambar tiga dimensi. Karena merasa bosan akhirnya Ridhan pun tertidur. Melihat teman sebangkunya tertidur, Iyan pun langsung menasang headset untuk mendengarkan lagu dari telepon genggamnya. Banyu terlihat sangat menikmati materi ini, dia memang senang mengambar. Adit yang penasaran minta diajari oleh Banyu. Ewin mati gaya dalam materi ini, dia tidak terlalu tertarik dengan kegiatan menggambar, kali ini Ewin yang menganggap dirinya sedang belajar ilmu gaib. Dikejauhan terlihat Akbar sedang menahan kantuknya. Toro yang merasa tidak bisa, tetap memperhatikan pelajaran dan mencoba untuk belajar. Akhirnya jam pelajaran pun berakhir, Ridhan yang tertidur dibangunkan oleh Iyan, lalu Iyan melepaskan headset yang dia pakai. Guru magang tersebut memberikan sebuah tugas, tugas kelompok. Kelompok pun dibagi sesuai barisan. Tugas yang diberikan adalah siswa harus menampilkan foto bertema alam. Harus ada anggota tiap kelompok dalam foto tersebut. Setiap kelompok harus menampilkan sepuluh foto. Ini adalah tugas fotografi. Sebelum pulang sekolah tiap kelompok berkumpul untuk membicarakan rencana dalam palaksanaan tugas ini. Kelompok satu yang berisikan Ridhan, Iyan, Adit, Banyu, Dewi, Ifa, Sintia, Dita, Okta, dan Laras merencanakan akan berburu foto di sekitar Taman Lalu Lintas, karena disana ada banyak pohon – pohon yang rindang.
“Jadinya di tamlu aja nih?” Tanya Iyan.
“Iya, disana suasananya asik loh.” Jawab Dewi.
“Ada kereta juga ya di dalemnya.” Canda Iyan sambil tertawa.
“Kereta kayak gimana?” Tanya Ridhan yang belum pernah memasuki Taman Lalu Lintas.
“Ya kereta gitu lah Dhan ada relnya.” Jawab Banyu.
“Iya gue juga tau pasti ada relnya.” Kata Ridhan datar.
“Bagus deh Dhan, selain itu ada tempat mainnya juga kayak ayunan sama trampolin.” Sintia menjelaskan.
“Bahaya itu kalo si Adit yang make trampolin bisa rusak.” Jawab Ridhan sambil tertawa.
“Lebih bahaya lagi kalo si Iyan yang make, kalo dia lompat make trampolin ga akan balik lagi ke darat.” Adit membela diri.
“Ngajak ribut si gendut.” Iyan kesal.
“Udah udah, jadinya Sabtu ini ya kita berangkat.” Ifa menengahi.
“Sekarang Kamis, besok Jum’at libur, kita ke pameran buku yuk.” Ajak Dewi.
“Kita pemanasan, supaya nanti pas ngerjain tugas kita dapet feel.” Lanjut Dewi.
“Boleh tuh.” Jawab Iyan bersemangat.
“Dimana emang itu?” Tanya Ridha.
“Di gedung Landmark, jalan Braga Dhan.” Jawab Sintia.
“Nanti kita ngajak Ewin, Toro, sama Akbar boleh ya.” Iyan meminta.
“Ajak aja biar ngeramein.” Jawab Laras.
“Nanti gue kasih tau mereka deh.” Kata Iyan.
“Yaudah, apakah ada lagi yang akan dibicarakan? Soalnya gue harus segera ke toko.” Tanya Adit.
“Gue rasa cukup, gimana yang lain?” Kata Dewi.
“Cukup.” Jawab Iyan sangat bersemangat.
“Bangunin gue dong besok, gue suka kesiangan kalo libur.” Pinta Ridhan.
“Minta bangunin aja sama nyokap lu Dhan.” Iyan ngeledek sambil tertawa.
“Tau deh yang lagi sangat on fire mah beda.” Jawab Ridhan.
“Eh pada pulang kearah mana?” Tanya Adit.
“Kenapa? Mau nganterin?” Canda Dita.
“Ngga sih, cuma nanya doang.” Jawab Adit sambil tertawa.
“Aku mah rumahnya di Lengkong Besar Dit, Ifa sama Okta di deket Pasar Kordon, Sintia sama Dita di Bale Endah, Laras di Ciparay.” Jawab Dewi.
“Wah pada jauh, geng touring dong kalian.” Canda Adit.
“Udah pada beres belom? Cabut yuk ke si Lampung, asem nih.” Akbar datang menghampiri bersama Ewin dan Toro.
Rapat pun akhirnya selesai dan mereka pun berpisah. Ridhan, Banyu, Adit, Toro, Ewin, Akbar dan Iyan langsung beranjak ke tempat parkir motor. Sedangkan para wanita langsung keluar sekolah dan mencari angkutan umum untuk pulang. Adit pulang duluan karena harus membantu ibunya di toko. Banyu pun juga pulang duluan karena dia ada janji dengan kakaknya. Tersisa Ridhan, Iyan, Toro, Akbar dan Ewin, mereka berencana berkumpul di kosan Ewin. Mereka selalu menyebut kosan Ewin sebagai Saung Lampung, karena Ewin berasal dari Lampung. Motor yang tersisa tinggal dua yaitu motor Ridhan dan Toro. Ridhan membonceng Ewin, Toro membonceng Iyan dan Akbar. Badan Iyan dan Akbar yang kecil merupakan alasan kenapa mereka berbocengan bertiga, dan juga jarak kosan Ewin yang sekarang sangat dekat dengan sekolah, hanya beberapa meter. Ewin sudah pindah kosan dari kosannya yang lama di daerah Laswi. Kosan Ewin selalu dijadikan tempat berkumpul, karena jaraknya yang dekat dengan sekolah dan keadaannya yang sangat bebas. Mereka kadang bermain kartu, menonton dvd, bermain playstation, merokok dan berbagai macam hal lainnya. Ridhan, Akbar, Iyan, Ewin, dan Banyu sudah merokok sejak SMA, akan tetapi mereka tidak pernah merokok di sekolah seperti halnya murid – murid perokok lainnya. Ridhan dan Ewin pernah mencobanya sekali akan tetapi mereka merasa tidak nyaman  merokok di sekolah, jadi setelahnya mereka tidak pernah mencoba merokok di sekolah lagi. Setelah sampai, mereka langsung memarkirkan motor di parkiran kosan Ewin. Ridhan langsung beranjak mencari warung bersama Akbar dan Iyan untuk mencari cemilan dan beberapa batang rokok, tidak lupa mereka menawarkan kepada Ewin dan Toro barangkali ada yang ingin dititipkan. Toro menitipkan cemilan dan Ewin menitipkan beberapa batang rokok kretek tanpa filter. Rokok kretek lokal tanpa filter merupakan rokok favorit Ewin. Iyan dan Akbar selalu membeli rokok berfilter keluaran Amerika sama seperti Banyu. Sedangkan Ridhan suka rokok kretek lokal berfilter. Toro dan Adiy hanya bisa pasrah kalau sahabat – sahabatnya sudah merokok didepan mereka. Seperti biasa mereka berkumpul di kosan Ewin sampai larut malam. Ketika pulang, Iyan diantar oleh Ridhan sampai jalan Gatot Subroto, sedangkan Akbar diantar Toro untuk mencari angkutan umum yang menuju ke arah Riung Bandung, atau terkadang dia minta diantar ke Kosambi, ke rumah saudaranya. Tepat jam sepuluh malam akhirnya mereka berpisah dan selalu begitu setiap mereka berkumpul, kecuali di akhir pekan setelah pagi mereka baru pulang ke rumah masing – masing.

Sentuhan Pertama

Hari Jum’at sekitar jam enam pagi Iyan sudah selesai mandi, tidak biasanya dia bangun pagi di hari libur. Hari Jum’at kali ini sekolah diliburkan karena tanggal merah di kalender. Setelah selesai mandi dia langsung bergegas ke kamarnya dan memilih pakaian yang pas. Hari ini ada janji bertemu dengan sahabat – sahabatnya disebuah pameran buku yang bertempat di gedung Landmark, jalan Braga. Pertemuan kali ini berbeda dengan pertemuan – pertemuan sebelumnya. Kali ini tidak hanya ada Ridhan, Ewin, Toro, Akbar, Adit dan Banyu saja melainkan ada Dewi dan teman – teman perempuan lainnya. Iyan tidak akan terlalu menghiraukan kehadiran teman – teman perempuan yang lainya, fokus perhatiannya hanya tertuju kepada Dewi. Seorang perempuan berusia sekitar tujuh belas tahun, berkulit putih bersih, memiliki rambut sebahu dan berwajah cantik apa lagi kalau dia sudah tersenyum dan tertawa dia terlihat sangat sexy. Badannya kecil mungil hampir sama dengan Iyan tingginya. Perempuan inilah yang berhasil mencuri hati Iyan setelah dua tahun terakhir. Setelah jalinan asmaranya kandas sekitar dua tahun yang lalu, akhirnya dia menemukan pengganti yang sepadan, malah ini dinilai lebih baik. Terakhir kali dia menemukan seorang tambatan hati yaitu sekitar kelas tiga SMP, dan itu pun harus kandas setelah kelulusan karena mereka berbeda sekolah setelahnya. Hari ini Iyan memilih kaos hitam yang bergambarkan band grunge ternama era sembilan puluhan yang berasal dari Washington, Amerika yaitu Nirvana. Untuk celana dia memilih skinny jeans warna biru gelap dan memilih sepatu kads warna hitam dengan tali putih untuk alas kakinya. Setelah dirasa pas, dia langsung menata rambutnya tampa sisir. Model rambut poni lempar dengan belahan disebelah kanan adalah andalannya. Setelah selesai dengan urusan rambut, dia langsung berpamitan kepada kedua orang tuanya dan tidak lupa meminta uang saku, lalu berangkatlah dia ke tempat berkumpul di Saung Lampung. Untuk mencapai Saung Lampung yang letaknya sangat dekat dengan sekolah Iyan hanya butuh sekali naik angkutan umum dari rumah barunya disekitar Gatot Subroto. Tidak butuh lama untuk mencapai Saung Lampung, ditambah lagi lalu lintas yang sangat lancar di pagi hari karena masih sepi. Sekitar jam setengah tujuh pagi dia sudah sampai di Saung Lampung, setelah sampai dia langsung mencari kamar Ewin yang ternyata waktu itu masih dikunci dan masih terlihat gelap karena lampu kamarnya masih dimatikan. Melihat situasi kamar Ewin yang seperti itu, Iyan pun berinisiatif untuk membangunkan Ewin yang belum bangun. Iyan menggedor – gedor pintu kamar Ewin agar Ewin terbangun. Tidak lama Ewin pun terbangun dengan keadaan yang mengkhawatirkan dan emosi yang menaik.
“Sialan lu ganggu mimpi indah gue aja!” Bentak Ewin setelah membuka pintu.
“Pemalas lu, cepet bangun terus mandi, kita ada janji.” Balas Iyan.
“Janjinya aja jam sembilan, sekarang jam berapa coba.” Ewin Kesal lalu melompat ke kasurnya kembali.
“Yaelah dia malah tidur lagi.” Iyan kesal.
“Halo semua, selamat pagi.” Akbar baru saja datang dan menyapa sambil menikmati sebatang rokok.
“Sendiri Bar?” Tanya Iyan.
“Iya, eh lu tumben dateng lebih pagi dari gue?” Kata Akbar.
“Biasanya kan kalo maen di hari libur gue selalu paling pagi.” Lanjut Akbar.
“Gue lagi sangat bersemangat sekali hari ini bro.” Jawab Iyan bersemangat.
“Yah bagi – bagi dong semangatnya.” Kata Akbar.
“Yang lain gimana? Coba tolong dijarkom.” Pinta Akbar.
“Iya deh gue jarkom deh.” Jawab Iyan.
Iyan pun langsung mengirim sebuah pesan singkat kepada sahabat – sahabatnya. Isi pesanya sama yaitu menanyakan keberadaan dan mengingatkan bahwa hari ini ada janji ke pameran buku.
“Gue langsung ke lokasi nanti.” Banyu langsung menjawab.
“Sabar, gue mau berangkat sekarang lagi manasin motor, ketemu di lokasi aja.” Adit membalas setelah lima belas menit.
“Ini sedang menuju Saung Lampung, 5 menit sampe.” Toro membalas setelah setengah jam.
“Iya bentar gue mandi dulu, baru bangun nih.” Ridhan membalas setelah dua jam.
Sekitar jam setengah sembilan pagi Ridhan baru membalas pesan singkat dari Iyan yang dikirim sekitar jam setengah tujuh pagi. Ridhan baru bangun, semalam dia baru bisa tidur jam dua. Setelah membalas pesan singkat dari Iyan dia tidak langsung mandi tapi dia terdiam sejenak diatas kasur, menunggu nyawanya yang masih berterbangan kembali ke raganya. Sekitar delapan menit Ridhan terdiam, dia baru beranjak ke kamar mandi untuk mandi. Namun persiapan dari mandi sampai siap berangkat tidak memakan banyak waktu, hanya dalam sekejap dia sudah siap berangkat menunggangi skuternya menuju Saung Lampung sehingga sekitar jam sembilan kurang sepuluh menit dia sudah sampai di Saung Lampung. Walaupun sudah bergegas berangkat dengan kecepatan maksimal ternyata Ridhan masih terlambat. Ridhan langsung disambut Toro ketika datang dan langsung membantunya memarkirkan motor. Terlihat wajah Iyan kesal menunggu lama, dia sudah menghabiskan enam batang rokok selama menunggu. Akbar pun sudah menghabiskan cukup banyak rokok namun tampangnya tetap santai. Ewin baru dandan ketika Ridhan datang, tercium semerbak aroma parfum Ewin yang sangat berlebihan dalam pemakaiannya. Rencananya mereka berlima hari ini akan berjalan kaki menuju lokasi. Lokasi pameran buku yang berada di jalan Braga tidak terlalu jauh dari Saung Lampung. Jika menggunakan sepedah motor pribadi, membutuhkan waktu lima menit untuk mencapainya, jika berjalan kaki membutuhkan waktu sekitar lima belas menit untuk mencapainya. Berangkat lah mereka berjalan kaki bersama, sekitar jam sembilan lebih sepuluh menit akhirnya mereka pun sampai di lokasi. Terlihat Adit dan Banyu sudah sampai duluan, mereka duduk menunggu di tangga kecil di depan pintu masuk, Dewi dan teman – temannya belum terlihat. Banyu sudah ada di lokasi dari jam setengah sembilan sedangkan Adit datang lima menit kemudian.
“Tuh kan santai aja padahal, belom pada dateng.” Keluh Ridhan.
“Berlebihan nih si Iyan.” Tambah Ewin.
“Ga enak sama Adit dan Banyu udah nunggu lama.” Iyan membela diri.
“Gue sama si Adit udah disini dari jam setengah sembilan.” Curhat Banyu.
“Kita kepagian ternyata.” Tambah Adit sambil tertawa.
“Kok pada ga bawa motor?” Tanya Banyu.
“Biar ga usah bayar parkir.” Jawab Akbar santai.
“Tau gitu gue parkir di Saung juga deh.” Kata Adit.
“Coba deh lu sms si Dewi Yan.” Pinta Ridhan.
“Gue ga punya nomernya.” Jawab Iyan.
“Ga ada yang punya sama sekali?” Tanya Ewin.
Semuanya menggelengkan kepala. Mau tidak mau mereka bertujuh pun akhirnya menunggu di tangga kecil di depan pintu masuk pameran. Cukup lama mereka menunggu, sampai akhirnya Ridhan merasa bosan. Akhirnya dia memutuskan untuk membeli satu cup kopi panas di mini market yang berada di sebrang jalan. Dia mengajak Akbar untuk membeli kopi tersebut karena dia selalu merasa kesulitan untuk menyebrang jalan. Mereka berdua langsung berdiri dan berjalan mendekati jalan raya untuk bersiap – siap menyebrang dan membawa pesan titipan teman - temannya. Ketika mereka berdua hendak menyebrang tiba – tiba datang sebuah taksi berwarna biru muda berlambangkan burung berhenti di depan mereka. Dari pintu depan keluar sesosok perempuan yang tak lain dan tak bukan adalah Dewi. Lalu diikuti dengan terbukanya pintu belakang dan keluar lah Sintia, Laras, Okta, Dita dan Ifa. Ketika Dewi keluar dari taksi sontak Iyan pun langsung berdiri dan memandanginya dari kejauhan.
“Hai Dhan, hai Bar. Maaf nih telat, taksinya lama soalnya.” Dewi menyapa.
“Kalian berenam naik satu taksi? Wow kayak akrobat aja.” Akbar terkejut.
“Iya, tadi Laras dipangku sama Okta.” Jawab Dewi sambil tertawa.
“Kita berdua mau ke mini market, ada yang mau nitip ga?” Ridhan menawarkan.
“Dhan aku nitip roti.” Jawab Sintia.
“Ada lagi? Belom sarapan ya kamu Ti?” Tanya Ridhan.
“Iya Dhan.” Jawab Sintia malu – malu.
“Kayaknya ga ada yang nitip lagi deh Dhan.” Jawab Ifa.
Mereka pun berpisah, Akbar dan Ridhan menyebrang menuju mini market sedangkan Dewi dan teman – temannya datang menghampiri Iyan, Toro, Banyu, Adit  dan Ewin.
“Hai.. maaf nih telat.” Dewi menyapa sambil tersenyum
“Gak apa apa kok Wi, ga terlalu lama juga kok.” Jawab Iyan sambil membalas senyuman Dewi.
“Setengah jam loh.” Jawab Ewin ketus.
“Maafin Win, tadi kita nunggu taksinya lama.” Dewi merasa bersalah.
“Kita sebenernya udah siap dari jam setengah sembilan loh.” Lanjut Dewi menjelaskan.
“Yaudah, sekarang rencananya gimana nih?” Tanya Banyu.
“Kita nungguin si Akbar sama si Ridhan dulu lah, baru masuk.” Saran Toro.
“Iya tadi aku nitip roti juga sama Ridhan.” Kata Sintia.
“Wi kamu bawa kamera?” Tanya Iyan dengan ramah.
“Laras sama Ifa yang bawa Yan.” Jawab Dewi ramah.
“Nih dia barang – barang titipan kalian.” Kata Akbar yang baru datang bersama Ridhan.
“Akhirnya gue makan.” Adit bersyukur.
“Kopi item pait untuk Ewin tiga ribu, teh manis anget buat Toro dua ribu, roti keju coklat sama coklat panas buat Banyu sepuluh ribu, roti isi daging sama susu anget buat Adit sepuluh ribu, permen mint buat Iyan seribu lima ratus.” Ridhan membagikan belanjaan sambil menagih uang.
“Mantap.” Ewin memuji kopinya.
“Sama ini roti isi strawberi untuk Tia. Aku gatau kamu suka rasa apa jadi aku beliin ini deh.” Lanjut Ridhan.
“Berapa Dhan?” Tanya Sintia.
“Ga usah Ti, gak apa – apa.” Jawab Ridhan sambil tersenyum.
“Woi! Kenapa dia ga bayar?” Adit protes.
“Soalnya dia cewek. Udah jangan protes.” Ridhan menjelaskan.
“Yaudah sih biar si Tia seneng dut.” Kata Akbar santai.
“Makasih yah Dhan.” Kata Sintia sambil tersenyum.
“Sama – sama.” Jawab Ridhan.
Mereka pun akhirnya menikmati sarapannya masing – masing sambil berbincang ngalor – ngidul. Membicarakan tentang rencana Adit yang ingin sekali melepas status suci dari lahir miliknya sampai masalah Toro yang masih belum mau berterus – terang. Sesekali Iyan melepaskan beberapa jurus untuk memikat Dewi, namun Dewi tidak mengerti sama sekali maksud dari Iyan. Ewin juga bercerita tentang hubungannya dengan Nisa yang semakin romantis. Dia memuji Nisa dan menyebutnya sebagai sosok perempuan impiannya. Akbar sempat memancing Banyu untuk menceritakan tentang kedekatannya dengan salah seorang penyanyi perempuan di ekskul paduan suara. Akhirnya Banyu menceritakan kedekatanya dengan perempuan tersebut, namun dia masih tidak memberi tau siapa namanya karena dia berpikir teman – temannya pasti tidak akan mengetahui orangnya yang mana. Iyan sempat menanyakan latar belakang Dewi, dan Dewi pun menceritakan tentang kisah hidupnya di masa lalu. Dewi sempat tinggal agak lama  di luar negri, tepatnya di Belgia. Inilah yang menyebabkan dia sangat lancar berbahasa Inggris. Terkadang dia suka bercanda menggunakan bahasa Inggris dengan Banyu. Banyu memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang paling baik diantara sahabat – sahabatnya. Kalau Banyu dan Dewi sudah bercanda menggunakan bahasa Inggris kadang suka disalah – artikan oleh Adit, Ridhan, dan Iyan dan disambung – sambungkan dengan bahasa Sunda oleh mereka bertiga. Karena hanya bahasa – bahasa non formal yang mereka bertiga mengerti, seperti istilah – istilah kasar dan kurang baik. Dewi juga memiliki saudara bule, sehingga kadang kalau sedang di rumah dia berbincang menggunakan bahasa Inggris. Kemampuan ini dia maksimalkan dengan mengikuti klub bahasa Inggris di sekolah. Tidak terasa sarapan yang mereka nikmati pun akhirnya habis. Mereka langsung bergegas untuk masuk ke pameran yang tidak dikenakan biaya untuk masuknya. Mereka langsung berpencar berkeliling, melihat – lihat buku, mencari – cari buku yang menarik. Adit langsung ke bagian otomotif, karena dia sangat tertarik dengan bidang ini. Toro dan Ewin mencari buku – buku bernuansa islami. Banyu bersama Dewi dan teman – temannya menuju bagian fashion. Ridhan, Iyan, dan Akbar kebingungan harus memulai dari mana. Iyan memberi saran untuk mencari bagian olah raga, mereka bertiga pun langsung mencarinya, setelah ketemu mereka langsung melihat apakah ada yang menarik. Tidak lama mereka pun merasa bosan, mereka langsung mencari Adit di bagian otomotif. Ternyata dia sedang membaca sebuah majalah.
“Baca apa lu Dit?” Tanya Ridhan.
“Ini nih modifikasi motor.” Jawab Adit.
“Biar apa emang dimodif?” Tanya Akbar.
“Biar mantep.” Jawab Adit.
“Emang yang mantep gimana?” Tanya Iyan.
“Yang bisa ngebut lah.” Jawab Adit mulai kesal.
“Ga takut ditilang polisi?” Tanya Ridhan.
“Kalian ganggu aja sih! Sonoh ah!” Adit mengusir.
“Yaelah.” Ridhan, Iyan, dan Akbar mengeluh.
Mereka bertiga pun meninggalkan Adit sendirian. Mereka bertiga pun akhirnya berjalan berkeliling lagi, kali ini mereka melihat Ewin dan Toro dibagian buku islami. Mereka merasa tidak kuat untuk menghampiri sehingga mereka menghindar. Mereka pun berjalan berkeliling lagi, kali ini melihat Banyu, Dewi dan kawan – kawan di bagian fashion. Mereka merasa  tidak akan mengerti dengan fashion dan takut akan diusir lagi seperti apa yang dilakukan Adit terhadap mereka. Akhirnya mereka memutuskan untuk keluar dari pameran buku dan menunggu di tangga kecil di depan pintu masuk sambil menikmati sebatang rokok. Teman – temannya akhirnya keluar dari pameran setelah satu batang rokok selesai mereka nikmati.
“Kok pada disini?” Tanya Toro.
“Bosen Tor didalem.” Jawab Ridhan.
“Kita karokean yuk biar ga bosen.” Ajak Dewi.
“Dimana?” Tanya Banyu.
“Disini Mall Braga aja biar deket.” Jawab Dewi.
“Boleh tuh.” Jawab Iyan bersemangat.
“Suara gue ancur.” Keluh Ridhan.
“Cuek aja yang penting seneng – seneng.” Sintia menghibur.
“Gue sama Toro ga bisa ikut, udah deket Jum’atan soalnya.” Kata Ewin.
“Jam berapa sekarang?” Tanya Adit.
“Setengah sebelas.” Jawab Toro.
“Gue harus balik ini mah.” Kata Adit.
“Gue juga harus ketemu kakak gue.” Kata Banyu.
“Yaudah kita bertiga aja deh.” Iyan mengajak Ridhan dan Akbar.
“Eh tapi kita foto -  foto bareng dulu yuk disini.” Ajak Dewi.
“Ide bagus tuh.” Jawab Iyan sangat bersemangat.
“Minta tolong fotoin sama tukang parkir aja.” Ifa memberi saran.
Mereka pun berfoto ria di depan pintu masuk pameran di gedung Landmark sebelum harus berpencar setelahnya. Selesai berfoto ria Adit, Banyu, Toro dan Ewin langsung berpamitan. Adit membonceng Ewin, Banyu membonceng Toro. Mereka mengantarkan Ewin dan Toro ke Saung Lampung sebelum pulang ke tempat masing – masing. Ridhan, Akbar, dan Iyan sempat mengantarkan mereka sebelum akhirnya mereka berangkat. Dewi bersama teman – temanya lalu mengajak mereka betiga untuk berangkat menuju Mall Braga. Letaknya tidak jauh dari tempat pameran buku, cukup sekali menyebrang jalan dan berjalan sedikit mereka akhirnya sampai. Mereka jalan melewati jalan masuk menuju mall. Jalan tersebut sebeasar jalan Braga yang hanya bisa dilewati oleh satu mobil. Dipinggirnya terdapat sebuah jalan setapak kecil untuk pendatang yang tidak membawa kendaraan, jalan setapak ini langsung mengarah kedalam mall. Jalan ini juga bisa dilewati kendaraan karena terdapat jalan untuk kendaraan yang langsung menghubungkan dengan tempat parkir. Ada dua jalan untuk masuk ke mall ini, yang pertama lewat depan, jalan yang yang dilewati Ridhan dan teman – temannya. Jalan ini bisa digunakan untuk pengunjung yang datang membawa kendaraan dan tidak membawa kendaraan. Yang kedua lewat jalan belakang yang langsung terhubung ke tempat parkir, jalan ini hanya dilewati pengunjung mall yang membawa kendaraan dan penghuni apartemen yang berada didalam mall. Area foodcourt langsung tersaji setelah melewati pintu masuk mall. Ada berbagai macam cafĂ© didalamnya. Ditengah – tengan foodcourt terdapat tangga berjalan yang sangat panjang. Tangga ini menghubungkan lantai dasar dengan lantai yang ada diatasnya. Lokasi karoke yang akan mereka datangi berada di lantai tiga jadi mereka harus menaiki tangga berjalan tesebut. Dua kali menaiki tangga berjalan mereka langsung berkeliling mencari tempat karoke yang dimaksud. Setelah menemukannya mereka langsung masuk dan berbicara dengan penjaga meja resepsionis. Dewi menanyakan apakah ada ruangan yang kosong dan ternyata semua ruangan penuh terisi sampai jam lima sore. Iyan mulai cemas, dia berpikir mungkin rencana karoke bersama ini akan gagal. Namun Sintia berpendapat lain dan dia pun memberikan saran. Sintia menyarankan untuk mencari tempat karoke di tempat lain. Karena waktu shalat Jum’at sudah dekat, Sintia juga menyarankan agar Ridhan, Iyan, dan Akbar melaksanakan kewajiban mereka terlebih dahulu sebari Sintia dan teman – temannya mencari tempat karoke di lain tempat dan berjanji nanti akan mengabari lewat pesan singkat. Lalu Sintia meminta nomor telepon genggam Ridhan agar nanti bisa dikabari. Ridhan pun memberikan nomernya kepada Sintia. Kesempatan ini dimanfaatkan Iyan untuk meminta nomor telepon genggam Dewi. Akbar mengajak Ridhan dan Iyan untuk shalat di Mesjid Agung kota Bandung yang berada di alun – alun kota karena dia jarang shalat di mesjid tersebut. Ridhan dan Iyan menyetujui ajakan Akbar. Letak mesjid tersebut tidak terlalu jauh dari Mall Braga. Jika berjalan kaki membutuhkan waktu sekitar dua belas menit untuk mencapainya. Ridhan, Iyan dan Akbar berpamitan dan memisahkan diri untuk menjalani kewajibannya. Mereka berjalan kaki menyusuri trotoar – trotoar kota Bandung di siang hari. Panas terik matahari tidak mematahkan semangat mereka untuk bisa shalat Jum’at di Mesjid Agung. Setelah sampai mereka langsung menitipkan alas kaki mereka masing – masing di tempat penitipan, karena disini rawan pencurian alas kaki. Setelah menitipkan, mereka lalu menuruni anak tangga untuk mencapai tempat wudhu yang berada di bawah tanah. Mereka melakukan wudhu dengan baik dan benar berurutan mulai dari mulai membasuh tangan sampai dengan kaki dan tidak lupa membaca niat dan do’a setelahnya. Beres berwudhu mereka langsung mencari tangga naik yang langsung menghubungkan dengan isi mesjid. Mesjid ini sangat besar dan tampilannya cukup mewah, meskipun masih kalah dengan Mesjid Istiqlal yang berada di Jakarta. Mesjid ini memiliki menara kembar yang tinggi menjulang dan bisa dinaiki oleh pengunjung di hari dan jam tertentu. Ketika mereka memasuki mesjid hawa sejuk langsung terasa, suasana nyaman pun tercipta. Mereka langsung mencari shaf yang kosong untuk ditempati. Mereka menemuka shaf kosong yang bisa mereka tempati sejajar berdekatan. Mereka bertiga langsung melaksanakan shalat sunnah dua raka’at setelah mendapatkan shaf, lalu duduk sila menunggu adzan dikumandangkan. Adzan dikumandangkan tidak lama setelah mereka selesai melaksanakan shalat sunnah. Adzan dikumandangkan dengan indah dan merdu. Muadzin memanggil seluruh umat untuk segera melaksanakan shalat Jum’at dengan nada – nada yang indah. Tidak lama setelah adzan selesai, khotib naik ke mimbar untuk berceramah. Ridhan, Iyan, dan Akbar tertidur selama khotib berceramah, karena mereka merasa kelelahan setelah berjalan kaki kesana – kemari. Mereka pun akhirnya terbangun setelah mendengar suara qomat tanda shalat akan segera dimulai. Shalat Jum’at dua rakaat mereka lakukan dengan khusyuk secara berjama’ah. Shalat Jum’at kali ini berjalan cukup lama, karena imam shalat membacakan surat – surat yang panjang. Walaupun merasa sedikit pegal karena terlalu lama berdiri mereka bertiga tetap berusaha konsentrasi saat melakukan shalat. Setelah selesai melakukan kewajiban mereka pun langsung berdo’a dan melakukan shalat sunnah dua raka’at setelahnya. Lalu Iyan langsung menghubingi Dewi untuk menanyakan kabar kelanjutan acara karoke mereka lewat pesan singkat. Dewi pun langsung menjawab dan memberi taukan kalau mereka mendapatkan tempat disekitar jalan Dago jam tiga sore. Mereka bertiga langsung bergegas ke Saung Lampung untuk mengajak teman – temannya. Mereka berjalan agak terburu – buru agak tidak terlambat karena waktu sudah menunjukan jam setengah dua siang. Mereka berjalan kaki melewati trotoar – trotoar kota Bandung, menembus panas terik matahari yang menyinari. Mencari jalan pintas melewati gang – gang sempit. Mereka berhasil mencapai Saung Lampung dengan waktu yang cukup singkat dan ternyata ada Toro dan Ewin disitu.
“Sabar Yan, lu semangat banget deh.” Keluh Ridhan yang kelelahan.
“Minta minum Win.” Ridhan meminta minum kepada Ewin.
“Ambil aja tuh di dispenser.” Jawab Ewin.
“Pada mau kemana? Buru – buru amat.” Tanya Toro.
“Si Dewi ngajakin karokean.” Jawan Iyan.
“Bukannya tadi udah ya?” Tanya Ewin.
“Diundur jadi jam setengah tiga.” Jawab Akbar.
“Ayo Dhan cepetan! Udah jam dua kurang nih.” Iyan mengajak.
“Bentar, sebatang dulu kenapa.” Keluh Ridhan.
“Nanti aja dijalan sambil nyetir.” Kata Iyan.
“Pada mau ikut gak?” Tanya Akbar.
“Ga ada uang.” Jawab Toro.
“Sama gue juga.” Jawab Ewin.
“Gue pinjem motor lu ya Tor, ga mungkin boncengan bertiga kalo ke Dago.” Pinta Iyan.
“Emang lu punya SIM?” Tanya Toro.
“Yang penting mah gue bisa makenya, tenang aja gak akan ketilang.” Jawab Iyan.
“Kalo ketilang juga kan tinggal minta tolong ke Babeh lu Tor.” Lanjut Iyan sambil tertawa.
“Yaudah nih kunci sama STNK, hati – hati ya.” Toro memberikan kunci dan surat motor.
“Ganteng deh lu Tor.” Iyan memuji Toro.
“Yaudah kita berangkat ya.” Iyan berpamitan.
“Assalamualaikum.” Iyan, Ridhan, dan Akbar mengucapkan salam.
“Walaikumsalam.” Jawab Ewin dan Toro.
Mereka bertiga pun bergegas menuju tempat parkir motor dimana motor Ridhan dan motor Toro berada. Ridhan langsung menyalakan mesin skuternya dan memakai helm, lalu dia mengeluarkan motornya dari tempat parkir. Iyan pun juga menyalakan motor yang dia pinjam dari Toro dan memakai helm milik Toro. Setelah Akbar naik di boncengannya, Iyan pun menyusul Ridhan.
“Tunggu, kenapa si Akbar gak pake helm?” Tanya Ridhan.
“Oh iya lupa! Pinjem sanah ke si Ewin Bar.” Kata Iyan.
“Iya, dia punya simpenan helm satu.” Kata Ridhan.
Akbar pun langsung turun dari boncengan Iyan. Dia berjalan santai menaiki tangga untuk menggapai kamar Ewin. Setelah sampai kamar Ewin dia langsung meminjam helm milik Ewin dan kembali ketempat Ridhan dan Iyan berada dengan berjalan santai dan langsung duduk di boncengan Iyan. Mereka pun akhirnya berangkat, Akbar tidak langsung memakai helm yang dia pinjam. Setelah memasuki jalan besar Akbar baru memakainya. Iyan dan Akbar jalan duluan, dibelakangnya Ridhan membuntuti. Perjalanan berjalan cepat, mereka memacu sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Dalam waktu sekitar empat belas menit mereka sudah memarkirkan kendaraan di parkiran tempat mereka akan bertemu dengan Dewi dan teman – temannya. Beres memarkirkan motor mereka langsung bergegas mencari tempat karoke yang berada di lantai paling atas. Tempat karoke tersebut berada di dekat sebuah kaca yang besar dan menghadap ke jalan raya. Terlihat jelas pemandangan jalan Dago yang dihiasi oleh pohon – pohon rindang dari atas sini. Terdapat banyak meja kursi yang disediakan di dekat kaca tersebut. Dewi dan teman – temannya menunggu di salah satu meja kursi tersebut. Mereka memilih meja kursi yang letaknya paling dekat dengan kaca besar.
“Hei Wi, bentar lagi mulai ya?” Iyan menyapa dan bertanya.
“Mulai apa? Kita belum booking Yan.” Jawab Dewi.
“Kata kamu setengah tiga kan?” Iyan bertanya.
“Maksud aku itu ngumpulnya jam setengah tiga.” Dewi menjelaskan sambil tertawa.
“Cuma bertiga aja? Yang lain ga diajak?” Tanya Laras.
“Pada gak bisa.” Jawab Akbar santai.
“Yaudah deh booking dulu aja.” Kata Ridhan.
“Ayo Dhan temenin kedalem.” Ajak Sintia.
Ridhan membalas dengan menganggukan kepala. Ridhan dan Sintia memisahkan diri sementara untuk memesan tempat.
“Eh itu si Banyu kan ya?” Ifa bertanya sambil menunjuk seseorang.
“Eh iya bener itu si gendut.” Jawab Iyan.
“GENDUT………!!!!!!” Akbar memanggil sambil berteriak dengan lantang sampai bibirnya termonyong - monyong.
Hal konyol yang dilakukan Akbar membuat semuanya tertawa. Pada percobaan  pertama yang dilakukan Akbar tidak berhasil, maka dia mencobanya untuk kedua kali.
“BANYU………..!!!!!!” Akbar memanggil sambil berteriak dengan lantang sampai bibirnya termonyong - monyong.
Percobaan kedua Akbar masih gagal. Karena penasaran Iyan pun mencoba memanggil Banyu yang waktu itu sedang duduk bersama kakak perempuannya.
“BANYU GENDUT…….!!!!!!” Iyan memanggil sambil berteriak dengan lantang sampai bibirnya termonyong - monyong.
Kali ini Banyu menyadari panggilan tersebut, sontak dia langsung mencari – cari asal muasal suara yang terdengar tidak enak itu. Dengan cepat dia menyadari asal muasal suara tersebut dan dia terkaget ternyata ada teman – temannya disana. Dia pun langsung memisahkan diri dari kakaknya dan menghampiri teman – temannya.
“Woi bikin malu aja ditempat umum.” Bentak Banyu.
“Lagi ngapain lu disini?” Tanya Iyan sambil tertawa.
“Gue nemenin kakak gue jalan – jalan.” Jawab Banyu.
“Mau ikutan karoke ga sekarang?” Tanya Iyan.
“Lah bukannya tadi ya?” Banyu bertanya balik.
“Diundur, gak dapet tempat tadi.” Jawab Akbar santai.
“Eh! Ada si Banyu.” Kata Ridhan yang baru kembali.
“Hai Nyu.” Sintia menyapa.
“Hai Ti.” Banyu membalas.
“Dapetnya jam empat nih.” Kata Sintia.
“Gue kayaknya ga bisa ikutan deh, sebentar lagi mau cabut soalnya.” Banyu menjelaskan.
“Kenape?” Tanya Ridhan.
“Gue harus ketemu nyokap, nyokap gue lagi di Bandung.” Jawab Banyu.
“Yah, yaudah deh.” Iyan kecewa.
“Jangan kecewa gitu dong Yan, lain waktu deh.” Kata Banyu.
Tidak lama setelahnya Banyu pun akhirnya berpamitan. Hujan lebat mengantar keberangkatan Banyu. Kota Bandung diguyur hujan sore itu. Untungnya Banyu dan kakaknya naik mobil jadi mereka tidak kehujanan. Sambil menunggu giliran, Dewi dan teman – temannya memesan makanan. Ridhan, Iyan dan Akbar hanya memesan es teh manis karena mereka hanya membawa uang yang pas – pasan. Mereka bertiga hanya bisa menahan lapar karena tidak bisa makan siang. Mereka pun berbincang – bincang membicarakan kejadian ketika mereka shalat Jum’at tadi. Mereka juga membicarakan susahnya mereka mencapai tempat karoke ini. Waktu yang ditunggu akhirnya tiba. Mereka langsung memasuki ruangan karoke yang sudah dipesan. Ruangnya cukup besar, terlihat seperti bioskop kecil dengan bangku sofa yang berjumlah empat baris dan terdiri dari empat sofa setiap barisnya. Terdapat layar besar didepannya berukuran sekitar satu setengah meter kali dua meter. Para perempuan memulai permainan, mereka memilih lagu – lagu romantis favorit mereka masing - masing. Kali ini Ridhan, Iyan dan Akbar masih menjaga sikap, mereka memilih untuk duduk rapih menyaksikan para perempuan bernyanyi dengan suara yang pas – pasan. Pada lagu keempat, Dewi memilih lagu Dewa yang berjudul Sedang Ingin Bercinta lalu berteriak.
“Ayo dong cowok – cowoknya pada nyanyi!.” Teriak Dewi.
Sambil membawa dua mikrofon dia berjalan mendekati tempat Iyan sedang duduk. Dia langsung memeberikan salah satu mikrofon tersebut kepada Iyan dan menarik tangannya untuk maju kedepan.
“Liat tuh Bar, si Iyan ga bisa apa – apa kalo digitiun.” Kata Ridhan sambil tertawa.
Akbar dan Ridhan menertawai Iyan yang terlihat sangat gugup waktu itu. Pada bagian awal lagu Iyan masih biasa – biasa saja bernyanyinya. Dia masih kebingungan kali ini. Memasuki bagia reff pertama yang betempo agak cepat Iyan masih biasa sampai akhirnya tempo kembali melambat.
“Ayo dong Yan, masa cuma segitu aja.” Dewi melecehkan.
Iyan agak terpancing dengan perkataan Dewi, tapi kali ini dia masih gugup dan masih mencoba untuk tenang. Setelah memasuki reff kedua tempo kembali naik namun kali ini sangat berbeda. Dewi menggerak – gerakkan badannya didepan Iyan. Adrenalin Iyan pun langsung terpacu.
“AKU SEDANG INGIN BERCINTA, karena …” Dewi bernyanyi sambil berjoget.
“MUNGKIN ADA KAMU DISINI, AKU INGIN.” Iyan membalas dengan nyanyian dan mengikuti Dewi berjoget.
Kali ini Iyan mengeluarkan semua kemampuannya dalam bernyanyi. Dia sudah tidak menjaga sikap lagi. Ridhan dan Akbar hanya bisa tertawa melihat kekonyolan yang terjadi. Mereka berdua pun semakin menjadi – jadi ketika lagu memasuki bagian yang bernada dangdut. Mereka bedua berjoget bersama, Dewi memutar badannya sehingga kali ini dia membelakangi Iyan. Iyan berjoget makin kegirangan dibelakang Dewi. Mereka berdua terlihat sangat menikmati lagu ini. Sampai akhirnya mereka berdua pun menyudahi lagu ini dengan berteriak bersama.
“MUNGKIN ADA KAMU DISINI! AKU INGIN.” Iyan dan Dewi menutup lagu dengan sangat puas.
Giliran selanjutnya adalah giliran Ridhan. Dia memilih lagu The Changcuters yang berjudul Racun Dunia. Ridhan langsung maju kedepan memberanikan diri. Dia kebingungan, ternyata kali ini dia harus bernyanyi sendiri.
“Gak ada yang nemenin gue ini?” Tanya Ridhan menggunakan mikrofon.
Para penonton menjawabnya dengan menggelengkan kepala.
“Yaudah gak apa apa.” Kata Ridhan.
Ridhan pun akhirnya dengan percaya diri bernyanyi sendirian. Dengan suara yang pas – pasan malah bisa dibilang buruk Ridhan mencoba untuk bernyanyi. Benar saja para penonton tidak menikmati pertunjukan tersebut.
“SUARA LU ANCUR.” Iyan berteriak
Ridhan tidak meghiraukan dan terus bernyanyi. Dia terus bernyanyi dengan sepenuh hati sampai lagu habis walaupun para penonton menyorakinya. Akhirnya para penonton bisa bernafas lega karena Ridhan sudah selesai bernyanyi. Kali ini adalah giliran Sintia yang berduet dengan Ifa. Mereka berdua menyanyikan lagu D’Masiv yang berjudul Merindukanmu. Mereka berdua bernyanyi dengan sepenuh hati, walaupun suaranya pas – pasan. Iyan agak merasa kecewa karena tempo lagu ini sangat lambat dan terlihat tidak bersemangat. Ridhan yang merasa kelelahan setelah beteriak – teriak hanya bisa memperhatikan. Lagu ini membuatnya nyaman dan rileks. Akbar pun merasakan hal yang sama seperti Ridhan. Tidak biasanya Akbar bisa menikmati lagu cinta yang mendayu – dayu seperti ini. Perhatiannya tertuju kepada satu orang. Seorang perempuan berkulit putih, tampangnya lugu seperti anak balita, memiliki pipi yang merah merona padahal dia tidak memakai make – up, rambutnya panjang bergelombang sepunggung. Yang tidak lain adalah Ifa. Waktu seperti berhenti ketika Akbar menikmati lagu yang dinyanyikan oleh Ifa. Walaupun suaranya pas – pasa, namun Akbar memiliki penilaian sendiri. Detak jantungnya bergerak seirama dengan lagu. Akhirnya setelah lima tahun dia merasakannya lagi. Merasakan perasaan yang aneh dan berbeda. Sampai akhirnya lagu itu pun selesai dinyanyikan, para penonton pun memberi penghormatan dengan bertepuk tangan. Akbar tidak ikut bertepuk tangan, dia hanya terdiam. Namun hatinya berbicara. Dalam hati Akbar berkata bahwa Ifa itu spesial. Akbar langsung mengajukan diri untuk bernyanyi, dia memilih lagu Aerosmith yang berjudul I don’t Wanna Miss a Thing. Dia langsung maju kedepan dan meminta agar tidak ada yang menemaninya. Dia hanya ini bernyanyi sendiri. Akbar pun memulai lagu dengan percaya diri dan sepenuh hati. Dia sangat menghayati lirik demi lirik lagu tersebut dengan suara yang pas – pasan, namun tidak ada yang menyorakinya kecuali Iyan.
“SUARA LU LEBIH ANCUR DARI SI RIDHAN.”  Teriak Iyan.
Akbar dengan santai terus bernyanyi dan tidak menghiraukan teriakan Iyan. Ini adalah ciri khasnya yang selalu cuek dan santai sampai lagu itu berakhir. Dia mendapatkan penghormatan berupa tepuk tangan dari penonton. Acara terus dilanjutkan sampai menghabiskan waktu dua jam. Setelah giliran Akbar, mereka hanya memilih lagu dangdut agar bisa lebih bersemangat. Setelah acara karokean selesai, mereka pun langsung keluar dari ruangan dan membayar sewa karoke sampai akhirnya mereka berpisah. Hujan sudah reda ketika mereka hendak pulang, hanya bersisa gerimis rintik - rintik. Dewi dan teman – temannya pulang menaiki taksi berwarna biru muda dengan lambang burung. Ridhan, Akbar dan Iyan pulang menuju Saung Lampung naik motor. Semua berjalan biasa – biasa saja selama perjalanan menuju Saung Lampung. Ridhan memarkirkan motornya di parkiran dan membawa helmnya ketika akan ke kamar Ewin. Begitu pun dengan Iyan setelah memarkirkan motor Toro di parkiran. Akbar menunjukan gelagak yang berbeda. Dia terlihat gelisah kali ini.
“Minjem korek Bar.” Kata Iyan.
Akbar tidak menjawab, pandangannya datar. Dia seperti memikirkan seseuatu.
“Bar, minjem korek dong.” Iyan meminta lagi.
“Gue jatuh cinta.” Jawab Akbar dengan berat.
“Hah?” Iyan kebingungan.
“Gue mau ngerokok ini, pinjem korek dong.” Lanjut Iyan.
“Gue mau bikin puisi sekarang.” Kata Akbar sambil meninggalkan Iyan dan Ridhan dipakiran.
“Bocah sedeng. Pake korek gue aja Yan.” Kata Ridhan sambil memberikan korek.
Akbar bergegas menuju kamar Ewin meninggalkan Iyan dan Ridhan di tempat parkir. Dia meminjam pensil dan meminta kertas kepada Ewin. Dia langsung menuliskan sesuatu di kertas tersebut. Inspirasinya sedang cerah. Ifan memberikan sangat banyak inspirasi baginya kali ini. Sahabat – sahabatnya masih kebingungan dengan kelakuan Akbar kali ini. Dalam waktu singkat jadilah sebuah puisi karangan Akbar. Puisi yang tertuju hanya kepada satu orang, yaitu Ifa. Akbar langsung menunjukan puisi tersebut kepada sahabat – sahabatnya. Akbar mendapatkan pujian akan hasil karyanya. Akbar langsung menjelaskan tentang apa yang sedang terjadi pada dirinya. Sahabat – sahabatnya ikut senang atas kejadian ini dan sangat mendukung Akbar.

Pusi Ba’da Magrib

Aku tidak selalu memperhatikan
Selama itu tidak merugikan
Aku tidak peduli akan keadaan
Selama itu tidak meresahkan

Tidak peduli siang malam
Gelap terang
Cerah hujan
Aku tetap melangkah

Kenapa kamu datang?
Ba’da Magrib di kala hujan
Dan kau merubah segalanya
Sekarang semua berbeda

Aku mulai membutuhkan,
Keberadaanmu
Tidak ingin lagi aku melangkah,
Jika tanpa kamu
Perhatian ini akan selalu ada,
Hanya untuk kamu

Ifa, aku peduli terhadap kamu
Akbar ingin lebih dekat denganmu

Akbar Firdaus, 2008


Puisi ini dibuat ba’da Magrib jam enam kurang beberapa menit. Hujan kembali mengguyur kota Bandung ketika Akbar menulis puisi ini. Kota Bandung pun ikut senang atas apa yang dirasa oleh Akbar kali ini. Adzan Magrib langsung berkumandang setelah puisi ini jadi. Ridhan, Iyan, dan Akbar baru sadar kalau mereka melewati shalat Ashar beberapa saat kemudian. Mereka pun langsung mendapat ceramah singkat dari Toro.

0 comments: