Senin, 10 Februari 2014

Selanjutnya

Intermezzo

Suasana semakin memanas. Cuaca di luar pun semakin lama semakin memanas. Matahari sangat terik hari ini. Bandung tidak terasa sejuk. Ruang kamar kosan Ewin pun terasa semakin sesak dibuatnya, ditambah lagi asap rokok yang yang dihembuskan oleh Ewin, Iyan, dan Banyu. Toro yang satu – satunya tidak merokok pun terasa semakin tersiksa.
“Ini jendela sama pintu kamar dibuka ya! Gila gue ga bisa napas.” Keluh Toro.
“Yaudah buka aja.” Jawab Ewin.
“Iya nih gerah banget.” Kata Iyan sambil melepaskan kaos oblongnya.
Melihat Iyan melakukan itu, Ewin pun langsung membuka kaos oblongnya. Dia juga merasa kegerahan.
“Ikut – ikut aja lu! Liat tuh bulu ketek berontak.” Kata Iyan
“Jangan banyak bacot! Mending buktiin di permainan.” Jawab Ewin.
“Berisik lah lu berdua! Ayo maen, udah gue bagiin tuh kartunya.” Sentak Banyu.
“Ya Allah, kuatkan lah hambamu yang lemah terhadap asap rokok ini.” Gumam Toro dalam hati.
Kali ini di akhir liburan semester mereka hanya berempat karena Ridhan sedang pulang ke Tangerang ke rumah orang tuanya, Akbar sedang pulang kampung ke Garut, dan Adit harus membantu ibunya belanja untuk keperluan tokonya. Mereka duduk melingkar. Toro duduk paling dekat dengan pintu keluar. Di sebelah kiri Toro ada Banyu. Disebelah kiri Banyu ada Ewin dan disebelah kiri Ewin ada Iyan. Mereka masing - masing menggenggam kartu permainan. Kartu permainan yang berjumlah lima puluh dua buah dibagi empat dengan jumlah yang sama banyak. Masing – masing menggenggam tiga belas buah kartu. Mereka berempat sepakat akan mengabaikan segala macam panggilan dan pesan yang masuk ke telepon genggamnya. Video film yang diputar di VCD playar milik Ewin pun tidak mereka hiraukan. Suasana disana tiba – tiba menjadi hening ketika Banyu selesai membagikan kartu.
Permainan pun dimulai. Mereka masing – masing mengeluarkan kartu dengan angka terkecil yaitu tiga. Toro mengeluarkan kartu tiga skop. Banyu mengeluarkan tiga hati. Ewin mengeluarkan tiga keriting. Iyan mengeluarkan tiga dengan lambang paling kecil, yaitu wajik.
“Apaan tuh kartu paling kecil?” Tanya Ewin kepada Iyan sambil tertawa terbahak - bahak.
“Ah! Salah yang ngebagiin ini mah.” Iyan menyalahkan Banyu.
“Kenapa jadi salah gue? Itu mah gimana muka yang nerima aja.” Banyu berargumen.
“Berarti nilai muka lu paling kecil Yan.” Kata Toro sambil tertawa.
“Eh sialan lu ustadz.” Jawab Iyan sambil menghembuskan asap rokok ke muka Toro.
Toro hanya bisa mengibas – ngibaskan tangannya ketika dia didzolimi oleh Iyan. Permainan pun terus berlanjut. Tidak terasa dalam beberapa menit kartu Toro sudah habis, berarti dia memenangkan permainan. Akan tetapi permainan belum berakhir ketika juara pertama telah ditentukan. Permainan terus berlanjut sampai tau siapa yang berada di posisi paling buncit. Banyu mendapatkan keuntungan dari kemenangan Toro. Dia mendapatkan “warisan” dari Toro sehingga dia dapat menguasai permainan setelah Toro menghabiskan kartunya dan dinyatakan menang. Benar saja tidak lama setelah Toro menang, Banyu akhirnya bisa menghabiskan kartunya dan dinyatakan sebagai juara kedua. Banyu pun tersenyum lebar karena kartu hasil kocokannya dapat membantuk permainannya dan menyulitkan dua rival beratnya. Secara otomatis Ewin dan Iyan harus berduel untuk mengetahui siapa yang akhirnya akan kalah. Ewin sedikit diuntungkan karena dia mendapatkan giliran bermain setelah Banyu dan mendapatkan “warisan dari Banyu. Ewin berada diatas angin ketika awal duel ini. Ewin pun mengeluarkan semua paketannya. Dari mulai seri sampai fullhouse. Dia pun akhirnya mengeluarkan paketan terakhirnya dan menyisakan satu kartu lagi di tangannya. Dia yakin sekali akan memenangkan duel ini makan dia pun tersenyum lebar sambil menatap Iyan yang tertunduk lesu. Iyan kebingungan, sebenarnya dia bisa melawan paketan dari Ewin tersebut, akan tetapi jika dia lawan dia masih menyisakan banyak kartu sampah di tangannya. Kartu sampah adalah kartu dengan nominal kecil dan lambang yang nilainya kecil pula. Kartu tersebut sebenarnya bisa berguna jika bisa dipaketkan dengan kartu lainnya yang berhubungan, namun kali ini tidak bisa bagi Iyan. Iyan memiliki satu paketan yang dapat melawan paketan dari Ewin, namun jika dilawan dia takut tidak bisa melawan satu kartu yang tersisa di tangan Ewin. Akhirnya dengan nekat Iyan melawan paketan Ewin. Tiba – tiba wajah Ewin yang tadinya berseri – seri berubah menjadi lesu. Iyan pun mencium aroma kesuksesan dari kenekatannya. Kartu di tangan Iyan tersisa empat, Ewin menyisakan satu. Iyan pun memulai permainan kembali, dia mengeluarkan kartu dengan nilai yang paling besar yang dia miliki. Pertama – tama king hati, Ewin tidak melawan. Lalu sepuluh wajik, Ewin mulai menarik nafas dan garuk – garuk kepala. Lalu enam sekop, Ewin mulai mengeluh lesu dan Iyan pun mulai tersenyum lebar. Yang terakhir dia mengeluarkan kartu terkecilnya yaitu lima hati dan kartunya pun habis. Iyan pun akhirnya menjadi juara ketiga dan Ewin keempat.
“Sialan kampang ah!” Kata Ewin dengan reflek yang tidak disengaja karena kesal.
“Makan tuh warisan.” Kata Iyan sambil tertawa.
“Emang kartu terakhir lu apa Win?” Tanya Banyu.
“Nih.” Jawab Ewin lesu sambil menunjukan kartu empat wajik.
“Kartu kecil gitu ngapain ditahan?” Tanya Toro melecehkan.
“Tau ah! Udahan ah, gue mau makan.” Jawab Ewin kesal.
Ewin pun langsung beranjak dari tempat duduknya diatas karpet menuju dapur untuk memasak mie instan. Teman – temannya hanya mengolok – oloknya sambil tertawa terbahak – bahak.
“Mana ini juara poker dari Lampung?” Tanya Iyan sambil tertawa terbahak – bahak.
“Dia itu juara tau, juara kartu empat wajik.” Jawab Banyu sambil tertawa.
“Kartu cacat gitu kok ditahan?” Kata Toro yang juga sambil tertawa.
“Berisik lu bertiga! Gue mau masak mie instan nih, pada mau ga?” Tanya Ewin.
“Itung – itung traktiran gara – gara kalian udah menang.” Lanjut Ewin.
“Ih baik banget deh.” Respon Banyu sambil tersenyum lugu.
“Mau dong! Lu ganteng banget deh Win.” Jawab Iyan sambil tersenyum lebar.
“Mau dong win, maaf ya udah ngejek tadi.” Jawab Toro sambil tertawa.
Mereka pun langsung membantu Ewin yang akan masak di dapur kosan. Ewin mengeluarkan stok perbekalannya bulan ini untuk meneraktir teman – temannya. Dia membawa empat bungkus mie instan ke dapur dan teman – temannya menyiapkan piring dan sendok. Mereka akan memulai suatu petualangan baru, di tahun ajaran baru dengan status baru di sekolah yaitu senior kelas tiga. Dan juga mereka pun menunggu kedatangan 3 sahabatnya yang belum datang agar petualangan baru nanti akan terasa lebih menyenangkan.

Menuju Musim Baru

Selepas pembagian rapot hasil belajar selama setahun, siswa – siwa diliburkan selama sebulan. Tiga hari setelah pembagian rapot Ridhan langsung pergi ke Tangerang untuk liburan di rumah orang tuanya.  Ewin pulang ke Lampung sehari setelah pembagian rapot. Banyu pulang menuju Banjarsari beberapa hari setelah Ridhan pergi ke Tangerang. Toro sempat menikmati liburang di Bandung selama seminggu, namun setelahnya dia memutuskan untuk berlibur ke Ciparay di rumah orang tuanya yang berada di kaki bukit untuk mencari ketenangan. Adit menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membantu ibunya di toko, dari mulai belanja keperluan toko sampai melayani pengunjung. Akbar sempat menghabiskan masa liburannya di Bandung selama 3 minggu, pada seminggu terakhir dia diajak kedua orang tuanya untuk ke Garut ke tempat saudara – saudara sepupunya. Iyan hampir sama dengan Adit, dia menghabiskan seluruh waktunya di Bandung. Dia membantu kedua orang tuanya pindahan rumah dari komplek Margahayu raya menuju ke daerah Kare’es sekitar jalan Gatot Subroto.  Sebelum pergi ke Garut, Akbar sempat membantu sedikit pindahan rumah Iyan. Rumah Akbar yang berada di Riung Bandung berdekatan dengan rumah Iyan yang berada di Margahayu Raya. Sebenarnya rumah Adit berada satu komplek dengan Iyan, namun Adit terlalu sibuk mengurus toko ibunya jadi tidak sempat membantu Iyan. Akbar membantu seluruh kegiatan packing barang – barang di rumah lama Iyan. Sebelumnya Akbar membantu Iyan untuk mencari kardus – kardus bekas untuk tempat barang – barang yang akan dipindahkan. Mereka membeli cukup banyak kardus bekas. Mereka sengaja membeli lebih banyak agar nantinya tidak kekurangan. Mereka berpikir pasti akan capek kalau harus bolak – balik membeli kardus bekas jika kekurangan. Cukup banyak barang – barang yang harus dipindahkan. Dari mulai alat – alat rumah tangga sampai barang – barang pribadi. Pada saat membongkar – bongkar barang – barang pribadi Iyan, mereka menemukan sebuah sepedah roda tiga yang telah membuat Iyan patah tulah ketika dia masih balita.
“Ah ketemu lagi sama sepedah ini.” Keluh Iyan.
“Kenapa emangnya Yan?” Tanya Akbar.
“Gue pernah patah tulang gara – gara sepedah ini.” Jawab Iyan.
“Loh kok bisa Yan?” Tanya Akbar lagi.
“Waktu itu gue maen sepedah ini didalem rumah terus terjadi deh sebuah kecelakaan yang kejadiaannya gue udah lupa lagi kenapa bisa celaka.” Jawab Iyan.
“Terus patah tulang deh, dan karena itu pertumbuhan gue terhambat jadi aja gue ga tinggi.” Lanjut Iyan.
Akbar pun dengan reflek tertawa terbahak – bahak mendengar cerita dari Iyan.
“Sial! Kenapa ketawa lu?” Tanya Iyan kesal.
“Lucu aja dengernya Yan.” Jawab Akbar sambil masih tertawa.
“Kalau lu ga kecelakaan kita ga bakal jadi duo boncel bro!” Lanjut Akbar sambil tersenyum lebar.
“Oh iya ya bener, nanti cuma lu doang yang boncel ya.” Kata Iyan sambil tertawa.
“Jadi sepedahnya diapain nih?” Tanya Akbar.
“Buang aja lah, males gue liatnya.” Jawab Iyan sambil tertawa.
Dan akhirnya sepedah roda tiga tua itu pun dibuang di tempat sampah depan rumah. Lalu mereka pun melanjutkan proses packing barang – barang. Proses packing ini memakan waktu sekitar 3 jam. Setelah barang – barang selesai dipacking, barang – barang itu pun langsung ditaruh di mobil angkut losbak untuk dibawa ke jalan Gatot Subroto. Akbar tidak ikut ke Gatot Subroto karena dia harus pulang karena kedua orang tuanya sudah menunggu di rumah dan siap berangkat menuju Garut. Malam harinya Akbar bersama kedua orang tuanya berangkat menuju Garut. Iyan masih harus membatu kedua orang tuanya mendekorasi rumah barunya. Proses dekorasi ini pun memakan waktu yang cukup lama karena harus menurun kan barang – barang dari mobil angkut terlebih dahulu. Dari mulai menurunkan barang sampai selesai mendekorasi memakan waktu sekitar 3 jam juga. Sehingga tidak aneh Iyan malamnya tertidur diatas sofa karena merasa sangat kecapean.
Waktu pun terus berlalu dengan cepat. Tidak terasa waktu liburan sebentar lagi akan berakhir. Ridhan menghabiskan waktu yang monoton di rumah selama liburan. Yang dia kerjakaan hanya makan, tidur, main game komputer, lalu tidur. Sesekali dia sempat main keluar rumah untuk bertemu kerabat lama. Adit masih sibuk membantu ibunya di toko. Sesekali dia sempat mencicipi kue dagangan ibunya secara diam – diam, jadi tidak aneh kalau badannya besar bongsor. Banyu juga sibuk membantu kedua orang tuanya di toko di Banjarsari, namun bedanya toko milik orang tua Banyu adalah toko obat atau apotek. Banyu sudah hafal sebagian besar kode – kode obat dan beberapa resep untuk beberapa penyakit. Toro menikmati kesunyian alam di kaki bukit di rumah orang tuanya di daerah Ciparay. Didalam kesunyian dia merasa lebih dekat dengan Tuhan lalu dia pun sedikit demi sedikit dia melupakan Shifa dan kekecewaan yang telah diciptakannya bagi Toro. Ewin menghabiskan waktu di kampung halamannya sambil bercengkrama dengan kedua orang tua dan adiknya yang sudah lama tidak bertemu. Seringkali dia pergi menuju kolam ikan milik ayahnya untuk memancing ikan gurame. Hasil yang dia dapatkan langsung di olah oleh ibunya, entah itu digoreng atau dibakar. Mau seperti apa pun di olahnya yang peting sambelnya sambel lampung, maka akan sangat nikmat dimakan ketika dihidangkan denga nasi panas pikir Ewin. Akbar pergi ke Garut bersama kedua orang tuanya. Dia mengunjungi tempat – tempat pariwisata di Garut. Hal yang paling berkesan baginya adalah ketika dia mengunjungi pemandian air panas. Berendam di air panas membuatnya menjadi lebih tenang dan nyaman, sampai – sampai dia tertidur di tempat pemandian air panas. Iyan menikmati adaptasi dengan rumah barunya. Lokasi rumah barunya ini membuat jaraknya menuju ke sekolah jadi lebih dekat. Terkadang dia masih teringat dengan suasana di rumah lamanya. Namun setelahnya dia merasa dia harus fokus berpikir kedepan dan sedikit melupakan masa lalunya.
Toro menjadi orang pertama yang kembali ke Bandung. Dia merasa sudah cukup untuk dia menyendiri di kesunyian alam. Sudah lama dia tidak berinteraksi dengan orang lain, akhirnya saat lima hari sebelum masuk sekolah hari pertama dia memutuskan untuk kembali ke bandung. Dua hari setelahnya Ewin kembali ke Bandung, membawa banyak oleh – oleh pempek untuk dia dan sahabat – sahabatnya. Sehari setelah kedatangan Ewin, Banyu kembali ke Bandung membawa oleh – oleh khas Banjarsari. Sehari sebelum masuk sekolah hari pertama Ridhan dan Akbar kembali ke Bandung. Setelah sekitar sebulan mereka berpisah akhirnya mereka berkumpul lagi.
“Woi! Parah lah, gue sms ga pada ngebales.” Kata Ridhan kesal.
“Woi! Apa kabar lu? Maaf tadi kita lagi tanding poker.” Sahut Ewin.
“Yaelah masa bales sms aja ga sempet.” Keluh Ridhan.
“Kita terlalu fokus tadi Dhan.” Iyan memberikan penjelasan sambil tertawa.
“Mau mie goreng ga Dhan? Ada yang kalah maen poker terus mau neraktir nih.” Kata Banyu.
“Boleh boleh! Tau aja nih gue lagi laper setelah menempuh perjalanan jauh.” Jawab Ridhan tersenyum.
“Weits! Enak aja, lu kan ga ikut maen poker Dhan. Beli sendiri!” Ewin ketus.
“Yaelah iya deh gue beli sendiri.” Kata Ridhan kecewa.
“Eh si Adit sama si Akbar mana? Masih pada mudik mereka?” Tanya Ridhan.
“Si Adit nanti rada maleman mau kesini katanya.” Jawab Banyu.
“Si Akbar lagi dijalan menuju Bandung dari Garut, mau kesini juga katanya.” Jawab Iyan.
“Bagus deh kalo semuanya kumpul lagi.” Kata Ridhan sambil beranjak menuju warung untuk membeli mie instan dan beberapa batang rokok.
Setelah hidangan khas anak kosan ditambah beberapa potong pempek lenjer goreng siap, mereka pun langsung menyantapnya. Ridhan makan dengan tidak santai karena dia baru sampai dari perjalanannya menuju Bandung dan merasa sangat kelaparan. Setelah selesai makan mereka tidak langsung mencuci piring – piring bekas makan mereka, mereka malah menonton film di VCD player milik Ewin. Toro membawa banyak film dari rumahnya untuk ditonton bersama. Tidak terasa malam pun mulai datang. Suhu udara yang tadinya tinggi pun berubah menurun dan membuat menjadi dingin. Tidak terasa juga sudah empat film yang mereka tonton bersama. Tidak lama Akbar pun datang dan menyapa mereka berlima.
“Halo! Assalamualaikum saudara – saudara.” Sahut Akbar.
“Walaikumsalam!” Mereka berlima menjawab berbarengan.
“Apa kabar dulur – dulur sekalian?” Tanya Akbar.
“Fine! Thank you, and you?” Jawab mereka berlima kompak.
“Baik! Luar Biasa! Allahuakbar!” Balas Akbar.
“Sedang apa kalian?” Tanya Akbar lagi.
“Sedang VCD marathon pak.” Jawab mereka berlima berbarengan lagi.
“Ah udah ah capek. Kalian bisanya keroyokan.” Keluh Akbar.
“Baru sampe Bar?” Tanya Ewin sambil tertawa.
“Iyan nih, gue bawa beberapa dodol buat kalian nih.” Jawab Akbar.
“Eh ada rokok ga? Asem nih.” Tanya Akbar.
“Santai, ada banyak kok bro.” Jawab Iyan.
Akbar pun tersenyum lebar dan langsung menerima sebatang rokok dari Iyan. Setelah menerimanya dia langsung mengeluarkan korek orang kaya miliknya untuk menyundut rokoknya. Korek orang kaya adalah korek kayu yang sekali pakai langsung buang layaknya orang kaya. Beberapa saat setelah kedatangan Akbar, datanglah Adit membawa satu kresek besar kue – kue jajanan pasar.
“Halo! Assalamualaikum saudara – saudara.” Sapa Adit.
“Walaikumsalam!” Jawab mereka berenam.
“Apa kabar dulur – dulur sekalian?” Tanya Adit.
“Fine! Thank you, and you?” Jawab mereka berenam.
“Baik! Luar biasa! Allahuakbar!” Jawab Adit.
“Sedang apa kalian?” Tanya Adit.
“Sedang makan dodol, mau?” Jawab mereka berenam.
“Mau dong! Nih gue tambahin sama kue dari toko.” Kata Adit.
“Banyak makanan, banyak rokok, sejahtera kita!” Kata Akbar sambil tertawa.
“Woi jangan berisik! Udah malem ini! Teriak – teriak mulu daritadi!” Bentak salah satu tetangga kosan Ewin.
Ewin yang merasa tidak enak pun langsung menhampiri tetangganya tersebut dan langsung meminta maaf. Teman – temannya pun langsung terdiam seribu bahasa setelah dibentak.
“Eh katanya nanti kelas tiga kita diacak lagi ya?” Adit membuka pembicaraan sambil berbisik – bisik.
“Ah kata siapa lu?” Tanya Banyu sambil berbisik – bisik.
“Gue kata si Rachmi.” Jawab Adit sambil berbisik.
“Kok dia ga ngasih tau gue ya?” Tanya Ridhan sambil berbisik.
“Soalnya lu udah dicampakkan Dhan.” Jawab Toro sambil berbisik dan tertawa pelan.
“Sialan lu.” Balas Ridhan sambil menghembuskan asap rokok ke muka Toro dan tetap berbisik.
“Jadi si Rachmi tau dari mana kalo kelas bakal diacak lagi?” Tanya Iyan sambil berbisik.
“HAH! KELAS DIACAK LAGI NANTI?” Tanya Ewin yang baru kembali dari meminta maaf sambil reflek berteriak.
“Woi! Cari masalah lagi ya lu?!” Bentak tetangganya lagi dengan sangat kesal.
Ewin pun balik lagi ke kamar tetangganya untuk meminta maaf kembali. Teman – temannya yang kaget pun langsung menertawai Ewin, masih tetap sambil berbisik – bisik.
“Dasar bego!” Bentak Akbar ke Ewin sambil berbisik.
“Terusin cerita lu ndut.” Pinta Akbar ke Adit.
“Jadi si Rachmi dapet gosip dari anak – anak cewek.” Lanjut Adit
“Waduh! Kita bisa kepisah dong nanti.” Kata Ridhan.
“Tenang, nanti kitan sabotase aja.” Iyan memberi saran.
“Gimana caranya?” Tanya Banyu.
“Kita pikirin aja besok, kita abisin dulu semua makanan ini, abis itu pulang terus tidur.” Jawab Iyan sambil tertawa pelan.
“Wei! Jangan berisik ya, gue diomelin tuh dua kali tadi.” Curhat Ewin.
“Okey siap pak!” Jawab mereka berenam serentak sambil hormat.
Mereka bertujuh pun langsung menghabiskan makanan yang sangat banyak tersebut. Kalau kegiatan menghabiskan makanan ini dijadikan sebuah perlombaan, maka juara pertamanya adalah Adit dan Banyu ada diposisi kedua. Akbar dan Iyan sudah menyerah duluan karena badan kecilnya tidak mampu menampung banyak makanan. Setelah selesai mereka pun pulang ke tempat tinggal masing – masing dan mempersiapkan diri untuk esok hari.

Tahun Ajaran Baru

Dering ringtone telepon genggam Ridhan terdengar nyaring di kamarnya yang ketika itu keadaanya gelap gulita. Waktu menunjukan pukul lima pagi saat itu. Tentu saja Ridhan masih tertidur lelap, terbuai dengan indahnya mimpi. Suara ringtone telepon genggamnya terasa sangat mengganggu. Dia sangat menikmati waktu tidurnya karena dia baru saja bisa tidur pukul dua dini hari, ditambah lagi dinginnya cuaca kota Bandung ketika pagi hari membuatnya merasa berat untuk beranjak dari kasur dan selimutnya menuju meja belajarnya dimana letak telepon genggamnya berada. Ridhan terbiasa bergadang dan bangun siang selama liburan sekolahnya, dia harus membiasakan dirinya lagi untuk bisa bangun pagi seiap hari. Ini adalah cobaan pertamanya dalam masa adaptasi, karena hari ini adalah hari pertama masuk sekolah di tahun ajaran baru dengan status baru, yaitu senior di sekolah.
Ridhan akhirnya memaksakan diri untuk beranjak menuju sumber suara yang berada di meja belajarnya. Dengan keadaan setengah sadar dia memeriksa telepon genggamnya yang ketika itu sedang ada panggilan masuk. Di layar telepon genggamnya terlihat samar – samar tulisan MAMAH. Dengan keadaan setengah sadar namun bisa berdiri dengan tegak dia menjawab telepon dari ibunya.
“Halo.” Jawab Ridhan dalam keadaan mengantuk.
“Bangun! Bangun! Solat subuh! Jangan kesiangan! Sekarang masuk sekolah kan.” Kata Ibunya tegas.
“Iya mah, ini udah di kamar mandi mau wudhu.” Jawab Ridhan ngelantur.
“Jangan bohong kamu! Cepet bangun!” Bentak Ibunya.
“Iya mah.” Jawab Ridhan memelas.
Tidak lama nada sambungan telepon terputus pun terdengar. Ridhan pun dengan reflek langsung lompat kembali ke kasurnya dan bersembunyi dibalik selimut dengan telepon genggam yang masih dia genggam. Lalu dia pun langsung tertidur kembali. Delapan belas menit kemudian telepon genggamnya kembali berdering, ada telepon masuk lagi. Lagi dengan keadaan tidak sadar Ridhan pun langsung menjawab telepon yang masuk tersebut. Dia tidak menyadari kalau telepon ini dari ibunya.
“Halo…..” Jawab Ridhan dalam keadaan mengantuk.
“Kamu tidur lagi ya?!” Bentak ibunya.
“Ngga kok mah, ini udah berdiri pake sarung mau solat.” Jawab Ridhan ngelantur.
“Jangan bohong! Mau kesiangan kamu?!” Bentak ibunya lagi.
“Iya mah, ini sekarang bangun beneran.” Jawab Ridhan yang mulai sadar.
“Cepet! Kewajiban jangan ditunda – tunda.” Ibunya menasehati.
“Iya mah..” Jawab Ridhan.
Tidak lama nada sambung telepon terputus pun terdengar. Kali ini Ridhan bergegas bangun dan menyalakan lampu kamar. Dia melakukan senam pagi kecil beberapa menit agar badan tidak terlalu menggigil ketika terkena air wudhu. Setelah selesai melakukan senam pagi dia pun langsung beranjak menuju kamar mandi untuk wudhu dan sesudahnya dia tetap menggigil karena kedinginan. Sambil menggigil kedinginan dia berjalan dari kamar mandi kembali menuju kamarnya untuk solat subuh saat waktu itu menunjukan pukul setengah enam pagi. Selama sekitar enam menit Ridhan menjalankan kewajibannya, setelahnya dia langsung memasak air untuk mandi. Sambil menunggu air matang, dia menyetrika seragam dan celana yang akan dipakainya ke sekolah. Baju dan celana yang sudah rapih diseterika dia gantung di balik pintu kamarnya. Lalu dia menyiapkan buku – buku dan alat tulis yang akan dia bawa ke sekolah dan meletakannya kedalam tas selempang berukuran sedang berwarna abu – abu yang selalu dia bawa ke sekolah. Kali ini isi dari tas tersebut hanya dua buah buku tulis dan sebuah pulpen. Dia rasa itu sudah cukup untuk sekolah, sisanya bisa dia pinjam dari teman – temannya yang lain, seperti Toro yang selalu membawa alat tulis lengkap. Tidak lupa juga dia masukan earphone yang biasa dia gunakan secara sembunyi – sembunyi ketika jam pelajaran yang dia rasa membosankan berlangsung. Topi sekolah juga dia masukan karena hari pertama masuk adalah hari Senin yang biasanya diadakan upacara bendera. Razia selalu dilakukan ketika upacara bendara akan dimulai, ketika berlangsung, dan ketika berakhir. Razia meliputi atribut, seperti topi dan label nama siswa dan nama sekolah. Lalu kerapihan seperti rambut dan seragam. Maka dari itu Ridha selalu mempersiapkan segalanya dengan matang ketika berhadapan dengan hari Senin. Tidak lama setelah Ridhan selesai mempersiapkan barang – barang yang akan dia bawa ke sekolah, alarm untuk mandi pun terdengar. Air yang dia masak sudah mendidih sehingga menghasilkan suara nyaring yang khas. Dia pun langsung begegas mandi. Proses mandi ini menghabiskan waktu cukup lama, setelah sekitar setengah jam dia baru selesai mandi dan waktu sudah menunjukan jam setengah  tujuh pagi. Ridhan terlihat cukup santai ketika berpakaian karena dia menyadari kalau lokasi sekolahnya tidak terlalu jauh dari rumah neneknya dan juga dia difasilitasi sebuah sepedah motor untuk berangkat ke sekolah. Setelah selesai berpakaian dia langsung memanaskan sepedah motornya. Sambil menunggu motornya dipanaskan dia sempat menyantap sarapan selembar roti tawar sambil menonton acara televisi di pagi hari. Ketika waktu telah menunjukan jam tujuh kurang sepuluh menit Ridhan pun langsung berangkat. Tidak lupa sebelumnya dia berpamitan dengan neneknya yang waktu itu sedang mencuci piring di dapur. Ridhan hanya membutuhkan waktu sekitar lima menit perjalanan jika menggunakan sepedah motor menuju ke sekolahnya. Setelah sampai dia langsung memarkirkan motornya di parkiran kendaraan untuk murid dan langsung berjalan mencari teman – temannya namun yang dia temukan adalah kerumunan siswa – siswa didepan laboratorium biologi. Ternyata terdapat beberapa kertas yang ditempel di kaca jendela laboratorium tersebut, dan kertas itu berisikan daftar absen baru tiap kelas untuk kelas tiga yang sudah diacak. Ridhan pun langsung berjalan menuju pusat keramaian karena merasa penasaran. Ternyata disana sudah ada Ewin, Toro, Banyu dan Iyan yang datang lebih pagi dan mereka pun sudah melihat absen baru tersebut.
“Lu IPA 5 Dhan.” Kata Iyan memulai pembicaraan.
“Kok gitu? Bener diacak ini?” Tanya Ridhan kebingungan.
“Iya Dhan, gue, Banyu, Ewin sama Akbar IPA 6 tapi si Akbar belom dateng sekarang.” Jawab Iyan.
“Si Toro IPA 5 bareng lu.” Lanjut Iyan.
“Ini kita bisa tukeran kelas kayak taun kemaren ga sih?” Tanya Ridhan.
“Bisa kayaknya.” Jawab Banyu.
“Kita sabotase aja biar kita bisa sekelas lagi gimana?” Ewin menawarkan ide.
“Gimana?” Tanya Toro.
“Lu sama si Ridhan cari dua orang dari IPA 6 yang mau tukeran tempat sama kalian.” Ewin menjelaskan.
“Boleh tuh, tapi bantuin ya.” Pinta Toro.
“Tapi kalian nyarinya harus cowok ya.” Kata Banyu.
“Iya biar seimbang.” Lanjut Iyan.
“Bener tuh, biar jumlah ceweknya ga berkurang nanti di kelas.” Kata Ridhan baru mengerti.
“Yaelah kepikiran aja yang kayak begitu.” Ewin kesal.
“Penting lah, kita ini kan sekolahnya bukan di STM yang isinya cowok semua.” Kata Iyan membela diri sambil tertawa.
“Terserah deh, gue jajan dulu ah, laper.” Ewin Kesal.
“Yaudah ayo Tor kita nyari target.” Ajak Ridhan.
“Santai lah kelas dimulainya jam 8 tadi katanya, soalnya jadi riweuh gini kan.” Kata Toro.
“Yaudah ayo kita jajan dulu, gue haus dan lapar, belom sarapan.” Ajak Banyu.
Mereka berlima pun langsung beranjak menuju kantin kecil yang berada didekat laboratorium biologi. Kantin tersebut selalu disebut kantin “Nano – Nano”, karena terdapat graviti besar di temboknya yang bertuliskan “Nano – Nano”. Ewin mengambil sebuah gorengan dan sebuah minuman gelas, Banyu mengambil sebuah gorengan, sebungkus makaroni pedas, dan sebuah minuman kotak. Toro tidak jajan karena dia sedang puasa. Ridhan dan Iyan hanya mengambil sebuah minuman gelas. Mereka bersendau – gurau sambil menikmati jajanan yang mereka beli, dan tidak lupa juga sambil memandangi siswi – siswi yang berlalu – lalang disekitar mereka. Hari ini tidak ada upacara karena pada hari pertama masuk ini para guru sibuk mengatur urusan kesiswaan, hal ini juga menyebabkan diundurnya proses belajar mengajar yang jadinya akan dimulai jam delapan pagi. Beruntung sekali Akbar yang hari ini telat, ketika teman – temannya sedang bersendau – gurau di kantin dia masih dalam perjalanan dengan kendaraan umum dan jaraknya pun masih jauh dari sekolah. Dia terjebak macet di lampu merah Samsat. Tapi dia menanggapinya dengan santai, bukan Akbar namanya kalo tidak santai.
“Baru setengah delapan ya.” Kata Akbar dalam hati dengan santainya setelah melihat jam di telepon genggamnya.
Akbar tidak mengetahui kalau hari ini masuk sekolah itu jam delapan, dia masih berpikir kalau masuk sekolah itu jam tujuh pagi. Akan tetap dia masih terlihat santai seakan – akan tidak ada beban. Berbeda dengan siswa dari sekolah lain yang berada satu kendaraan umum dengan Akbar yang terlihat sangat panik.
Kembali lagi menuju keadaan di sekolah, kali ini Ridhan dan Toro siap mencari target untu proyek pertukaran siswa antar kelas. Mereka berdua memulai mencari siswa yang bertampang bosan, jenuh, suntuk, dan terlihat kurang bahagia dengan keadaan kelas dan anggotanya yang baru. Dan mereka pun tidak lupa untuk memilih target laki – laki sesuai pesan dari Banyu. Mereka berdua pun mulai memasuki kelas IPA 6.
“Mulai dari mana di Dhan?” Tanya Toro.
“Sebentar kayaknya gue dapet target pertama.” Jawab Ridhan.
“Yang mana?” Tanya Toro lagi.
“Itu tuh yang lagi berdiri sendirian di depan pintu kelas.” Jawab Ridhan sambil menunjuk kearah koridor depan kelas IPA 6.
Ridhan pun langsung mendatangi siswa tersebut yang ternyata bernama Handoyo dan biasa dipanggil Hans. Ridhan sempat berkenalan dengan Handoyo di warnet dekat sekolah ketika sedang bermain game online di malam hari bersama Ewin.
“Hoi Hans, kok bete gitu?” Ridhan membuka pembicaraan.
“Gue terpisah dengan geng DOTA gue Dhan.” Jawab Hans.
“Emang mereka pada di kelas mana?” Tanya Ridhan.
“Sebagian besar di IPA 5.” Jawab Hans lesu.
“Gue bingung gimana ntar kalo gue mau cabut maen DOTA.” Lanjut Hans.
“Lu sendiri kelas mana sekarang?” Ridhan bertanya lagi.
“IPA 6” Jawab Hans mulai agak kesal.
“Wah pas banget Hans, gimana kalo kita tukeran?” Ajak Ridhan.
“Serius lu? Hayuk deh!” Jawab Hans kegirangan.
Mereka berdua pun langsung menguruskan pertukaran mereka ke bagian kesiswaan. Toro masih kebingungan karena belum mendapatkan target. Ditengah kebimbangan akhirnya datanglah Ewin, Banyu, dan Iyan yang baru selesai jajan di kantin dan mulai menanyakan kabarnya Toro yang terlihat gundah.
“Gimana Tor?” Tanya Ewin sambil mengunyah cakwe mini.
“Iya gimana Tor? Banyu ikut bertanya sambil mengunyah roti bakar selai coklat stroberi dengan parutan keju didalamnya.
“Jorok amat lu berdua. Iya jadi gimana Tor?” Tanya Iyan dengan normal.
“Itu cemong mulut lu Nyu.” Kata Toro sambil memberikan selembar tisue.
“Si Ridhan udah dapet dan gue belom, sekarang dia lagi ngurusin pertukarannya.” Lanjut toro menjelaskan.
“Yaudah kita bantu deh sekarang.” Kata Ewin sambil mengunyah roti bakar Banyu yang dia pinta segigit besar.
“Lu mau target yang kayak gimana?” Tanya Banyu sambil mengunyah cakwe mini Ewin yang dia pinta lima buah.
“Pastinya yang ikhlas mau diajak tukeran dan cowok kan kata lu Nyu.” Jawab Toro.
“Tapi coba kalian liat keadaan kelas IPA 6 ini, mereka semua nampak bahagia, ga ada yang mau diajak tukeran sepertinya.” Toro lanjut menjelaskan.
“Tuh kayaknya ada yang galau di pojokan.” Kata Iyan sambil menujuk.
“Itu cewek Yan.” Kata Ewin sambil mengunyah suapan terakhir cakwenya.
“Terus gimana dong?” Tanya Iyan.
“Kata lu kan ga boleh cewek.” Jawab Ewin.
“Kata lu juga kan ga usah mikirin yang begitu.” Jawab Iyan.
“Yaudah lu samperin aja Tor, cantik tuh ceweknya.” Banyu memberi saran.
“Yaudah deh.” Jawab Toro.
Toro pun langsung menghampiri perempuah yang duduk sendiri di pojok belakang kelas tersebut. Ketiga temannya menunggu di depan kelas sambil memantau Toro dari jauh. Terlihat Toro menyapanya dengan sopan dan mangajaknya berbincang dengan ramah. Siswi itu pun menyambut dengan ramah dan sopan. Tidak lama setelahnya Toro dan siswi tersebut berjalan keluar kelas dan siswi tersebut membawa tas ransel kecilnya. Toro memberikan isyarat kalau dia sukses dalam proses negosiasi. Dibagian kesiswaan Toro bertemu dengan Ridhan yang juga sedang mengurus proses pertukaran. Proses pertukaran tidak memakan waktu cukup lama, setelahnya mereka berdua kembali menuju kelas IPA 6 untuk menemui teman – temannya. Akhirnya mereka berkumpul kembali dalam satu kelas.
“Eh tunggu, duet gue kamana ya?” Tanya Banyu menyela pembicaraan.
“Siapa?” Tanya Ewin.
“Si Adit.” Jawab Banyu.
“Wah iya. Wah lu parah lupa sama si Adit Win.” Ridhan mengompori.
“Iya lu parah, orang badannya gede gitu kok lupa.” Iyan menambah mengompori.
“Wei! Lu juga pada lupa kan sama orang besar itu.” Ewin membela diri.
“Udah udah woi! Ini salah kita semua.” Toro mencoba menenangkan.
Banyu hanya bisa tertawa terbahak - bahak melihat kelakuan teman – temannya sambil dia menikmati kacang kulit yang dia beli di kantin. Dan akhirnya kejadian yang tidak diduga – duga pun terjadi. Mereka tidak menyangka kalau mereka akan satu kelas dengan si Congor. Congor adalah sebutannya dan nama aslinya adalah Randi. Dia disebut Congor karena ocehannya yang tidak bisa ditahan dan kalau dia suda tertawa suaranya akan sangat nyaring dan terdengar tidak merdu sehingga menghasilkan pulusi suara. Ketika si Congor terlihat memasuki kelas mereka berlima langsung memiliki firasat buruk. Mereka memiliki pemikiran yang sama yaitu haru segera pindah kelas dari pada harus menahan polusi suara sampai lulus SMA. Si Congor pun mulai mendekat, dan ternyata dia memilih tempat duduk yang berdekatan dengan Banyu. Banyu sudah mulai merasa tidak nyaman sampai – sampai dia tidak bernafsu untuk menyantap cemilan kacang kulitnya. Ditengah tekanan batin yang sangat dahsyat tersebut tiba – tiba secercah harapan datang.
“Hoi teman – teman! Disini rupanya kalian.” Adit berteriak menyapa dari pintu kelas dengan penuh semangat jelas sekali terpapar itu adalah semangat seorang jomblo dari lahir.
Serentak mereka berlima pun langsung beranjak dari tempat duduknya masing – masing meninggalkan si Congor sendirian beranjak mendekati Adit yang berada di depan pintu kelas.
“Kemana aja kalian? Gue nyariin dari tadi pagi.” Tanya Adit.
“Lu yang kemana? Baru muncul sekarang.” Kata Banyu.
“Gue udah dateng dari jam setengah tujuh.” Jawab Adit.
“Gue langsung liat daftar kelas baru ternyata gue IPA 2, langsung deh gue cari kelas itu.” Lanjut Adit.
“Kelas lu kayak gimana Dit? Kita mau pindah ke kelas lu nih. Emergency!” Kata Ridhan.
“Kelas gue isinya perempuan semua bro! satu berbanding lima deh sama cowoknya.” Jawab Adit sambil tertawa.
“Beneran lu? Ayo kita proses deh.” Kata Iyan bersemangat.
Mereka berenam pun langsung pergi menuju kelas IPA 2 untuk memeriksa secara langsung semua perkataan Adit. Kelas IPA 2 berada tidak jauh dari kelas IPA 6. Setelah sampai mereka pun langsung memeriksa kelas tersebut, tetapi hanya mengintip dari pintu saja. Terpampang jelas didalam kelas tersebut berisikan puluhan siswi perempuan dan ada beberapa siswa laki – laki yang duduk di barisan paling belakang. Perhatian Ridhan dan Iyan langsung tercuri oleh sosok siswi yang duduk dalam barisan pertama dekat dengan tembok yang sejajar dengan pintu tempat mereka mengintip. Siswi tersebut memiliki rambut panjang, berkulit putih dan berwajah manis. Sontak hati mereka berdua pun langsung berdegup kencang.
“Itu cewek tipe gue banget.” Pemikiran Ridhan dan Iyan dalam hati.
Mereka memiliki pemikiran yang sama pada pandangan pertama. Berbeda dengan Toro, perhatiannya kini tecuri oleh sosok siswi berkerudung, berkaca mata, dan terlihat sangat solehah sekali. Siswi ini duduk di barisan keempat.
“Subhanallah.” Ucap kagum Toro dalam hati.
Ewin memiliki pemikiran yang berbeda dengan teman – temannya. Dia merasa tidak yakin dengan kelas ini. Dia berpikir perempuan di kelas ini terlalu banyak.
“Waduh banyak banget godaan di kelas ini.” Pemikiran Ewin dalam hati.
Dia meresa cobaan untuk setia dengan pacarnya akan semakin berat jika bergabung dengan kelas ini.
“Ayo segera kita proses! Jangan pada bengong aja woi!” Banyu menyentak.
“Ayo!” jawab Iyan, Ridhan, dan Toro serentak bersemangat.
“Kok lu semangat banget Tor?” Tanya Ewin.
“Eh? Iya ya?” Toro gugup.
“Woi! Lagi pada ngapain didepan pintu kelas orang?” Tanya Akbar yang baru datang dan mau mencari kelas barunya.
“Wei! Ayo Bar ikut kita!” Kata Banyu memaksa.
“Ada apa ini? Gue baru dateng gatau apa – apa.” Akbar kebingungan.
“Udah ikut aja.” Ewin ikut memaksa.
Komplit sudah, sekarang mereka sudah bertujuh. Mereka pun langsung beranjak menuju ruang wakil sekolah kesiswaan. Mereka ingin mengurus perpindahan kelas. Akbar masih kebingungan dengan tingkah laku teman – temannya yang sangat bersemangat ini, soalnya tidak ada penjelasan sama sekali dari teman – temannya. Sesampainnya didepan ruang wakasek kesiswaan mereka menumbalkan Ewin untuk bernegosiasi karena dia lah yang paling jago ngomong. Teman – temannya menunggu di depan pintu sambil mengintip. Ewin merasa agak kesal namun dia merasa pasrah.
“Begini pak, kami berenam ingin pindah kelas pak, soalnya kelas IPA 6 ternyata sudah kepenuhan.” Ewin membuka pembicaraan.
“Hah? Iya gitu?” Akbar masih kebingungan.
“Sssst! Udah diem aja, tar juga tau.” Ridhan
“Iya gitu? Ini saya baginya udah sama rata kok.” Jawab wakasek kesiswaan.
“Kalian mau pindah ke kelas yang mana?” Tanya wakasek kesiswaan.
“Kelas IPA 2 pak, soalnya disitu jumlah laki – lakinya kurang pak.” Jawab Ewin.
“Tapi nanti jumlah siswa di IPA 2 jadi kebanyakan.” Jawab wakasek kesiswaan.
“Hmmm.. tapi gak apa – apa deh, saya juga udah pusing soalnya. Nanti kalau bangkunya kurang ambil dari  kelas lain aja ya sendiri.” Lanjut wakasek kesiswaan yang sudah pusing.
“Bener nih pak? Terima Kasih ya pak.” Kata Ewin bersemangat.
Sontak mereka pun langsung pergi menuju IPA 2 untuk pindah kelas. Iyan, Ridhan, Banyu, Toro, dan Ewin terlebih dahulu mengambil tas sekolah mereka yang masih berada di kelas IPA 6 lalu menyusul Adit dan Akbar yang menunggu di depan kelas IPA 2 dan Akbar masih kebingungan. Setelah semuanya siap mereka pun langsung masuk ke kelas IPA 2 untuk mencari tempat duduk kosong. Ketika memasuki kelas mereka bertujuh langsung menjadi perhatian seisi kelas yang notabene sebagian besar adalah perempuan. Mereka hanya bisa tertunduk malu karena mereka merasa seperti pelaku kriminal yang akan disidang. Terlihat ada bangku kosong di belakang tiap barisan.
“Gue duduk disini sendiri, lu duduk sama gue ya Nyu.” Ajak Adit kepada Banyu.
Adit dan banyu duduk di meja kedua dari belakang pada barisan pertama dekat tembok.
“Belakang si Adit kosong tuh, kita duduk situ yuk Yan.” Ajak Ridhan kepada Iyan.
“Hayuk.” Iyan menerima ajakan Ridhan.
Ridhan dan Iyan duduk di meja paling belakang pada baris pertama.
“Tor kita duduk samping si Ridhan sama si Iyan aja.” Ewin mengajak Toro.
“Iya deh.” Toro menerima ajakan Ewin.
Ewin dan Toro duduk di meja paling belakang baris kedua.
“Gue duduk dimana?” Akbar kebingungan.
“Cari aja, masih ada yang kosong kok.” Jawab Adit sambil tertawa.
Akhirnya Akbar memilih meja paling belakang baris ketiga, disamping Ewin dan Toro. Dia duduk satu meja dengan seorang siswa berbadan besar, berperut buncit, berkulit hitam keling dan berwajah sangar. Akbar merasa takut duduk dengannya, akan tetapi mau gimana lagi hanya itu bangku yang kosong.
“Dit, lu bawa pasukan banyak banget.” Kata seorang siswi yang duduk di depan Adit dan Banyu.
“Iya nih, biar rame.” Jawab Adit sambil tertawa.
“Eh siapa namanya?” Banyu menyela pembicaraan.
“Dewi, kamu?” Jawab siswi tersebut sambil tersenyum.
“Aku Banyu.” Kata Banyu.
“Oooh Dewi namanya.” Iyan dan Ridhan reflek berbicara agak keras.
Sadar akan kekonyolan yang mereka perbuat, Iyan dan Ridhan pun langsung berhadapan sambil saling tunjuk.
“Ternyata lu Yan?.” Kata Ridhan sambil berbisik.
Iyan menggangguk.
“Lu juga Dhan?.” Iyan berbisik.
Ridhan juga mengangguk.
“Bisik – bisik apaan kalian?” Tanya Banyu.
“Ngga kok.” Jawab Ridhan sambil tertawa sedikit.
“Yang berdua dibelakang siapa aja namanya?” Tanya Dewi.
“Yang ini Ridhan, yang ini Iyan.” Banyu memperkenalkan.
“Haloo…” Ridhan dan Iyan menyapa berbarengan.
“Kalo yang duduk sama kamu siapa namanya Wi?” Tanya Banyu.
“Ini Ifa.” Jawab Dewi.
“Depan aku ada Dita sama Sintia, depannya lagi ada Laras sama Okta.” Lanjut Dewi.
“Halooo..” Sapa Banyu, Iyan dan Ridhan berbarengan sambil melambaikan tangan.
“Haloo juga..” Balas Ifa, Sintia, Dita, Laras, dan Okta sambil tersenyum.
“Kalian lucu ya.” Kata Dewi samnbil tersenyum.
“Dibilang lucu Dhan, itu pasti ke gue!” Kata Iyan kepada Ridhan sambil berbisik.
“Enak  aja! Itu ke gue!” Balas Ridhan sambil berbisik juga.
“Lu berdua kenapa sih bisik – bisik mulu?” Tanya Adit yang keheranan.
“Gak apa – apa kok Dit.” Jawab Ridhan.
“Salam kenal ya Dewi.” Ridhan dan Iyan menyapa Dewi lagi sambil tersenyum.
“Iya” Jawab Dewi sambil tersenyum.
“Senyumnya manis banget Yan, itu pasti buat gue!” Kata Ridhan kepada Iyan sambil berbisik.
“Enak aja! Itu buat gue!” Balas Iyan sambil berbisik.
“Woi rame amat! Gue kok ga dikenalin?” Akbar nyamber.
“Iya, gue juga ga dikenalin.” Kata Ewin.
“Gila! Itu yang duduk sama gue badannya bau banget, ga kuat gue.” Curhat Akbar.
“Oh itu namanya Dayat.” Kata Dewi sambil tertawa.
“Derita lu ah Bar.” Kata Ewin sambil tertawa.
“Eh kamu siapa namanya?” Ewin mengajak kenalan Dewi sambil menjulurkan tangan.
“Aku Dewi, kamu?” Jawab Dewi.
“Aku Ewin, temen aku yang duduk sama Dayat namanya Akbar, dan temen aku satu lagi yang lagi duduk termenung itu namanya Toro.” Kata Ewin.
“Liat tuh si Ewin beraksi ngeganjenin cewek, padahal dia kan udah punya pacar ya Yan.” Kata Ridhan kepada Iyan sambil berbisik.
“Iya Dhan, kebiasaan emang.” Jawab Iyan sambil berbisik.
“Woi ngomongin apa lu berdua?” Tanya Ewin.
“Ngga kok Win, lu ganteng banget, gue salut sama lu.” Jawab Iyan.
“Ridhan sama temennya bisik – bisik terus dari tadi, gabung dong ngobrolnya.” Ajak Sintia yang duduk depan Dewi sambil tersenyum.
“Eh? Iya Tia.” Kata Ridhan sambil cengengesan.
“Embat dah Dhan!” Kata Akbar sambil tertawa.
“Apaan sih Bar.” Ridhan ngedumel.

Tidak lama setelahnya, masuk lah wali kelas baru kelas IPA 2. Perkenalan pun harus berakhir. Perkenalan yang sangat penuh dengan tawa. Ada banyak bahan obrolan yang mereka jadikan topik. Kali ini Toro tidak banyak mengamati, karena perhatiannya tertuju kepada sosok perempuan berkerudung yang berada diseberang kelas. Dia mengamati tingkah laku perempuan tersebut dari tadi, karena itu lah dia disebut duduk termenung oleh Ewin. Perkenalan ini akan selalu diingat oleh Iyan dan Ridhan, karena ini sangat berkesan, perempuan yang mereka taksir ternyata memberikan respon positif ketika perkenalan awal. Namun Ridhan agak kecewa karena ternyata perempuan yang pertama mengajak bercanda pertama kali kepada dia adalah Sintia dan Dewi masih terlihat netral. Walaupun dari awalnya Sintia terlihat malu – malu dan lebih banyak menunduk ternyata dia lah yang pertama menyapa Ridhan. Adit pun ternyata merasa sangat terkesan, karena dia merasa tidak lama lagi status jomblo dari lahir miliknya akan segera ditanggalkan dan dia sangat bersemangat menghadapi tahun ajaran baru. Akbar yang awalnya lebih banyak bingung akhirnya mengerti kenapa teman – temannya mengajak pindah ke kelas ini, karena disini ada banyak sekali perempuan dan terlihat seperti kelas tata boga atau tata busana. Kelas tersebut berisikan total empat puluh sembilan siswa dengan sebelas orang laki – laki dan sisanya perempuan. Kelas baru, tahun ajaran baru, semangat baru untuk mereka.