Intermezzo
Suasana semakin memanas. Cuaca di
luar pun semakin lama semakin memanas. Matahari sangat terik hari ini. Bandung
tidak terasa sejuk. Ruang kamar kosan Ewin pun terasa semakin sesak dibuatnya,
ditambah lagi asap rokok yang yang dihembuskan oleh Ewin, Iyan, dan Banyu. Toro
yang satu – satunya tidak merokok pun terasa semakin tersiksa.
“Ini jendela sama pintu kamar
dibuka ya! Gila gue ga bisa napas.” Keluh Toro.
“Yaudah buka aja.” Jawab Ewin.
“Iya nih gerah banget.” Kata Iyan
sambil melepaskan kaos oblongnya.
Melihat Iyan melakukan itu, Ewin
pun langsung membuka kaos oblongnya. Dia juga merasa kegerahan.
“Ikut – ikut aja lu! Liat tuh bulu
ketek berontak.” Kata Iyan
“Jangan banyak bacot! Mending
buktiin di permainan.” Jawab Ewin.
“Berisik lah lu berdua! Ayo maen,
udah gue bagiin tuh kartunya.” Sentak Banyu.
“Ya Allah, kuatkan lah hambamu yang
lemah terhadap asap rokok ini.” Gumam Toro dalam hati.
Kali ini di akhir liburan semester
mereka hanya berempat karena Ridhan sedang pulang ke Tangerang ke rumah orang
tuanya, Akbar sedang pulang kampung ke Garut, dan Adit harus membantu ibunya
belanja untuk keperluan tokonya. Mereka duduk melingkar. Toro duduk paling
dekat dengan pintu keluar. Di sebelah kiri Toro ada Banyu. Disebelah kiri Banyu
ada Ewin dan disebelah kiri Ewin ada Iyan. Mereka masing - masing menggenggam
kartu permainan. Kartu permainan yang berjumlah lima puluh dua buah dibagi
empat dengan jumlah yang sama banyak. Masing – masing menggenggam tiga belas
buah kartu. Mereka berempat sepakat akan mengabaikan segala macam panggilan dan
pesan yang masuk ke telepon genggamnya. Video film yang diputar di VCD playar
milik Ewin pun tidak mereka hiraukan. Suasana disana tiba – tiba menjadi hening
ketika Banyu selesai membagikan kartu.
Permainan pun dimulai. Mereka
masing – masing mengeluarkan kartu dengan angka terkecil yaitu tiga. Toro
mengeluarkan kartu tiga skop. Banyu mengeluarkan tiga hati. Ewin mengeluarkan
tiga keriting. Iyan mengeluarkan tiga dengan lambang paling kecil, yaitu wajik.
“Apaan tuh kartu paling kecil?”
Tanya Ewin kepada Iyan sambil tertawa terbahak - bahak.
“Ah! Salah yang ngebagiin ini mah.”
Iyan menyalahkan Banyu.
“Kenapa jadi salah gue? Itu mah
gimana muka yang nerima aja.” Banyu berargumen.
“Berarti nilai muka lu paling kecil
Yan.” Kata Toro sambil tertawa.
“Eh sialan lu ustadz.” Jawab Iyan
sambil menghembuskan asap rokok ke muka Toro.
Toro hanya bisa mengibas –
ngibaskan tangannya ketika dia didzolimi oleh Iyan. Permainan pun terus
berlanjut. Tidak terasa dalam beberapa menit kartu Toro sudah habis, berarti
dia memenangkan permainan. Akan tetapi permainan belum berakhir ketika juara
pertama telah ditentukan. Permainan terus berlanjut sampai tau siapa yang
berada di posisi paling buncit. Banyu mendapatkan keuntungan dari kemenangan
Toro. Dia mendapatkan “warisan” dari Toro sehingga dia dapat menguasai
permainan setelah Toro menghabiskan kartunya dan dinyatakan menang. Benar saja
tidak lama setelah Toro menang, Banyu akhirnya bisa menghabiskan kartunya dan
dinyatakan sebagai juara kedua. Banyu pun tersenyum lebar karena kartu hasil
kocokannya dapat membantuk permainannya dan menyulitkan dua rival beratnya.
Secara otomatis Ewin dan Iyan harus berduel untuk mengetahui siapa yang
akhirnya akan kalah. Ewin sedikit diuntungkan karena dia mendapatkan giliran
bermain setelah Banyu dan mendapatkan “warisan dari Banyu. Ewin berada diatas
angin ketika awal duel ini. Ewin pun mengeluarkan semua paketannya. Dari mulai
seri sampai fullhouse. Dia pun akhirnya mengeluarkan paketan terakhirnya dan
menyisakan satu kartu lagi di tangannya. Dia yakin sekali akan memenangkan duel
ini makan dia pun tersenyum lebar sambil menatap Iyan yang tertunduk lesu. Iyan
kebingungan, sebenarnya dia bisa melawan paketan dari Ewin tersebut, akan
tetapi jika dia lawan dia masih menyisakan banyak kartu sampah di tangannya.
Kartu sampah adalah kartu dengan nominal kecil dan lambang yang nilainya kecil
pula. Kartu tersebut sebenarnya bisa berguna jika bisa dipaketkan dengan kartu
lainnya yang berhubungan, namun kali ini tidak bisa bagi Iyan. Iyan memiliki
satu paketan yang dapat melawan paketan dari Ewin, namun jika dilawan dia takut
tidak bisa melawan satu kartu yang tersisa di tangan Ewin. Akhirnya dengan
nekat Iyan melawan paketan Ewin. Tiba – tiba wajah Ewin yang tadinya berseri –
seri berubah menjadi lesu. Iyan pun mencium aroma kesuksesan dari kenekatannya.
Kartu di tangan Iyan tersisa empat, Ewin menyisakan satu. Iyan pun memulai
permainan kembali, dia mengeluarkan kartu dengan nilai yang paling besar yang dia
miliki. Pertama – tama king hati, Ewin tidak melawan. Lalu sepuluh wajik, Ewin
mulai menarik nafas dan garuk – garuk kepala. Lalu enam sekop, Ewin mulai
mengeluh lesu dan Iyan pun mulai tersenyum lebar. Yang terakhir dia
mengeluarkan kartu terkecilnya yaitu lima hati dan kartunya pun habis. Iyan pun
akhirnya menjadi juara ketiga dan Ewin keempat.
“Sialan kampang ah!” Kata Ewin
dengan reflek yang tidak disengaja karena kesal.
“Makan tuh warisan.” Kata Iyan
sambil tertawa.
“Emang kartu terakhir lu apa Win?”
Tanya Banyu.
“Nih.” Jawab Ewin lesu sambil
menunjukan kartu empat wajik.
“Kartu kecil gitu ngapain ditahan?”
Tanya Toro melecehkan.
“Tau ah! Udahan ah, gue mau makan.”
Jawab Ewin kesal.
Ewin pun langsung beranjak dari
tempat duduknya diatas karpet menuju dapur untuk memasak mie instan. Teman –
temannya hanya mengolok – oloknya sambil tertawa terbahak – bahak.
“Mana ini juara poker dari
Lampung?” Tanya Iyan sambil tertawa terbahak – bahak.
“Dia itu juara tau, juara kartu
empat wajik.” Jawab Banyu sambil tertawa.
“Kartu cacat gitu kok ditahan?”
Kata Toro yang juga sambil tertawa.
“Berisik lu bertiga! Gue mau masak
mie instan nih, pada mau ga?” Tanya Ewin.
“Itung – itung traktiran gara –
gara kalian udah menang.” Lanjut Ewin.
“Ih baik banget deh.” Respon Banyu
sambil tersenyum lugu.
“Mau dong! Lu ganteng banget deh
Win.” Jawab Iyan sambil tersenyum lebar.
“Mau dong win, maaf ya udah ngejek
tadi.” Jawab Toro sambil tertawa.
Mereka pun langsung membantu Ewin
yang akan masak di dapur kosan. Ewin mengeluarkan stok perbekalannya bulan ini
untuk meneraktir teman – temannya. Dia membawa empat bungkus mie instan ke
dapur dan teman – temannya menyiapkan piring dan sendok. Mereka akan memulai
suatu petualangan baru, di tahun ajaran baru dengan status baru di sekolah
yaitu senior kelas tiga. Dan juga mereka pun menunggu kedatangan 3 sahabatnya
yang belum datang agar petualangan baru nanti akan terasa lebih menyenangkan.
Menuju Musim Baru
Selepas pembagian rapot hasil
belajar selama setahun, siswa – siwa diliburkan selama sebulan. Tiga hari
setelah pembagian rapot Ridhan langsung pergi ke Tangerang untuk liburan di
rumah orang tuanya. Ewin pulang ke
Lampung sehari setelah pembagian rapot. Banyu pulang menuju Banjarsari beberapa
hari setelah Ridhan pergi ke Tangerang. Toro sempat menikmati liburang di
Bandung selama seminggu, namun setelahnya dia memutuskan untuk berlibur ke
Ciparay di rumah orang tuanya yang berada di kaki bukit untuk mencari
ketenangan. Adit menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membantu ibunya di
toko, dari mulai belanja keperluan toko sampai melayani pengunjung. Akbar
sempat menghabiskan masa liburannya di Bandung selama 3 minggu, pada seminggu
terakhir dia diajak kedua orang tuanya untuk ke Garut ke tempat saudara –
saudara sepupunya. Iyan hampir sama dengan Adit, dia menghabiskan seluruh
waktunya di Bandung. Dia membantu kedua orang tuanya pindahan rumah dari
komplek Margahayu raya menuju ke daerah Kare’es sekitar jalan Gatot
Subroto. Sebelum pergi ke Garut, Akbar
sempat membantu sedikit pindahan rumah Iyan. Rumah Akbar yang berada di Riung
Bandung berdekatan dengan rumah Iyan yang berada di Margahayu Raya. Sebenarnya
rumah Adit berada satu komplek dengan Iyan, namun Adit terlalu sibuk mengurus
toko ibunya jadi tidak sempat membantu Iyan. Akbar membantu seluruh kegiatan
packing barang – barang di rumah lama Iyan. Sebelumnya Akbar membantu Iyan
untuk mencari kardus – kardus bekas untuk tempat barang – barang yang akan
dipindahkan. Mereka membeli cukup banyak kardus bekas. Mereka sengaja membeli
lebih banyak agar nantinya tidak kekurangan. Mereka berpikir pasti akan capek
kalau harus bolak – balik membeli kardus bekas jika kekurangan. Cukup banyak
barang – barang yang harus dipindahkan. Dari mulai alat – alat rumah tangga
sampai barang – barang pribadi. Pada saat membongkar – bongkar barang – barang
pribadi Iyan, mereka menemukan sebuah sepedah roda tiga yang telah membuat Iyan
patah tulah ketika dia masih balita.
“Ah ketemu lagi sama sepedah ini.”
Keluh Iyan.
“Kenapa emangnya Yan?” Tanya Akbar.
“Gue pernah patah tulang gara –
gara sepedah ini.” Jawab Iyan.
“Loh kok bisa Yan?” Tanya Akbar
lagi.
“Waktu itu gue maen sepedah ini
didalem rumah terus terjadi deh sebuah kecelakaan yang kejadiaannya gue udah
lupa lagi kenapa bisa celaka.” Jawab Iyan.
“Terus patah tulang deh, dan karena
itu pertumbuhan gue terhambat jadi aja gue ga tinggi.” Lanjut Iyan.
Akbar pun dengan reflek tertawa
terbahak – bahak mendengar cerita dari Iyan.
“Sial! Kenapa ketawa lu?” Tanya
Iyan kesal.
“Lucu aja dengernya Yan.” Jawab
Akbar sambil masih tertawa.
“Kalau lu ga kecelakaan kita ga
bakal jadi duo boncel bro!” Lanjut Akbar sambil tersenyum lebar.
“Oh iya ya bener, nanti cuma lu
doang yang boncel ya.” Kata Iyan sambil tertawa.
“Jadi sepedahnya diapain nih?”
Tanya Akbar.
“Buang aja lah, males gue liatnya.”
Jawab Iyan sambil tertawa.
Dan akhirnya sepedah roda tiga tua
itu pun dibuang di tempat sampah depan rumah. Lalu mereka pun melanjutkan
proses packing barang – barang. Proses packing ini memakan waktu sekitar 3 jam.
Setelah barang – barang selesai dipacking, barang – barang itu pun langsung
ditaruh di mobil angkut losbak untuk dibawa ke jalan Gatot Subroto. Akbar tidak
ikut ke Gatot Subroto karena dia harus pulang karena kedua orang tuanya sudah
menunggu di rumah dan siap berangkat menuju Garut. Malam harinya Akbar bersama
kedua orang tuanya berangkat menuju Garut. Iyan masih harus membatu kedua orang
tuanya mendekorasi rumah barunya. Proses dekorasi ini pun memakan waktu yang
cukup lama karena harus menurun kan barang – barang dari mobil angkut terlebih
dahulu. Dari mulai menurunkan barang sampai selesai mendekorasi memakan waktu
sekitar 3 jam juga. Sehingga tidak aneh Iyan malamnya tertidur diatas sofa
karena merasa sangat kecapean.
Waktu pun terus berlalu dengan
cepat. Tidak terasa waktu liburan sebentar lagi akan berakhir. Ridhan
menghabiskan waktu yang monoton di rumah selama liburan. Yang dia kerjakaan
hanya makan, tidur, main game komputer, lalu tidur. Sesekali dia sempat main
keluar rumah untuk bertemu kerabat lama. Adit masih sibuk membantu ibunya di
toko. Sesekali dia sempat mencicipi kue dagangan ibunya secara diam – diam,
jadi tidak aneh kalau badannya besar bongsor. Banyu juga sibuk membantu kedua
orang tuanya di toko di Banjarsari, namun bedanya toko milik orang tua Banyu
adalah toko obat atau apotek. Banyu sudah hafal sebagian besar kode – kode obat
dan beberapa resep untuk beberapa penyakit. Toro menikmati kesunyian alam di
kaki bukit di rumah orang tuanya di daerah Ciparay. Didalam kesunyian dia
merasa lebih dekat dengan Tuhan lalu dia pun sedikit demi sedikit dia melupakan
Shifa dan kekecewaan yang telah diciptakannya bagi Toro. Ewin menghabiskan
waktu di kampung halamannya sambil bercengkrama dengan kedua orang tua dan
adiknya yang sudah lama tidak bertemu. Seringkali dia pergi menuju kolam ikan
milik ayahnya untuk memancing ikan gurame. Hasil yang dia dapatkan langsung di
olah oleh ibunya, entah itu digoreng atau dibakar. Mau seperti apa pun di
olahnya yang peting sambelnya sambel lampung, maka akan sangat nikmat dimakan
ketika dihidangkan denga nasi panas pikir Ewin. Akbar pergi ke Garut bersama
kedua orang tuanya. Dia mengunjungi tempat – tempat pariwisata di Garut. Hal
yang paling berkesan baginya adalah ketika dia mengunjungi pemandian air panas.
Berendam di air panas membuatnya menjadi lebih tenang dan nyaman, sampai –
sampai dia tertidur di tempat pemandian air panas. Iyan menikmati adaptasi
dengan rumah barunya. Lokasi rumah barunya ini membuat jaraknya menuju ke
sekolah jadi lebih dekat. Terkadang dia masih teringat dengan suasana di rumah
lamanya. Namun setelahnya dia merasa dia harus fokus berpikir kedepan dan
sedikit melupakan masa lalunya.
Toro menjadi orang pertama yang
kembali ke Bandung. Dia merasa sudah cukup untuk dia menyendiri di kesunyian
alam. Sudah lama dia tidak berinteraksi dengan orang lain, akhirnya saat lima
hari sebelum masuk sekolah hari pertama dia memutuskan untuk kembali ke
bandung. Dua hari setelahnya Ewin kembali ke Bandung, membawa banyak oleh –
oleh pempek untuk dia dan sahabat – sahabatnya. Sehari setelah kedatangan Ewin,
Banyu kembali ke Bandung membawa oleh – oleh khas Banjarsari. Sehari sebelum
masuk sekolah hari pertama Ridhan dan Akbar kembali ke Bandung. Setelah sekitar
sebulan mereka berpisah akhirnya mereka berkumpul lagi.
“Woi! Parah lah, gue sms ga pada
ngebales.” Kata Ridhan kesal.
“Woi! Apa kabar lu? Maaf tadi kita
lagi tanding poker.” Sahut Ewin.
“Yaelah masa bales sms aja ga
sempet.” Keluh Ridhan.
“Kita terlalu fokus tadi Dhan.”
Iyan memberikan penjelasan sambil tertawa.
“Mau mie goreng ga Dhan? Ada yang
kalah maen poker terus mau neraktir nih.” Kata Banyu.
“Boleh boleh! Tau aja nih gue lagi
laper setelah menempuh perjalanan jauh.” Jawab Ridhan tersenyum.
“Weits! Enak aja, lu kan ga ikut
maen poker Dhan. Beli sendiri!” Ewin ketus.
“Yaelah iya deh gue beli sendiri.”
Kata Ridhan kecewa.
“Eh si Adit sama si Akbar mana?
Masih pada mudik mereka?” Tanya Ridhan.
“Si Adit nanti rada maleman mau
kesini katanya.” Jawab Banyu.
“Si Akbar lagi dijalan menuju
Bandung dari Garut, mau kesini juga katanya.” Jawab Iyan.
“Bagus deh kalo semuanya kumpul
lagi.” Kata Ridhan sambil beranjak menuju warung untuk membeli mie instan dan
beberapa batang rokok.
Setelah hidangan khas anak kosan
ditambah beberapa potong pempek lenjer goreng siap, mereka pun langsung
menyantapnya. Ridhan makan dengan tidak santai karena dia baru sampai dari
perjalanannya menuju Bandung dan merasa sangat kelaparan. Setelah selesai makan
mereka tidak langsung mencuci piring – piring bekas makan mereka, mereka malah
menonton film di VCD player milik Ewin. Toro membawa banyak film dari rumahnya
untuk ditonton bersama. Tidak terasa malam pun mulai datang. Suhu udara yang
tadinya tinggi pun berubah menurun dan membuat menjadi dingin. Tidak terasa
juga sudah empat film yang mereka tonton bersama. Tidak lama Akbar pun datang
dan menyapa mereka berlima.
“Halo! Assalamualaikum saudara –
saudara.” Sahut Akbar.
“Walaikumsalam!” Mereka berlima
menjawab berbarengan.
“Apa kabar dulur – dulur sekalian?”
Tanya Akbar.
“Fine! Thank you, and you?” Jawab
mereka berlima kompak.
“Baik! Luar Biasa! Allahuakbar!”
Balas Akbar.
“Sedang apa kalian?” Tanya Akbar
lagi.
“Sedang VCD marathon pak.” Jawab
mereka berlima berbarengan lagi.
“Ah udah ah capek. Kalian bisanya
keroyokan.” Keluh Akbar.
“Baru sampe Bar?” Tanya Ewin sambil
tertawa.
“Iyan nih, gue bawa beberapa dodol
buat kalian nih.” Jawab Akbar.
“Eh ada rokok ga? Asem nih.” Tanya
Akbar.
“Santai, ada banyak kok bro.” Jawab
Iyan.
Akbar pun tersenyum lebar dan
langsung menerima sebatang rokok dari Iyan. Setelah menerimanya dia langsung
mengeluarkan korek orang kaya miliknya untuk menyundut rokoknya. Korek orang
kaya adalah korek kayu yang sekali pakai langsung buang layaknya orang kaya.
Beberapa saat setelah kedatangan Akbar, datanglah Adit membawa satu kresek
besar kue – kue jajanan pasar.
“Halo! Assalamualaikum saudara –
saudara.” Sapa Adit.
“Walaikumsalam!” Jawab mereka
berenam.
“Apa kabar dulur – dulur sekalian?”
Tanya Adit.
“Fine! Thank you, and you?” Jawab
mereka berenam.
“Baik! Luar biasa! Allahuakbar!”
Jawab Adit.
“Sedang apa kalian?” Tanya Adit.
“Sedang makan dodol, mau?” Jawab
mereka berenam.
“Mau dong! Nih gue tambahin sama
kue dari toko.” Kata Adit.
“Banyak makanan, banyak rokok,
sejahtera kita!” Kata Akbar sambil tertawa.
“Woi jangan berisik! Udah malem
ini! Teriak – teriak mulu daritadi!” Bentak salah satu tetangga kosan Ewin.
Ewin yang merasa tidak enak pun
langsung menhampiri tetangganya tersebut dan langsung meminta maaf. Teman –
temannya pun langsung terdiam seribu bahasa setelah dibentak.
“Eh katanya nanti kelas tiga kita
diacak lagi ya?” Adit membuka pembicaraan sambil berbisik – bisik.
“Ah kata siapa lu?” Tanya Banyu
sambil berbisik – bisik.
“Gue kata si Rachmi.” Jawab Adit
sambil berbisik.
“Kok dia ga ngasih tau gue ya?”
Tanya Ridhan sambil berbisik.
“Soalnya lu udah dicampakkan Dhan.”
Jawab Toro sambil berbisik dan tertawa pelan.
“Sialan lu.” Balas Ridhan sambil
menghembuskan asap rokok ke muka Toro dan tetap berbisik.
“Jadi si Rachmi tau dari mana kalo
kelas bakal diacak lagi?” Tanya Iyan sambil berbisik.
“HAH! KELAS DIACAK LAGI NANTI?”
Tanya Ewin yang baru kembali dari meminta maaf sambil reflek berteriak.
“Woi! Cari masalah lagi ya lu?!”
Bentak tetangganya lagi dengan sangat kesal.
Ewin pun balik lagi ke kamar
tetangganya untuk meminta maaf kembali. Teman – temannya yang kaget pun
langsung menertawai Ewin, masih tetap sambil berbisik – bisik.
“Dasar bego!” Bentak Akbar ke Ewin
sambil berbisik.
“Terusin cerita lu ndut.” Pinta
Akbar ke Adit.
“Jadi si Rachmi dapet gosip dari
anak – anak cewek.” Lanjut Adit
“Waduh! Kita bisa kepisah dong
nanti.” Kata Ridhan.
“Tenang, nanti kitan sabotase aja.”
Iyan memberi saran.
“Gimana caranya?” Tanya Banyu.
“Kita pikirin aja besok, kita
abisin dulu semua makanan ini, abis itu pulang terus tidur.” Jawab Iyan sambil
tertawa pelan.
“Wei! Jangan berisik ya, gue
diomelin tuh dua kali tadi.” Curhat Ewin.
“Okey siap pak!” Jawab mereka
berenam serentak sambil hormat.
Mereka bertujuh pun langsung
menghabiskan makanan yang sangat banyak tersebut. Kalau kegiatan menghabiskan makanan
ini dijadikan sebuah perlombaan, maka juara pertamanya adalah Adit dan Banyu
ada diposisi kedua. Akbar dan Iyan sudah menyerah duluan karena badan kecilnya
tidak mampu menampung banyak makanan. Setelah selesai mereka pun pulang ke
tempat tinggal masing – masing dan mempersiapkan diri untuk esok hari.
Tahun Ajaran Baru
Dering ringtone telepon genggam
Ridhan terdengar nyaring di kamarnya yang ketika itu keadaanya gelap gulita.
Waktu menunjukan pukul lima pagi saat itu. Tentu saja Ridhan masih tertidur
lelap, terbuai dengan indahnya mimpi. Suara ringtone telepon genggamnya terasa
sangat mengganggu. Dia sangat menikmati waktu tidurnya karena dia baru saja
bisa tidur pukul dua dini hari, ditambah lagi dinginnya cuaca kota Bandung
ketika pagi hari membuatnya merasa berat untuk beranjak dari kasur dan selimutnya
menuju meja belajarnya dimana letak telepon genggamnya berada. Ridhan terbiasa
bergadang dan bangun siang selama liburan sekolahnya, dia harus membiasakan
dirinya lagi untuk bisa bangun pagi seiap hari. Ini adalah cobaan pertamanya
dalam masa adaptasi, karena hari ini adalah hari pertama masuk sekolah di tahun
ajaran baru dengan status baru, yaitu senior di sekolah.
Ridhan akhirnya memaksakan diri
untuk beranjak menuju sumber suara yang berada di meja belajarnya. Dengan
keadaan setengah sadar dia memeriksa telepon genggamnya yang ketika itu sedang
ada panggilan masuk. Di layar telepon genggamnya terlihat samar – samar tulisan
MAMAH. Dengan keadaan setengah sadar namun bisa berdiri dengan tegak dia
menjawab telepon dari ibunya.
“Halo.” Jawab Ridhan dalam keadaan
mengantuk.
“Bangun! Bangun! Solat subuh!
Jangan kesiangan! Sekarang masuk sekolah kan.” Kata Ibunya tegas.
“Iya mah, ini udah di kamar mandi
mau wudhu.” Jawab Ridhan ngelantur.
“Jangan bohong kamu! Cepet bangun!”
Bentak Ibunya.
“Iya mah.” Jawab Ridhan memelas.
Tidak lama nada sambungan telepon
terputus pun terdengar. Ridhan pun dengan reflek langsung lompat kembali ke
kasurnya dan bersembunyi dibalik selimut dengan telepon genggam yang masih dia
genggam. Lalu dia pun langsung tertidur kembali. Delapan belas menit kemudian
telepon genggamnya kembali berdering, ada telepon masuk lagi. Lagi dengan
keadaan tidak sadar Ridhan pun langsung menjawab telepon yang masuk tersebut.
Dia tidak menyadari kalau telepon ini dari ibunya.
“Halo…..” Jawab Ridhan dalam keadaan
mengantuk.
“Kamu tidur lagi ya?!” Bentak
ibunya.
“Ngga kok mah, ini udah berdiri
pake sarung mau solat.” Jawab Ridhan ngelantur.
“Jangan bohong! Mau kesiangan
kamu?!” Bentak ibunya lagi.
“Iya mah, ini sekarang bangun
beneran.” Jawab Ridhan yang mulai sadar.
“Cepet! Kewajiban jangan ditunda –
tunda.” Ibunya menasehati.
“Iya mah..” Jawab Ridhan.
Tidak lama nada sambung telepon
terputus pun terdengar. Kali ini Ridhan bergegas bangun dan menyalakan lampu
kamar. Dia melakukan senam pagi kecil beberapa menit agar badan tidak terlalu
menggigil ketika terkena air wudhu. Setelah selesai melakukan senam pagi dia
pun langsung beranjak menuju kamar mandi untuk wudhu dan sesudahnya dia tetap
menggigil karena kedinginan. Sambil menggigil kedinginan dia berjalan dari
kamar mandi kembali menuju kamarnya untuk solat subuh saat waktu itu menunjukan
pukul setengah enam pagi. Selama sekitar enam menit Ridhan menjalankan
kewajibannya, setelahnya dia langsung memasak air untuk mandi. Sambil menunggu
air matang, dia menyetrika seragam dan celana yang akan dipakainya ke sekolah.
Baju dan celana yang sudah rapih diseterika dia gantung di balik pintu
kamarnya. Lalu dia menyiapkan buku – buku dan alat tulis yang akan dia bawa ke
sekolah dan meletakannya kedalam tas selempang berukuran sedang berwarna abu –
abu yang selalu dia bawa ke sekolah. Kali ini isi dari tas tersebut hanya dua
buah buku tulis dan sebuah pulpen. Dia rasa itu sudah cukup untuk sekolah,
sisanya bisa dia pinjam dari teman – temannya yang lain, seperti Toro yang
selalu membawa alat tulis lengkap. Tidak lupa juga dia masukan earphone yang
biasa dia gunakan secara sembunyi – sembunyi ketika jam pelajaran yang dia rasa
membosankan berlangsung. Topi sekolah juga dia masukan karena hari pertama
masuk adalah hari Senin yang biasanya diadakan upacara bendera. Razia selalu
dilakukan ketika upacara bendara akan dimulai, ketika berlangsung, dan ketika
berakhir. Razia meliputi atribut, seperti topi dan label nama siswa dan nama
sekolah. Lalu kerapihan seperti rambut dan seragam. Maka dari itu Ridha selalu
mempersiapkan segalanya dengan matang ketika berhadapan dengan hari Senin.
Tidak lama setelah Ridhan selesai mempersiapkan barang – barang yang akan dia
bawa ke sekolah, alarm untuk mandi pun terdengar. Air yang dia masak sudah
mendidih sehingga menghasilkan suara nyaring yang khas. Dia pun langsung
begegas mandi. Proses mandi ini menghabiskan waktu cukup lama, setelah sekitar
setengah jam dia baru selesai mandi dan waktu sudah menunjukan jam
setengah tujuh pagi. Ridhan terlihat
cukup santai ketika berpakaian karena dia menyadari kalau lokasi sekolahnya
tidak terlalu jauh dari rumah neneknya dan juga dia difasilitasi sebuah sepedah
motor untuk berangkat ke sekolah. Setelah selesai berpakaian dia langsung
memanaskan sepedah motornya. Sambil menunggu motornya dipanaskan dia sempat
menyantap sarapan selembar roti tawar sambil menonton acara televisi di pagi
hari. Ketika waktu telah menunjukan jam tujuh kurang sepuluh menit Ridhan pun
langsung berangkat. Tidak lupa sebelumnya dia berpamitan dengan neneknya yang
waktu itu sedang mencuci piring di dapur. Ridhan hanya membutuhkan waktu
sekitar lima menit perjalanan jika menggunakan sepedah motor menuju ke
sekolahnya. Setelah sampai dia langsung memarkirkan motornya di parkiran
kendaraan untuk murid dan langsung berjalan mencari teman – temannya namun yang
dia temukan adalah kerumunan siswa – siswa didepan laboratorium biologi.
Ternyata terdapat beberapa kertas yang ditempel di kaca jendela laboratorium
tersebut, dan kertas itu berisikan daftar absen baru tiap kelas untuk kelas
tiga yang sudah diacak. Ridhan pun langsung berjalan menuju pusat keramaian
karena merasa penasaran. Ternyata disana sudah ada Ewin, Toro, Banyu dan Iyan
yang datang lebih pagi dan mereka pun sudah melihat absen baru tersebut.
“Lu IPA 5 Dhan.” Kata Iyan memulai
pembicaraan.
“Kok gitu? Bener diacak ini?” Tanya
Ridhan kebingungan.
“Iya Dhan, gue, Banyu, Ewin sama
Akbar IPA 6 tapi si Akbar belom dateng sekarang.” Jawab Iyan.
“Si Toro IPA 5 bareng lu.” Lanjut
Iyan.
“Ini kita bisa tukeran kelas kayak
taun kemaren ga sih?” Tanya Ridhan.
“Bisa kayaknya.” Jawab Banyu.
“Kita sabotase aja biar kita bisa
sekelas lagi gimana?” Ewin menawarkan ide.
“Gimana?” Tanya Toro.
“Lu sama si Ridhan cari dua orang
dari IPA 6 yang mau tukeran tempat sama kalian.” Ewin menjelaskan.
“Boleh tuh, tapi bantuin ya.” Pinta
Toro.
“Tapi kalian nyarinya harus cowok
ya.” Kata Banyu.
“Iya biar seimbang.” Lanjut Iyan.
“Bener tuh, biar jumlah ceweknya ga
berkurang nanti di kelas.” Kata Ridhan baru mengerti.
“Yaelah kepikiran aja yang kayak
begitu.” Ewin kesal.
“Penting lah, kita ini kan
sekolahnya bukan di STM yang isinya cowok semua.” Kata Iyan membela diri sambil
tertawa.
“Terserah deh, gue jajan dulu ah,
laper.” Ewin Kesal.
“Yaudah ayo Tor kita nyari target.”
Ajak Ridhan.
“Santai lah kelas dimulainya jam 8
tadi katanya, soalnya jadi riweuh gini kan.” Kata Toro.
“Yaudah ayo kita jajan dulu, gue
haus dan lapar, belom sarapan.” Ajak Banyu.
Mereka berlima pun langsung
beranjak menuju kantin kecil yang berada didekat laboratorium biologi. Kantin
tersebut selalu disebut kantin “Nano – Nano”, karena terdapat graviti besar di
temboknya yang bertuliskan “Nano – Nano”. Ewin mengambil sebuah gorengan dan
sebuah minuman gelas, Banyu mengambil sebuah gorengan, sebungkus makaroni
pedas, dan sebuah minuman kotak. Toro tidak jajan karena dia sedang puasa.
Ridhan dan Iyan hanya mengambil sebuah minuman gelas. Mereka bersendau – gurau
sambil menikmati jajanan yang mereka beli, dan tidak lupa juga sambil
memandangi siswi – siswi yang berlalu – lalang disekitar mereka. Hari ini tidak
ada upacara karena pada hari pertama masuk ini para guru sibuk mengatur urusan
kesiswaan, hal ini juga menyebabkan diundurnya proses belajar mengajar yang
jadinya akan dimulai jam delapan pagi. Beruntung sekali Akbar yang hari ini
telat, ketika teman – temannya sedang bersendau – gurau di kantin dia masih
dalam perjalanan dengan kendaraan umum dan jaraknya pun masih jauh dari
sekolah. Dia terjebak macet di lampu merah Samsat. Tapi dia menanggapinya
dengan santai, bukan Akbar namanya kalo tidak santai.
“Baru setengah delapan ya.” Kata
Akbar dalam hati dengan santainya setelah melihat jam di telepon genggamnya.
Akbar tidak mengetahui kalau hari
ini masuk sekolah itu jam delapan, dia masih berpikir kalau masuk sekolah itu
jam tujuh pagi. Akan tetap dia masih terlihat santai seakan – akan tidak ada
beban. Berbeda dengan siswa dari sekolah lain yang berada satu kendaraan umum
dengan Akbar yang terlihat sangat panik.
Kembali lagi menuju keadaan di sekolah,
kali ini Ridhan dan Toro siap mencari target untu proyek pertukaran siswa antar
kelas. Mereka berdua memulai mencari siswa yang bertampang bosan, jenuh,
suntuk, dan terlihat kurang bahagia dengan keadaan kelas dan anggotanya yang
baru. Dan mereka pun tidak lupa untuk memilih target laki – laki sesuai pesan
dari Banyu. Mereka berdua pun mulai memasuki kelas IPA 6.
“Mulai dari mana di Dhan?” Tanya
Toro.
“Sebentar kayaknya gue dapet target
pertama.” Jawab Ridhan.
“Yang mana?” Tanya Toro lagi.
“Itu tuh yang lagi berdiri
sendirian di depan pintu kelas.” Jawab Ridhan sambil menunjuk kearah koridor
depan kelas IPA 6.
Ridhan pun langsung mendatangi
siswa tersebut yang ternyata bernama Handoyo dan biasa dipanggil Hans. Ridhan
sempat berkenalan dengan Handoyo di warnet dekat sekolah ketika sedang bermain
game online di malam hari bersama Ewin.
“Hoi Hans, kok bete gitu?” Ridhan
membuka pembicaraan.
“Gue terpisah dengan geng DOTA gue
Dhan.” Jawab Hans.
“Emang mereka pada di kelas mana?”
Tanya Ridhan.
“Sebagian besar di IPA 5.” Jawab
Hans lesu.
“Gue bingung gimana ntar kalo gue
mau cabut maen DOTA.” Lanjut Hans.
“Lu sendiri kelas mana sekarang?”
Ridhan bertanya lagi.
“IPA 6” Jawab Hans mulai agak
kesal.
“Wah pas banget Hans, gimana kalo
kita tukeran?” Ajak Ridhan.
“Serius lu? Hayuk deh!” Jawab Hans
kegirangan.
Mereka berdua pun langsung
menguruskan pertukaran mereka ke bagian kesiswaan. Toro masih kebingungan
karena belum mendapatkan target. Ditengah kebimbangan akhirnya datanglah Ewin,
Banyu, dan Iyan yang baru selesai jajan di kantin dan mulai menanyakan kabarnya
Toro yang terlihat gundah.
“Gimana Tor?” Tanya Ewin sambil
mengunyah cakwe mini.
“Iya gimana Tor? Banyu ikut
bertanya sambil mengunyah roti bakar selai coklat stroberi dengan parutan keju
didalamnya.
“Jorok amat lu berdua. Iya jadi
gimana Tor?” Tanya Iyan dengan normal.
“Itu cemong mulut lu Nyu.” Kata
Toro sambil memberikan selembar tisue.
“Si Ridhan udah dapet dan gue
belom, sekarang dia lagi ngurusin pertukarannya.” Lanjut toro menjelaskan.
“Yaudah kita bantu deh sekarang.”
Kata Ewin sambil mengunyah roti bakar Banyu yang dia pinta segigit besar.
“Lu mau target yang kayak gimana?”
Tanya Banyu sambil mengunyah cakwe mini Ewin yang dia pinta lima buah.
“Pastinya yang ikhlas mau diajak
tukeran dan cowok kan kata lu Nyu.” Jawab Toro.
“Tapi coba kalian liat keadaan
kelas IPA 6 ini, mereka semua nampak bahagia, ga ada yang mau diajak tukeran
sepertinya.” Toro lanjut menjelaskan.
“Tuh kayaknya ada yang galau di
pojokan.” Kata Iyan sambil menujuk.
“Itu cewek Yan.” Kata Ewin sambil
mengunyah suapan terakhir cakwenya.
“Terus gimana dong?” Tanya Iyan.
“Kata lu kan ga boleh cewek.” Jawab
Ewin.
“Kata lu juga kan ga usah mikirin
yang begitu.” Jawab Iyan.
“Yaudah lu samperin aja Tor, cantik
tuh ceweknya.” Banyu memberi saran.
“Yaudah deh.” Jawab Toro.
Toro pun langsung menghampiri
perempuah yang duduk sendiri di pojok belakang kelas tersebut. Ketiga temannya
menunggu di depan kelas sambil memantau Toro dari jauh. Terlihat Toro
menyapanya dengan sopan dan mangajaknya berbincang dengan ramah. Siswi itu pun
menyambut dengan ramah dan sopan. Tidak lama setelahnya Toro dan siswi tersebut
berjalan keluar kelas dan siswi tersebut membawa tas ransel kecilnya. Toro
memberikan isyarat kalau dia sukses dalam proses negosiasi. Dibagian kesiswaan
Toro bertemu dengan Ridhan yang juga sedang mengurus proses pertukaran. Proses
pertukaran tidak memakan waktu cukup lama, setelahnya mereka berdua kembali
menuju kelas IPA 6 untuk menemui teman – temannya. Akhirnya mereka berkumpul
kembali dalam satu kelas.
“Eh tunggu, duet gue kamana ya?”
Tanya Banyu menyela pembicaraan.
“Siapa?” Tanya Ewin.
“Si Adit.” Jawab Banyu.
“Wah iya. Wah lu parah lupa sama si
Adit Win.” Ridhan mengompori.
“Iya lu parah, orang badannya gede
gitu kok lupa.” Iyan menambah mengompori.
“Wei! Lu juga pada lupa kan sama
orang besar itu.” Ewin membela diri.
“Udah udah woi! Ini salah kita
semua.” Toro mencoba menenangkan.
Banyu hanya bisa tertawa terbahak -
bahak melihat kelakuan teman – temannya sambil dia menikmati kacang kulit yang
dia beli di kantin. Dan akhirnya kejadian yang tidak diduga – duga pun terjadi.
Mereka tidak menyangka kalau mereka akan satu kelas dengan si Congor. Congor
adalah sebutannya dan nama aslinya adalah Randi. Dia disebut Congor karena
ocehannya yang tidak bisa ditahan dan kalau dia suda tertawa suaranya akan
sangat nyaring dan terdengar tidak merdu sehingga menghasilkan pulusi suara.
Ketika si Congor terlihat memasuki kelas mereka berlima langsung memiliki
firasat buruk. Mereka memiliki pemikiran yang sama yaitu haru segera pindah
kelas dari pada harus menahan polusi suara sampai lulus SMA. Si Congor pun
mulai mendekat, dan ternyata dia memilih tempat duduk yang berdekatan dengan
Banyu. Banyu sudah mulai merasa tidak nyaman sampai – sampai dia tidak bernafsu
untuk menyantap cemilan kacang kulitnya. Ditengah tekanan batin yang sangat
dahsyat tersebut tiba – tiba secercah harapan datang.
“Hoi teman – teman! Disini rupanya
kalian.” Adit berteriak menyapa dari pintu kelas dengan penuh semangat jelas
sekali terpapar itu adalah semangat seorang jomblo dari lahir.
Serentak mereka berlima pun
langsung beranjak dari tempat duduknya masing – masing meninggalkan si Congor
sendirian beranjak mendekati Adit yang berada di depan pintu kelas.
“Kemana aja kalian? Gue nyariin
dari tadi pagi.” Tanya Adit.
“Lu yang kemana? Baru muncul
sekarang.” Kata Banyu.
“Gue udah dateng dari jam setengah
tujuh.” Jawab Adit.
“Gue langsung liat daftar kelas
baru ternyata gue IPA 2, langsung deh gue cari kelas itu.” Lanjut Adit.
“Kelas lu kayak gimana Dit? Kita mau
pindah ke kelas lu nih. Emergency!” Kata Ridhan.
“Kelas gue isinya perempuan semua
bro! satu berbanding lima deh sama cowoknya.” Jawab Adit sambil tertawa.
“Beneran lu? Ayo kita proses deh.”
Kata Iyan bersemangat.
Mereka berenam pun langsung pergi
menuju kelas IPA 2 untuk memeriksa secara langsung semua perkataan Adit. Kelas IPA
2 berada tidak jauh dari kelas IPA 6. Setelah sampai mereka pun langsung
memeriksa kelas tersebut, tetapi hanya mengintip dari pintu saja. Terpampang jelas
didalam kelas tersebut berisikan puluhan siswi perempuan dan ada beberapa siswa
laki – laki yang duduk di barisan paling belakang. Perhatian Ridhan dan Iyan
langsung tercuri oleh sosok siswi yang duduk dalam barisan pertama dekat dengan
tembok yang sejajar dengan pintu tempat mereka mengintip. Siswi tersebut
memiliki rambut panjang, berkulit putih dan berwajah manis. Sontak hati mereka
berdua pun langsung berdegup kencang.
“Itu cewek tipe gue banget.”
Pemikiran Ridhan dan Iyan dalam hati.
Mereka memiliki pemikiran yang sama
pada pandangan pertama. Berbeda dengan Toro, perhatiannya kini tecuri oleh
sosok siswi berkerudung, berkaca mata, dan terlihat sangat solehah sekali. Siswi
ini duduk di barisan keempat.
“Subhanallah.” Ucap kagum Toro
dalam hati.
Ewin memiliki pemikiran yang
berbeda dengan teman – temannya. Dia merasa tidak yakin dengan kelas ini. Dia berpikir
perempuan di kelas ini terlalu banyak.
“Waduh banyak banget godaan di
kelas ini.” Pemikiran Ewin dalam hati.
Dia meresa cobaan untuk setia
dengan pacarnya akan semakin berat jika bergabung dengan kelas ini.
“Ayo segera kita proses! Jangan pada
bengong aja woi!” Banyu menyentak.
“Ayo!” jawab Iyan, Ridhan, dan Toro
serentak bersemangat.
“Kok lu semangat banget Tor?” Tanya
Ewin.
“Eh? Iya ya?” Toro gugup.
“Woi! Lagi pada ngapain didepan
pintu kelas orang?” Tanya Akbar yang baru datang dan mau mencari kelas barunya.
“Wei! Ayo Bar ikut kita!” Kata
Banyu memaksa.
“Ada apa ini? Gue baru dateng gatau
apa – apa.” Akbar kebingungan.
“Udah ikut aja.” Ewin ikut memaksa.
Komplit sudah, sekarang mereka
sudah bertujuh. Mereka pun langsung beranjak menuju ruang wakil sekolah
kesiswaan. Mereka ingin mengurus perpindahan kelas. Akbar masih kebingungan
dengan tingkah laku teman – temannya yang sangat bersemangat ini, soalnya tidak
ada penjelasan sama sekali dari teman – temannya. Sesampainnya didepan ruang
wakasek kesiswaan mereka menumbalkan Ewin untuk bernegosiasi karena dia lah
yang paling jago ngomong. Teman – temannya menunggu di depan pintu sambil
mengintip. Ewin merasa agak kesal namun dia merasa pasrah.
“Begini pak, kami berenam ingin
pindah kelas pak, soalnya kelas IPA 6 ternyata sudah kepenuhan.” Ewin membuka
pembicaraan.
“Hah? Iya gitu?” Akbar masih
kebingungan.
“Sssst! Udah diem aja, tar juga
tau.” Ridhan
“Iya gitu? Ini saya baginya udah
sama rata kok.” Jawab wakasek kesiswaan.
“Kalian mau pindah ke kelas yang
mana?” Tanya wakasek kesiswaan.
“Kelas IPA 2 pak, soalnya disitu
jumlah laki – lakinya kurang pak.” Jawab Ewin.
“Tapi nanti jumlah siswa di IPA 2
jadi kebanyakan.” Jawab wakasek kesiswaan.
“Hmmm.. tapi gak apa – apa deh,
saya juga udah pusing soalnya. Nanti kalau bangkunya kurang ambil dari kelas lain aja ya sendiri.” Lanjut wakasek
kesiswaan yang sudah pusing.
“Bener nih pak? Terima Kasih ya
pak.” Kata Ewin bersemangat.
Sontak mereka pun langsung pergi
menuju IPA 2 untuk pindah kelas. Iyan, Ridhan, Banyu, Toro, dan Ewin terlebih
dahulu mengambil tas sekolah mereka yang masih berada di kelas IPA 6 lalu
menyusul Adit dan Akbar yang menunggu di depan kelas IPA 2 dan Akbar masih
kebingungan. Setelah semuanya siap mereka pun langsung masuk ke kelas IPA 2
untuk mencari tempat duduk kosong. Ketika memasuki kelas mereka bertujuh
langsung menjadi perhatian seisi kelas yang notabene sebagian besar adalah
perempuan. Mereka hanya bisa tertunduk malu karena mereka merasa seperti pelaku
kriminal yang akan disidang. Terlihat ada bangku kosong di belakang tiap
barisan.
“Gue duduk disini sendiri, lu duduk
sama gue ya Nyu.” Ajak Adit kepada Banyu.
Adit dan banyu duduk di meja kedua
dari belakang pada barisan pertama dekat tembok.
“Belakang si Adit kosong tuh, kita
duduk situ yuk Yan.” Ajak Ridhan kepada Iyan.
“Hayuk.” Iyan menerima ajakan
Ridhan.
Ridhan dan Iyan duduk di meja
paling belakang pada baris pertama.
“Tor kita duduk samping si Ridhan
sama si Iyan aja.” Ewin mengajak Toro.
“Iya deh.” Toro menerima ajakan
Ewin.
Ewin dan Toro duduk di meja paling
belakang baris kedua.
“Gue duduk dimana?” Akbar
kebingungan.
“Cari aja, masih ada yang kosong
kok.” Jawab Adit sambil tertawa.
Akhirnya Akbar memilih meja paling
belakang baris ketiga, disamping Ewin dan Toro. Dia duduk satu meja dengan
seorang siswa berbadan besar, berperut buncit, berkulit hitam keling dan
berwajah sangar. Akbar merasa takut duduk dengannya, akan tetapi mau gimana
lagi hanya itu bangku yang kosong.
“Dit, lu bawa pasukan banyak
banget.” Kata seorang siswi yang duduk di depan Adit dan Banyu.
“Iya nih, biar rame.” Jawab Adit
sambil tertawa.
“Eh siapa namanya?” Banyu menyela
pembicaraan.
“Dewi, kamu?” Jawab siswi tersebut
sambil tersenyum.
“Aku Banyu.” Kata Banyu.
“Oooh Dewi namanya.” Iyan dan
Ridhan reflek berbicara agak keras.
Sadar akan kekonyolan yang mereka
perbuat, Iyan dan Ridhan pun langsung berhadapan sambil saling tunjuk.
“Ternyata lu Yan?.” Kata Ridhan
sambil berbisik.
Iyan menggangguk.
“Lu juga Dhan?.” Iyan berbisik.
Ridhan juga mengangguk.
“Bisik – bisik apaan kalian?” Tanya
Banyu.
“Ngga kok.” Jawab Ridhan sambil
tertawa sedikit.
“Yang berdua dibelakang siapa aja
namanya?” Tanya Dewi.
“Yang ini Ridhan, yang ini Iyan.”
Banyu memperkenalkan.
“Haloo…” Ridhan dan Iyan menyapa
berbarengan.
“Kalo yang duduk sama kamu siapa
namanya Wi?” Tanya Banyu.
“Ini Ifa.” Jawab Dewi.
“Depan aku ada Dita sama Sintia,
depannya lagi ada Laras sama Okta.” Lanjut Dewi.
“Halooo..” Sapa Banyu, Iyan dan
Ridhan berbarengan sambil melambaikan tangan.
“Haloo juga..” Balas Ifa, Sintia,
Dita, Laras, dan Okta sambil tersenyum.
“Kalian lucu ya.” Kata Dewi samnbil
tersenyum.
“Dibilang lucu Dhan, itu pasti ke
gue!” Kata Iyan kepada Ridhan sambil berbisik.
“Enak aja! Itu ke gue!” Balas Ridhan sambil
berbisik juga.
“Lu berdua kenapa sih bisik – bisik
mulu?” Tanya Adit yang keheranan.
“Gak apa – apa kok Dit.” Jawab
Ridhan.
“Salam kenal ya Dewi.” Ridhan dan
Iyan menyapa Dewi lagi sambil tersenyum.
“Iya” Jawab Dewi sambil tersenyum.
“Senyumnya manis banget Yan, itu
pasti buat gue!” Kata Ridhan kepada Iyan sambil berbisik.
“Enak aja! Itu buat gue!” Balas
Iyan sambil berbisik.
“Woi rame amat! Gue kok ga
dikenalin?” Akbar nyamber.
“Iya, gue juga ga dikenalin.” Kata
Ewin.
“Gila! Itu yang duduk sama gue
badannya bau banget, ga kuat gue.” Curhat Akbar.
“Oh itu namanya Dayat.” Kata Dewi
sambil tertawa.
“Derita lu ah Bar.” Kata Ewin
sambil tertawa.
“Eh kamu siapa namanya?” Ewin
mengajak kenalan Dewi sambil menjulurkan tangan.
“Aku Dewi, kamu?” Jawab Dewi.
“Aku Ewin, temen aku yang duduk
sama Dayat namanya Akbar, dan temen aku satu lagi yang lagi duduk termenung itu
namanya Toro.” Kata Ewin.
“Liat tuh si Ewin beraksi
ngeganjenin cewek, padahal dia kan udah punya pacar ya Yan.” Kata Ridhan kepada
Iyan sambil berbisik.
“Iya Dhan, kebiasaan emang.” Jawab
Iyan sambil berbisik.
“Woi ngomongin apa lu berdua?”
Tanya Ewin.
“Ngga kok Win, lu ganteng banget,
gue salut sama lu.” Jawab Iyan.
“Ridhan sama temennya bisik – bisik
terus dari tadi, gabung dong ngobrolnya.” Ajak Sintia yang duduk depan Dewi
sambil tersenyum.
“Eh? Iya Tia.” Kata Ridhan sambil
cengengesan.
“Embat dah Dhan!” Kata Akbar sambil
tertawa.
“Apaan sih Bar.” Ridhan ngedumel.
Tidak lama setelahnya, masuk lah
wali kelas baru kelas IPA 2. Perkenalan pun harus berakhir. Perkenalan yang
sangat penuh dengan tawa. Ada banyak bahan obrolan yang mereka jadikan topik. Kali
ini Toro tidak banyak mengamati, karena perhatiannya tertuju kepada sosok
perempuan berkerudung yang berada diseberang kelas. Dia mengamati tingkah laku
perempuan tersebut dari tadi, karena itu lah dia disebut duduk termenung oleh
Ewin. Perkenalan ini akan selalu diingat oleh Iyan dan Ridhan, karena ini
sangat berkesan, perempuan yang mereka taksir ternyata memberikan respon
positif ketika perkenalan awal. Namun Ridhan agak kecewa karena ternyata
perempuan yang pertama mengajak bercanda pertama kali kepada dia adalah Sintia
dan Dewi masih terlihat netral. Walaupun dari awalnya Sintia terlihat malu –
malu dan lebih banyak menunduk ternyata dia lah yang pertama menyapa Ridhan.
Adit pun ternyata merasa sangat terkesan, karena dia merasa tidak lama lagi
status jomblo dari lahir miliknya akan segera ditanggalkan dan dia sangat
bersemangat menghadapi tahun ajaran baru. Akbar yang awalnya lebih banyak
bingung akhirnya mengerti kenapa teman – temannya mengajak pindah ke kelas ini,
karena disini ada banyak sekali perempuan dan terlihat seperti kelas tata boga
atau tata busana. Kelas tersebut berisikan total empat puluh sembilan siswa
dengan sebelas orang laki – laki dan sisanya perempuan. Kelas baru, tahun
ajaran baru, semangat baru untuk mereka.
0 comments:
Posting Komentar