Intermezzo
Hari ini hari Minggu, satu hari sebelum masuk sekolah hari
pertama di taun ajaran baru. Cuaca cerah menyelimuti daerah sekitar
Jabodetabek. Pagi – pagi sekitar pukul tujuh Ridhan sudah berada di daerah
Kebon Nanas, Tengerang untuk menunggu bus jurusan ke Bandung lewat. Disebuah
halte yang berada di dekat jembatan penyebrangan dia terlihat duduk santai
sambil mendengarkan MP3 dari telepon genggamnya dan juga menikmati sarapannya
sebuah roti isi dan susu kotak. Ridhan hari ini ada janji bertemu Sigi di
Bandung pada siang hari. Kegiatan ini tidak dia ceritakan kepada teman –
temannya. Yang dia ceritakan kepada teman – temannya hanyalah bahwa dia akan
berangkat ke Bandung pada siang hari dan sampai kira – kira pada sore hari.
Beberapa hari sebelumnya Ridhan memang pernah mengajak Sigi untuk bertemu di
Bandung lewat telepon dan Sigi menerima ajakan tersebut, namun terdengar suara
Sigi agak terpaksa saat menerima ajakan Ridhan yang memang pada saat itu agak
sedikit memaksa Sigi. Maka dari itu Ridhan tidak menceritakan kepada teman –
temannya tentang pertemuan ini karena gengsi takut diolok - olok oleh teman –
temannya. Ridhan bisa mencapai halte yang sekarang sedang dia tempati ini
diantar oleh ayahnya karena letaknya yang sangat jauh dari rumah orang tuanya
yang berada di daerah Serpong. Tidak lama setelah dia duduk di halte sekitar
lima belas menit bus yang diharapkan pun datang, sontak Ridhan pun beranjak
dari tempat duduknya dan memberi isyarat kepada bus itu untuk naik. Bus
terlihat masih kosong, hanya ada beberapa penumpang saja didalamnya. Ini
mungkin karena masih pagi. Ridhan pun memilih posisi di tengah dan duduk di
dekat kaca agar bisa melihat pemandangan. Ridhan pun akhirnya berangkat ke
Bandung dengan perasaan yang gembira penuh suka cita sambil ditemani lagu slow
milik Maroon5 yang berjudul Sunday Morning dan lagu Edson yang berjudul Sunday
Lovely Sunday dari telepon genggamnya yang dia putar berkali – kali. Lagu –
lagu tersebut membuatnya merasa sangat nyaman sampai lama – lama dia merasa
mengantuk. Ditambah AC bus yang dingin membuatnya tambah mengantuk dan akhirnya
dia pun tertidur. Perjalanan dari Tangerang menuju Bandung waktu itu tidak
banyak memakan waktu, lalu lintas yang tidak terlalu padat di tol Cipularang
dan sekitarnya membuat perjalanan tersebut hanya memakan waktu sekitar tiga
jam. Sekitar jam setengah sepuluh Ridhan terbangun karena ada sebuah pesan
singkat masuk ke teleponnya. Ternyata itu dari Ewin.
“Woi Dhan, jadi ke kosan gue ga hari ini? Udah ada Toro,
Iyan, sama Banyu nih.” Isi pesan singkat Ewin.
“Jadi ini baru mau berangkat bro.” Jawab Ridhan berbohong.
Ketika Ridhan terbangun ternyata bus yang dia tumpangi sudah
sampai daerah Padalarang, artinya ini sudah dekat dengan daerah tujuan. Bus
tersebut keluar di pintu tol Pasir Koja, setelah itu bus tersebut menuju ke
terminal Leuwi Panjang. Di terminal tersebutlah pemberhentian terakhir bus
tersebut. Sekitar jam sepuluh Ridhan akhirnya sampai di terminal Leuwi Panjang.
Kali ini dia harus mencari angkot untuk mencapai rumah neneknya yang berada di
daerah Buah Batu. Untuk mencapai komplek rumah neneknya dia harus dua kali naik
angkot. Setelah sampai didepan komplek Ridhan harus berjalan dahulu untuk
mencapai rumah neneknya. Untungnya dia tidak harus berjalan jauh untuk mencapai
rumah neneknya. Setelah sampai dia pun langsung menyapa neneknya yang sedang
menyapu di halaman dan tidak lupa untuk cium tangan.
“Kamu kok ga bilang mau dateng?” Tanya neneknya.
“Eh iya Eyang, Ridhan lupa.” Jawab Ridhan sambil
cengengesan.
“Ridhan masuk dulu ya Yang.” Lanjut Ridhan.
Setelah menyapa neneknya, Ridhan pun langsung masuk ke
rumah. Dia melewati ruang tempat menonton televisi dan disitu terlihat tantenya
yang judes sedang menonton televisi. Ridhan pun langsung menyapanya dan cium
tangan. Tanpa banya basa – basi Ridhan langsung pergi menuju kamarnya untuk
menyimpan ranselnya. Tidak lama dia beranjak keluar dari kamarnya menuju garasi
untuk memanaskan motor skuternya. Ridhan mendapatkan skuter ini dari orang
tuanya ketika dia berhasil naik kelas kemarin. Orang tuanya menghadiahi Ridhan
skuter tersebut karena Ridhan berhasil naik kelas. Ridhan sebenarnya agak
bingung kenapa dia sampai dihadiahi, karena sebenarnya dia adalah calon tidak naik
kelas sebelumnya. Namun dia pikir juga rezeki itu tidak boleh ditolak, dia
hanya bisa bersyukur.
“Mau kemana Dhan?” Tanya neneknya ramah.
“Mau ketemu temen Yang.” Jawab Ridhan.
Tidak begitu lama Ridhan memanaskan motornya, setelah
sekitar tujuh menit dia mematikan mesin skuternya. Lalu dia bersiap – siap
dikamar. Dia memakai parfum dengan jumlah cukup banyak sehingga bau parfumnya
tercium hingga radius lima meter. Dan Ridhan pun akhirnya siap berangkat
menjemput Sigi dengan motor barunya. Tidak lupa dia menggunakan helm dan
membawa helm satu lagi yang nantinya akan digunakan oleh Sigi. Rumah Sigi
berada didaerah Male’er disekitar jalan Gatot Subroto, Bandung. Rumahnya tidak
terlalu jauh dari rumah baru Iyan. Untuk mencapai daerah Male’er, Ridhan
menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit, karena lalu lintas agak padat
siang hari itu. Kalau lalu lintas lancar dia hanya membutuhkan waktu sekitar
lima belas menit perjalanan dengan motor. Sigi meminta agar dijemput bukan di
rumah namun didepan gang rumahnya. Sigi beralasan takut orang tuanya tau waktu
itu. Ridhan agak curiga dengan permintaan sigi namun dia memilih untuk tidak
terlalu memikirkannya yang terpenting Sigi menerima ajakannya siang ini. Sigi
menunggu didepan gang rumahnya yang berhiaskan sebuah gapura warna putih dengan
sedikit corak warna merah. Gapura tersebut dihias seperti itu untuk
memperingati hari kemerdekaan taun kemarin. Dibawah pohon rindang yang
melindungi terik matahari, Sigi menunggu Ridhan yang berjanji akan menjemputnya.
Sigi mengenakan kaos lengan pendek berwarna putih yang ditutupi sebuah vest
berwarna hitam dan juga celana jeans warna biru dongker. Semua kombinasi
tersebut dilengkapi oleh sepatu kads dan tas selempang kecil berwarna hitam
yang dia kenakan menyilang. Ridhan yang ditunggu akhirnya pun datang setelah
tidak terlalu lama Sigi sampai di gapura untuk menunggunya.
“Hai, udah lama?” Ridhan menyapa.
“Belom kok, baru aja sampe.” Jawab Sigi tersenyum.
“Kita kemana sekarang?” Tanya Ridhan.
“Terserah kamu aja deh, tapi jangan terlalu sore ya, aku ada
janji.” Jawab Sigi.
“Yaudah deh kita ke es goyobod di jalan Kliningan aja yuk.”
Ajak Ridhan.
‘Boleh deh, pas banget cuaca lagi panas sekarang.” Jawab
Sigi.
“Nih kamu pake helm ya biar aman.” Kata Ridhan sambil
memberikan helm.
“Iya, makasih ya.” Jawab Sigi sambil tersenyum.
“Aku naik ya Dhan.” Pinta Sigi.
“Iya, Silahkan.” Jawab Ridhan sambil tersenyum.
Setelah semuanya siap mereka berdua pun akhirnya berangkat.
Jarak antara daerah Male’er dan tempat tujuan mereka tidak terlalu jauh. Ridhan
memilih jalan melewati daerah Turangga untuk menghindari kemacetan yang lebih
parah. Sebenarnya di daerah sekitar Turangga juga macet karena hari Minggu,
akan tetapi tidak separah di jalan – jalan utama. Ridhan duduk didepan sambil
mengendarai sepeda motornya, tangan kanannya mengendalikan gas motor sekaligus
rem depan sedangkan tangan kirinya mengendalika rem belakang. Sigi duduk
dibelakangnya, dia tidak berpegangan kepada besi melingkar yang berada
dibelakang jok. Kedua tangannya merangkul melindungi tas selempang kecil yang
dia bawa, ada jarak antara tempat duduknya dengan Ridhan. Suasana hening
tecipta selama beberapa menit selama awal perjalanan, sampai akhirnya Sigi
membuka pembicaraan di motor.
“Dhan tau ga kalau nanti kelas bakal di acak?” Tanya Sigi.
“Hah? Apa Gi? Ga kedengeran.” Jawab Ridhan.
“Yaudah nanti aja Dhan di omonginnya.” Kata Sigi.
Ridhan yang pendengarannya terhalang oleh helm waktu tidak
menjawabnya lagi. Dia berkonsentrasi ke jalan agar tidak terjadi hal yang tidak
diinginkan. Pertanyaan Sigi hanyalah kalimat basa – basi pembuka, sebenarnya
ada sesuatu yang ingin dia beri tau kepada Ridhan. Sesuatu yang menurut Sigi
sangat penting, dan Ridhan harus tau. Tidak lama akhirnya mereka memasuki jalan
Kliningan. Ada banyak pohon rindang di pinggir – pinggir jalan ini. Udara panas
yang dari tadi terasa terik pun berubah menjadi adem dan sejuk. Mereka pun
langsung menuju tempat tujuan mereka. Terlihat ada sebuah gerobak besar di
pinggir jalan dan terdapat tulisan Es Goyobod pada gerobak tersebut. Ada banyak
kursi dan meja di sekitar gerobak tersebut. Di sisi lain ada banyak juga motor
yang diparkirkan. Ridhan pun langsung memarkirkan motornya, melepaskan helm dan
menggantungnya di spion sebelah kanan. Lalu dia membantu Sigi melepaskan helm
yang dipakai oleh Sigi dan menggantungnya di spion sebelah kiri. Mereka berdua
lalu mencari meja yang kosong. Warung tersebut cukup ramai pengunjung, ini
menyulitkan mereka untuk mendapatkan meja. Ternyata masih ada satu meja kosong.
Ridhan meminta Sigi untuk duduk duluan dan dia memesankan dua buah es goyobod
untuk mereka berdua. Setelah selesai memesan lalu Ridhan menghapiri Sigi yang
sudah duduk duluan dan memperhatikan Ridhan dari tempat duduknya.
“Enak ya tempatnya Dhan.” Sigi membuka pembicaraan.
“Iya Gi adem, padahal sekarang matahari lagi sangar –
sangarnya ya.” Jawab Ridhan.
“Eh iya tadi pas di motor kamu mau ngomong apa?” Tanya
Ridhan.
“Kamu udah tau belom kalo nanti kelas bakal diacak?” Tanya
Sigi.
“Belom, kamu tau dari siapa?” Ridhan agak kaget.
“Rachmi waktu itu ngasih tau aku.” Jawab Sigi.
“Dia kok ga ngasih tau aku ya? Nanti kita bisa ga sekelas
ya.” Ridhan cemas.
“Justru aku harap kita nanti ga sekelas Dhan.” Jawab Sigi.
“Loh kok gitu Gi?” Ridhan kaget.
“Soalnya…..” Sigi belum selesai menjelaskan.
“Punten A! Teh! Ini es goyobodnya.” Pelayan memotong
pembicaraan.
“Makasih ya Mang.” Jawab Sigi sambil tersenyum.
“Nuhun Mang, taro aja disitu.” Jawab Ridhan agak kesal
sambil menunjuk meja.
“Kamu kok sewot gitu? Kan udah dianterin es goyobodnya.” Tanya
Sigi.
“Kesel aja. Terus kenapa kamu gamau sekelas lagi sama aku?”
Kata Ridhan.
“Nanti ya, mending kita abisin dulu ini.” Jawab Sigi sambil
mengaduk es goyobodnya.
“Yaudah deh.” Jawab Ridhan kecewa.
Lalu suasana hening pun tercipta selama mereka berdua menghabiskan
es goyobodnya masing – masing. Ridhan dengan cepat menghabiskan es goyobodnya
karena terbawa rasa penasaran yang berlebihan.
“Oke aku udah abis nih, ayo jawab pertanyaan aku.” Ridhan
kembali membuka pembicaraan.
“Tunggu dong Dhan, aku masih ada sedikit lagi nih. Ini bukan
lomba.” Jawab Sigi.
“Yaudah deh, aku mau nyari toilet dulu deh.” Kata Ridhan.
Ridhan pun akhirnya beranjak dari tempat duduknya untuk
mencari toilet. Ternyata disekitar warung itu tidak ada toilet sehingga dia
harus mencari mesjid terdekat, dan mesjid terdekat ada di ujung jalan yang
cukup jauh. Dia harus berjalan cukup lama untuk pergi ke toilet dan kembali
lagi menghampiri Sigi. Ini memakan waktu cukup lama sehingga rasa penasarannya
pun hilang terbawa angin selama perjalanan bolak balik ke toilet. Akhirnya dia
pun kembali.
“Kok lama banget? Jauh ya?” Tanya Sigi.
“Iya Gi maaf yah.” Jawab Ridhan.
“Eh iya Gi aku mau ngomong sesuatu.” Kata Ridhan.
“Apa Dhan?” Tanya Sigi agak bingung.
“Sebenernya aku sengaja ngajak kamu kesini sekarang, ada
sesuatu yang pengen aku tanya.” Ridhan menjelaskan.
“Iya ada apa Dhan?” Tanya Sigi sambil menatap mata Ridhan.
Tatapan mata Sigi membuat Ridhan sulit untuk berbicara dan
takluk.
“Ini Gi, sebenernya aku itu.” Ridhan terbata – bata.
“Kamu kenapa Dhan?” Tanya Sigi masih sambil menatap mata
Ridhan.
Tatapan matanya kali ini makin menghancurkan mental Ridhan.
“Aku itu suka sama…” Ridhan terbata – bata.
‘Sama Rachmi?” Tanya Sigi memotong pembicaraan.
“Bukan, kok Rachmi sih?” Ridhan kaget.
“Soalnya kamu deket kan sama dia.” Sigi menjelaskan.
“Bukan Gi, aku sukanya sama kamu.” Kata Ridhan.
“Kamu mau jadi pacar aku?” Lanjut Ridhan.
Sigi terkejut mendengar pernyataan dari Ridhan. Ternyata selama
ini apa dia rasakan dirasakan juga oleh Ridhan. Dia merasa senang akhirnya
Ridhan mau bicara jujur kepadanya dan diucapkan secara langsung. Namun dia juga
merasa kecewa dalam waktu yang bersamaan.
“Kamu telat seminggu Dhan.” Jawab Sigi sambil tersenyum dan
matanya berkaca – kaca.
“Maksudnya?” Tanya Ridhan.
“Aku udah sama yang lain, dan ini udah seminggu.” Sigi
menjelaskan.
“Dari kapan Dhan?” Tanya Sigi.
“Dari pas kita pulang bareng ujan – ujanan Gi.” Jawab Ridhan
lesu.
“Kenapa baru sekarang?” Tanya Sigi lagi.
“Aku belum ada keberanian sebelum – sebelumnya.” Jawab Ridhan
tambah lesu.
“Aku juga udah nunggu dari pas kita pulang bareng itu.” Kata
Sigi.
Ridhan terkejut mendengar perkataan Sigi. Dia sangat
menyesal, dia tidak bisa berkata apa – apa.
“Makanya aku berharap nanti kita ga sekelas, untuk kebaikan
kita berdua.” Lanjut Sigi.
“Coba aja kamu ngomong gini pas kita selesai pembagian rapot
waktu itu. Aku berharap banget waktu itu.” Kata Sigi.
Ridhan makin terkejut dibuatnya. Dia makin menyesal.
“Maafin aku Gi, Cuma itu yang bisa aku lakukan, Cuma minta
maaf.” Kata Ridhan.
“Kalau bener kita beda kelas nanti, aku harap kamu ga
berubah sikap jadi beda.” Lanjut Ridhan.
“Iyan Dhan, aku ga akan jadi sombong atau jutek kok.” Jawab
Sigi sambil tersenyum.
Suasana hening kembali tercipta, kali ini cukup lama. Mereka
seperti sedang saling berbicara satu sama lain, namu tidak sepatah kata pun
terucap. Terkadang suasana dapat tercipta dengan sendirinya tanpa harus ada yang
berbicara.
“Dhan aku pulang duluan ya.” Sigi memecah keheningan.
“Aku anter Gi.” Ajak Ridhan.
“Ga usah, pacar aku udah jemput tuh. Aku duluan ya.” Jawab
Ridhan.
Sigi berjalan menjauh meninggalkan Ridhan terduduk sendiri
menghadap ke jalan raya. Sigi berjalan mendekati sosok laki – laki berjaket
kulit hitam, mengenakan helm full face merk ternama, menunggangi sepeda motor
sport bertenaga besar pabrikan ternama jepang. Sigi duduk dibelakangnya setelah
mengenakan helm yang dibawa oleh laki – laki tersebut. Sebelum berangkat Sigi
sempat memberikan senyuman kepada Ridhan dari kejauhan dan Ridhan membalasnya
dengan senyuman dan lambaian tangan.
“Pantesan. Udah guenya kalah cepet geraknya, motor gue juga
kalah kenceng larinya.” Gumam Ridhan dalam hati sambil tersenyum.
Kelas Baru
Proses belajar mengajar di kelas baru sudah berjalan sekitar
satu bulan. Ridhan, Iyan, Banyu, Akbar, Adit, Ewin, dan Toro sudah mulai
beradaptasi dengan lingkungan kelas barunya. Ewin ditunjuk sebagai wakil ketua
kelas, dan ketua kelasnya adalah Dayat. Akan tetapi yang lebih sering melakukan
tugas – tugas ketua kelas adalah Ewin, karena Dayat terlalu malas untuk
melakukannya. Mereka sudah mulai mengetahui sedikit karakter – karakter
penghuni kelas tersebut. Dewi perempuan yang ditaksir oleh Ridhan dan Iyan
ternyata memiliki sifat yang sangat santai dan humoris. Ini membuatnya menjadi
orang yang paling dekat dengan mereka bertujuh. Ifa perempuan yang duduk satu
meja dengan Dewi memiliki sifat yang pasif, jadi dia terlihat seperti yang
pendiam dan lugu, akan tetapi dia selalu ikut nimbrung dan tertawa bersama
ketika ada bahan obrolan yang menarik. Ifa adalah pendengar yang baik. Dita
juga memilik sifat yang hampir sama dengan Dewi, namun karena tempat duduknya
yang agak jauh jadi dia tidak terlalu sering berinteraksi dengan mereka
bertujuh. Sintia terlihat yang paling tertutup, dia jarang sekali berbicara,
dan jika dia berbicara juga itu hanya sedikit. Okta dan Laras juga sama seperti
Dita, karena tempat duduknya yang jauh dari jangkauan dia juga jarang
berinteraksi dengan mereka bertujuh. Selain itu mereka bertujuh juga sudah
mulai berani bertingkah seperti tidur di kelas, mengobrol atau mendengarkan
lagu lewat MP3 player pada saat guru sedang menerangkan pelajaran, sampai bolos
pelajaran.
“Aduh Yan gue ga ngerti pelajaran kimia ini.” Keluh Ridhan.
“Sama Dhan, kok si Toro sama si Ewin bisa antusias gitu ya
keliatannya.” Kata Iyan.
“Gatau dah, mereka kan ngerti sama ilmu gaib kayak kimia ini.” Jawab
Ridhan.
“Liat tuh si Banyu sama si Adit juga antusias keliatannya.”
Kata Ridhan.
“Dari tadi nyatet terus soalnya.” Lanjut Ridhan.
“Lu berdua emang ngerti?” Tanya Iyan kepada Adit dan Banyu.
“Kagak, ini mah gue nyatet doang.” Jawab Adit.
“Sama gue juga cuma gambar – gambaran doang.” Jawab Banyu.
“Gambar apa Nyu? Gambar porno ya?” Tanya Ridhan becanda.
“Gue gak kayak lu Dhan.” Jawab Banyu.
“Coba gue liat Nyu gambarnya.” Pinta Iyan.
“Nih.” Jawab Banyu sambil memberikan gambarnya.
“Wah lu gambar si ibu lagi ngajar dari belakang.” Kata Iyan
sambil menahan tawa.
“Bagus Nyu gambarnya asli bagus banget.” Kata Ridhan menahan
tawanya.
“Sssst! Jangan berisik oi!” Tegur Ewin sambil berbisik.
“Bosen nih gue waketu.” Jawab Iyan.
“Cabut yuk yan, bentar lagi kan istirahat nih.” Ajak Ridhan.
“Pura – pura ke kamar mandi?” Tanya Iyan.
“Iya, gue duluan ya.” Jawab Ridhan.
Istirahat biasanya dimulai jam setengah sepuluh pagi, kali ini
waktu menunjukan jam sembilan lewat tujuh menit. Ridhan pun beranjak dari
tempat duduknya, melewati meja Adit dan Banyu sambil tersenyum licik. Lalu
melewati meja Dewi dan Ifa sambil melirik sedikit kearah Dewi dan tersenyum
malu. Melewati meja Sintia dan Dita lalu meja Laras dan Okta. Sintia sempat
memperhatikan langkah Ridhan sebentar lalu meneruskan catatannya. Setelah
sampai di depan kelas Ridhan langsung menghampiri ibu guru yang sedang mengajar
dan meminta izin untuk ke kamar mandi. Setelah diberikan izin dia pun langsung
meninggalkan kelas dan sempat memberikan isyarat berupa acungan jempol kepada
Iyan. Bukannya ke kamar mandi Ridhan malah menuju kantin Naon – Naon untuk
jajan dan santai disana sambil melihat kelas lain yang sedang peraktek olah raga
di lapangan basket. Di kelas Iyan menunggu waktu yang pas untuk mempraktekan
apa yang Ridhan lakukan. Dia terus menunggu dan terus menunggu. Sampai akhirnya
waktu menunjukan jam setengah sepuluh kurang beberapa menit. Iyan pun beranjak
dari tempat duduknya, melewati tempat duduk Banyu dan Adit sambil tersenyum
licik. Lalu melewati meja Dewi dan Ifa sambil melirik sedikit kearah Dewi dan
tersenyum malu. Dia pun langsung meminta izin kepada ibu guru yang sedang
mengajar untuk ke kamar mandi. Tiba – tiba bel istirhat pun berbunyi.
“Pelajaran sampai sini dulu ya, silahkan istirahat, dan kamu
Iyan silahkan ke kamar mandi.” Kata Ibu Guru.
“Iya bu.” Jawab Iyan yang agak kecewa.
Setelah ibu guru keluar kelas, Adit, Banyu, dan Akbar
langsung menghampiri Iyan yang berdiri di depan kelas.
“Naon – Naon yuk!” Ajak Banyu sambil tertawa.
“Pasti si monyong udah nungguin disana dari tadi.” Kata Adit
sambil tertawa.
“Kok pada ketawa?” Tanya Akbar.
“Si Iyan tadinya mau cabut kelas tadi, tapi keburu
istirahat.” Banyu menjelaskan.
“Oh yaudah deh, sekarang kita ke Naon – Naon.” Jawab Akbar
santai.
Mereka berempat pun langsung beranjak ke Naon – Naon untuk
menghampiri si monyong yang tak lain dan tak bukan adalah Ridhan. Toro tidak
ikut karena dia sudah membawa bekal nasi dari rumah dan Ewin meminta bagian
sedikit dari bekal Toro sehingga mereka berdua tetap di kelas.
“Lama amat lu Boncel.” Kata Ridhan.
“Salah perhitungan gue Tem.” Jawab Iyan kesal.
“Yaudah kita ke kantin sebelah sana yuk nyari nasi atau apa
gitu.” Ajak Banyu.
“Iya nih gue laper setelah mencerna pelajaran tadi.” Kata
Akbar.
“Lu ngerti kimia Bar?” Tanya Ridhan.
“Gampang kali Dhan.” Jawab Akbar sombong.
“Hebat lu ngerti ilmu gaib.” Iyan terkagum.
“Si Ewin tuh gaib mah.” Kata Akbar sambil tertawa.
“Iya bener banget.” Lanjut Adit sambil tertawa.
“Tinggi, item, kerempeng, tampangnya ganteng abis.” Iyan
meneruskan sambil tertawa terbahak – bahak.
“Eh jangan gitu, dia punya pacar loh.” Ridhan membela.
“Tapi kasian juga ya si Nisa.” lanjut Ridhan menjatuhkan dan
tertawa.
“Ngomongin gue ya kalian?” Ewin tiba – tiba muncul.
“Beneran gaib ini anak.” Banyu terkejut.
“Maksudnya?” Ewin bingung.
“Lu ganteng banget Win maksudnya.” Ridhan menjelaskan.
“Ngagetin aja lu, bukannya makan sama Toro tadi?” Tanya
Banyu.
“Gue mau ke kelas si Nisa dulu sekarang.” Jawab Ewin.
“Gak mau ikut kita nih? Yaudah cukup tau.” Kata Iyan.
“Iya gue nyusul nanti, gue butuh pencerahan, bosen sama
batangan terus kayak kalian.” Jawab Ewin.
“Wah sial, liat aja nanti kita juga bakal punya pacar Win.”
Adit membela diri.
“Gue doain Dut, kurang baik apa coba gue sama kalian.” Jawab
Ewin tertawa.
“Yaudah sonoh lu mojok sama si Nisa.” Ridhan ngusir.
“Gue juga bakal punya pacar Win.” Lanjut Ridhan.
“Iya Dhan iya.” Jawab Ewin.
Ewin pun berpisah dari rombongan dan menuju ke kelas
kekasihnya. Kembali tinggal berlima dalam rombongan. Adit dan Banyu memesan
nasi goreng dengan minum teh kemasan. Ridhan memesan batagor dengan minum air
mineral botolan. Iyan dan Akbar memesan mie goreng dengan minum air mineral
botolan. Mereka menyantap makanannya masing – masing dengan lahap, karena mereka tidak
pernah sarapan sebelum berangkat sekolah. Sehingga rutinitas sarapan selalu
dilakukan ketika istirahat di sekolah. Mereka duduk sebaris saling berdekatan.
Tidak jauh dari tempat mereka duduk ada sebuah pasangan muda – mudi yang sedang
sarapan juga. Terlihat mereka menyantap batagor sepiring berdua, saling suap –
menyuapi dan terlihat sangat berlebihan. Ridhan sempat memperhatikan kejadian
tersebut, sehingga membuatnya agak kesal. Tidak lama setelahnya datang lagi
sepasang muda – mudi yang baru datang, pasangan tersebut melewati mereka
berlima dan secara otomatis menjadi perhatian mereka berlima.
“Kenapa gue jadi kepikiran ya.” Iyan membuka pembicaraan.
“Apaan?” Tanya Akbar.
“Gue pengen punya pacar.” Jawab Iyan.
“Gue juga.” Kata Ridhan.
“Ini gara – gara si Ewin manas – manasin, tapi gue juga
pengen.” Kata Adit
“Gue belom kepikiran tuh.” Kata Akbar santai.
“Yaelah! Yang begitu dipikirin, nanti juga dateng sendiri.”
Banyu menenangkan.
“Kapan Nyu? Kapan?” Tanya Ridhan.
“Tunggu aja, sabar Dhan.” Jawab Banyu.
“Gue udah ga sabar Nyu udah jomblo dua taun.” Kata Iyan.
“Apa lagi si Adit jomblo dari lahir.” Lanjut Iyan sambil
tertawa terbahak – bahak.
“Woi! Kenapa gue?” Adit agak kesal.
“Ya gatau, coba tanya sama Tuhan.” Kata Banyu sambil
tertawa.
“Mau nanya apa sama Tuhan? Ke mesjid atuh yuk.” Toro tiba –
tiba muncul.
“Hayu Tor! Gue mau curhat sama Tuhan.” Jawab Adit kesal.
“Lu kok kayak si Ewin sih muncul tiba – tiba mengejutkan.”
Banyu terkejut.
“Ke mesjid yuk, bantuin gue beres – beres di mesjid.” Ajak
Toro sambil tertawa.
“Bentar lagi kan masuk Tor.” Kata Ridhan.
“Kalian dapet dispen kok.” Jawab Toro.
“Ini kegiatan ekskul keluarga mesjid.” Lanjut Toro
menjelaskan.
“Let’s Go!” Iyan bersemangat.
“Kita culik si Ewin juga suruh bantuin kita.” Kata Adit.
“Boleh.” Jawab Toro.
Toro mengajak Ridhan, Iyan, Adit, Akbar, dan Banyu yang
sudah selesai makan di kantin untuk membantunya bersih – bersih di mesjid. Ini
merupakan piket pengurus mesjid sekolah, maka dari itu siswa yang kebagian
piket akan mendapatkan dispensasi. Jadwal piket pun di acak terus setiap
minggunya. Jadi setiap minggu siswa yang melakukan piket akan selalu berbeda.
Kali ini Toro mendapatkan bagian. Sebelum ke mesjid mereka berenam mencari Ewin
terlebih dahulu di kelas Nisa, pacarnya. Terlihat Ewin sedang duduk berdua
dengan Nisa di kelas tersebut. Ewin menyantap bekal yang dibawakan oleh Nisa
untuknya. Ketika sedang asik – asiknya makan Ewin dipaksa oleh teman – temannya
untuk pergi ke mesjid. Ewin menolaknya, karena dia harus menghabiskan bekal
yang dibawa oleh pacarnya tersebut. Melihat respon seperti itu, teman – temannya
langsung membantu Ewin menghabiskan bekal yang dibawakan oleh Nisa tersebut.
Dalam waktu sekejap bekal tersebut pun habis tak bersisa. Ewin agak kesal
dibuatnya, akan tetapi setelah melihat Nisa yang tertawa karena kelakuan teman
– teman pacarnya kesalnya pun menghilang. Mereka bertujuh pun langsung pamit
untuk pergi ke mesjid setelahnya. Mereka berjalan bersama melewati koridor -
koridor sekolah dengan lantai berwarna putih bersih, ada beberapa pilar kayu
yang di cat warna biru muda di samping – sampingnya. Sebelumnya Ewin juga
diberi penjelasan atas apa yang sedang terjadi dan apa yang akan dilakukan.
Ewin pun dengan antusias menerima rencana ini. Mereka bertujuh pun bergegas
menuju mesjid. Sesampainya di mesjid mereka langsung pergi ke tempat wudhu laki
– laki untuk berwudhu, setelahnya mereka langsung solat dhuha masing – masing.
Mesjid terlihat sangat bersih dan rapi, dengan karpet hijau yang membentang
berbaris – baris dan juga pilar – pilar kayu besar yang berwarna coklat. Iyan
selesai paling pertama, diikutin Banyu dan Ridhan. Setelah selesai solat dhuha
mereka bertiga berdoa dan langsung tidur – tiduran di mesjid. Tidak lama Toro,
Ewin, Akbar, dan Adit selesai dan langsung berdoa. Adit kali ini berdoa paling
lama. Benar saja dia menumpahkan semua isi hatinya ketika sedang berdoa
sehingga membuatnya lama dalam berdoa. Setelah berdoa dia pun langsung membaca
kitab suci Al-Qur’an. Baru pertama kali
teman – temannya melihat Adit seperti ini.
“Terus kita ngapain nih Tor?” Tanya Ridhan
“Bebas, mau bersihin tempat wudhu boleh, rapihin tempat
sepatu boleh, ngaji kayak si Adit juga boleh.” Jawab Toro.
“Gue bersihin tempat wudhu deh, biar bisa maen air.” Kata
Ridhan.
“Gue ikut Dhan.” Kata Iyan.
“Gue juga.” Kata Akbar.
“Yaudah kita beresin yang didalem Nyu.” Ajak Ewin.
“Siap.” Jawab Banyu.
“Biar si Adit aja yang beresin Qur’an.” Kata Toro.
Mereka pun berbagi tugas. Ridhan, Iyan, dan Akbar
membersihkan tempat wudhu. Sesekali mereka pun sempat bermain air, saling
semprot air dari pancuran kran. Banyu, Ewin, dan Toro merapihkan karpet didalam
mesjid. Adit merapihkan rak tempat Al-Qur’an setelah selesai mengaji. Kegiatan
ini tidak berlangsung lama karena dilakukan bersama – sama. Setelah selesai
dengan tugasnya, Ridhan, Akbar dan Iyan pun langsung duduk – duduk santai
didalam mesjid dan ternyata Ewin, Banyu dan Toro pun sudah selesai dengan
tugasnya. Tidak lama Adit menyusul mereka duduk – duduk santai.
“Sampe pulang nih kita disini atau gimana?” Tanya Ridhan.
“Jangan, nanti jam pelajaran terakhir kita balik ke kelas.”
Jawab Toro.
“Dispennya cuma segitu soalnya.” Lanjut Toro.
“Masih lama, ngapain dong kita?” Tanya Iyan.
“Kita maen jujur - jujuran aja.” Ajak Ewin.
“Boleh deh.” Ridhan menerima ajakan.
“Mulai dari siapa?” Tanya Iyan.
“Karena lu yang nanya duluan, jadi mulai dari lu Yan.” Kata
Ridhan sambil tertawa.
“Sial, boleh deh, ayo kalian silahkan bertanya.” Iyan
menantang.
“Lu naksir siapa di kelas baru?” Tanya Banyu.
“Gue.. gue naksir Dewi bro.” Jawab Iyan gugup.
Teman – temannya pun langsung tertawa terbahak – bahak
setelah mendengarnya, kecuali Ridhan, dia hanya tertawa seadanya.
“Yah malah pada ketawa, gue suka sejak pertama kali ngeliat
dia.” Kata Iyan.
“Ga jadi milik bersama dong si Dewi.” Kata Adit sambil
tertawa.
“Kita harus jaga jarak berarti.” Lanjut Akbar sambil tetawa.
“Udah udah! Sekarang giliran siapa?” Tanya Iyan.
“Puter arah jarum jam, berarti si Ridhan.” Kata Banyu.
“Aturan dari mana itu?” Tanya Ridhan.
“Dari dulu aturannya juga gitu kali.” Jawab Banyu.
“Yaudah, pertanyaannya sama, Jawab Dhan.” Ewin menantang.
“Gue juga suka sama Dewi bro.” Jawab Ridhan lemas.
“Wah masalah.” Kata Toro.
“Ini harus dibincangkan.” Kata Akbar.
“Haduh! Kalian duduk semeja kecengannya sama.” Kata Banyu.
“Gue udah tau kok Dhan, gue ngalah ga apa apa.” Kata Iyan.
“Jangan Yan, biar gue nyari yang lain aja, gue ga terlalu
naksir kok sama dia.” Kata Ridhan.
“Beneran ini? Jangan nyesel Dhan.” Kata Iyan.
“Iya Yan beneran lu terusin aja, gue bakan dukung lu abis –
abisan.” Jawab Ridhan.
“Lu kejar Sintia aja Dhan.” Akbar memberikan saran.
“Kok dia?” Tanya Ridhan.
“Percaya sama gue, dia berharap sama lu.” Jawab Akbar.
“Waktu hari pertama gue pernah nyuruh lu ngembat dia kan,
gue liat gelagat yang beda dari dia terhadap lu, kayak si Sigi aja gimana.”
Lanjut Akbar.
“Oh iya ya? Beneran gitu emang?” Tanya Ridhan.
“Gue juga ngeliatnya gitu sih Dhan.” Kata Ewin.
“Perasaan mah bakal dateng dengan sendirinya Dhan, kasian
kalau cewek berharap ga direspon gitu.” Banyu memberi saran.
“Eh iya, Sigi kemana Dhan? Lu deket sama dia kan sebelum
kelas diacak.” Kata Banyu.
“Gatau, gue udah ga deket sama dia semenjak liburan.” Jawab
Ridhan singkat.
“Yaudah deh Monyong, lu deketin aja Sintia yang lebih pasti
daripada berebut sama si Iyan.” Adit memberikan saran.
“Maaf nih, saya tidak menerima saran dari anda yang tidak
berpengalaman.” Jawab Ridhan.
“Maksudnya apa nih? Liat aja gue pasti menemukan cewek yang
mau menerima gue.” Adit membela diri.
“Kalau si Banyu emang berpengalaman dia?” Tanya Adit.
“Maaf nih, gue lagi deket sama anak ekskul padus.” Jawab
Banyu.
“Sialan. Banyak ceweknya ga disitu?” Tanya Adit.
“Banyak banget.” Jawab Banyu bangga.
“Mulai minggu depan gue ikutan ekskul padus Nyu. Daftarin
gue.” Pinta Adit.
“Siap.” Jawab Banyu.
“Emang lu lagi deket sama siapa Nyu?” Tanya Ewin.
“Ada lah pokonya, gue sebut nama juga lu ga bakal kenal.”
Jawab Banyu.
“Keren juga sahabat gue yang satu ini.” Puji Ewin.
“Masa lu kalah sama duet lu gendut.” Kata Akbar.
“Iya iya! Mulai minggu depan.” Adit membela diri.
Adit merasa tertantang karena sudah di olok – olok oleh
sahabat – sahabatnya. Semuanya akan dia mulai minggu depan ketika latihan
paduan suara. Para sahabat memang mengolok – olok akan tetapi selalu mendukung
pada akhirnya. Mereka meneruskan pembicaraan dengan berbagai macam topik.
Setiap anggota mendapatkan bagian untuk di olok – olok. Dari mulai kejadian
gagalnya Iyan untuk bolos jam pelajaran sampai Toro yang belum juga menemukan
sosok pengganti Shifa. Toro belum mau jujur tentang keadaan yang satu ini.
Sebenarnya dia sudah menemukan sosok pengganti Shifa, yaitu gadis berkerudung
dan berkaca mata yang duduk di sebrang kelas. Dia menyebutnya kerudung di
seberang kelas. Sama halnya seperti Ewin yang menamai kisah percintaannya
dengan Nisa dengan sebutan kisah manis. Para sahabatnya selalu memplesetkan kisah
manis menjadi kisah Mantan Nisa, atau kalau tidak kisah Manajer Nisa karena
Ewin selalu setia mewujudkan semua kemauan Nisa. Beda halnya dengan Adit, dia
masih menyandang predikat suci dari lahir, karena dia belum juga menemukan
tambatan hati semenjak dia lahir ke dunia. Tidak terasa waktu berjalan cepat
ketika mereka sedang berkumpul. Bel pergantian jam pelajaran pun akhirnya berbunyi,
ini artinya mereka harus kembali ke kelas. Pelajaran selanjutnya adalah
kesenian. Mereka bertujuh pun bergegas kembali ke kelas dan berjalan agak cepat
agar bisa mendahului guru yang bersangkutan. Akhirnya mereka pun sanpai di
kelas, untungnya guru yang bersangkutan belum masuk ke kelas.
“Dari mana aja kalian? Gue capek jadi ketua kelas tadi” Kata
Dayat.
“Abis bersihin mesjid Yat.” Jawab Ewin.
“Nanti mah lu laporan dulu ke gue lah.” Dayat kesal.
“Lah kan lu ketua kelasnya Yat, lu harusnya tanggung jawab
penuh.” Jawab Ewin terpancing.
Mereka berdua pun berdebat di depan kelas cukup lama.
Ridhan, Akbar, Iyan, Adit, Banyu, dan Toro meninggalkan Ewin yang berdebat
dengan Dayat dan langsung pergi menuju bangkunya masing – masing. Di tengah
perjalanannya menuju bangku tempat duduk, perhatian Ridhan tercuri.
“Kok ga masuk pelajaran kewarganegaraan Dhan?” Tanya Sintia.
“Eh? Aku dispen bersihin mesjid tadi Ti.” Jawab Ridhan.
“Tadi materinya banyak banget Dhan.” Sintia memberi tau.
“Oh gitu ya? Yaudah deh gak apa apa.” Jawab Ridhan sambil
cengengesan.
Ridhan pun langsung beranjak menuju tempat duduknya,
meninggalkan Sintia. Sintia sesaat memandangi punggung Ridhan yang pergi
melangkah menuju bangkunya lalu memalingkan pandangannya setelah menyadari
bahwa perbincangannya dengan Ridhan diperhatikan oleh Adit, Banyu, dan Iyan.
“Ngomong apa lu tadi berdua?” Tanya Banyu.
“Ga banyak, dia cuma ngasih tau kalau materi kewarganegaraan
banyak tadi.” Jawab Ridhan.
“Terus lu jawab apa?” Tanya Iyan.
“Oh gitu yaudah deh.” Jawab Ridhan.
“Bego! Harusnya lu minta catetan dia, dia kan rajin nyatet.”
Adit menyentak.
“Hey! Gue ga nerima kritik dari yang ga berpengalaman.”
Jawab Ridhan.
“Tapi ada benernya juga tuh kata si gendut.” Kata Banyu.
“Wei! Kok lu ngatain gue gendut, lu juga kan gendut.” Adit
menyentak.
“Yaudah lah sama – sama gendut.” Iyan menengahi.
“Yaudah deh, nanti kalo dia nanya lagi gue pinta catetanya.”
Kata Ridhan.
Perbincangan pun terhenti, karena guru kesenian sudah
memasuki kelas. Ewin dan Dayat pun berhenti berdebat setelah melihat guru
kesenian yang memasuki kelas dan mereka pun kembali ke bangkunya masing -
masing. Ada yang beda dengan pelajaran kesenian kali ini. Guru yang datang
ternyata berbeda, dan ternyata beliau adalah guru magang. Guru ini perempuan,
masih muda dan cantik. Beliau menggantikan guru kesenian yang sebenarnya untuk
sementara waktu. Namun pelajaran yang diberikan sama saja, tidak dapat
dimengerti oleh Ridhan. Materi kali ini tentang gambar tiga dimensi. Karena
merasa bosan akhirnya Ridhan pun tertidur. Melihat teman sebangkunya tertidur,
Iyan pun langsung menasang headset untuk mendengarkan lagu dari telepon
genggamnya. Banyu terlihat sangat menikmati materi ini, dia memang senang
mengambar. Adit yang penasaran minta diajari oleh Banyu. Ewin mati gaya dalam
materi ini, dia tidak terlalu tertarik dengan kegiatan menggambar, kali ini Ewin
yang menganggap dirinya sedang belajar ilmu gaib. Dikejauhan terlihat Akbar
sedang menahan kantuknya. Toro yang merasa tidak bisa, tetap memperhatikan
pelajaran dan mencoba untuk belajar. Akhirnya jam pelajaran pun berakhir,
Ridhan yang tertidur dibangunkan oleh Iyan, lalu Iyan melepaskan headset yang
dia pakai. Guru magang tersebut memberikan sebuah tugas, tugas kelompok.
Kelompok pun dibagi sesuai barisan. Tugas yang diberikan adalah siswa harus
menampilkan foto bertema alam. Harus ada anggota tiap kelompok dalam foto
tersebut. Setiap kelompok harus menampilkan sepuluh foto. Ini adalah tugas
fotografi. Sebelum pulang sekolah tiap kelompok berkumpul untuk membicarakan rencana
dalam palaksanaan tugas ini. Kelompok satu yang berisikan Ridhan, Iyan, Adit,
Banyu, Dewi, Ifa, Sintia, Dita, Okta, dan Laras merencanakan akan berburu foto
di sekitar Taman Lalu Lintas, karena disana ada banyak pohon – pohon yang
rindang.
“Jadinya di tamlu aja nih?” Tanya Iyan.
“Iya, disana suasananya asik loh.” Jawab Dewi.
“Ada kereta juga ya di dalemnya.” Canda Iyan sambil tertawa.
“Kereta kayak gimana?” Tanya Ridhan yang belum pernah
memasuki Taman Lalu Lintas.
“Ya kereta gitu lah Dhan ada relnya.” Jawab Banyu.
“Iya gue juga tau pasti ada relnya.” Kata Ridhan datar.
“Bagus deh Dhan, selain itu ada tempat mainnya juga kayak
ayunan sama trampolin.” Sintia menjelaskan.
“Bahaya itu kalo si Adit yang make trampolin bisa rusak.”
Jawab Ridhan sambil tertawa.
“Lebih bahaya lagi kalo si Iyan yang make, kalo dia lompat
make trampolin ga akan balik lagi ke darat.” Adit membela diri.
“Ngajak ribut si gendut.” Iyan kesal.
“Udah udah, jadinya Sabtu ini ya kita berangkat.” Ifa
menengahi.
“Sekarang Kamis, besok Jum’at libur, kita ke pameran buku
yuk.” Ajak Dewi.
“Kita pemanasan, supaya nanti pas ngerjain tugas kita dapet
feel.” Lanjut Dewi.
“Boleh tuh.” Jawab Iyan bersemangat.
“Dimana emang itu?” Tanya Ridha.
“Di gedung Landmark, jalan Braga Dhan.” Jawab Sintia.
“Nanti kita ngajak Ewin, Toro, sama Akbar boleh ya.” Iyan
meminta.
“Ajak aja biar ngeramein.” Jawab Laras.
“Nanti gue kasih tau mereka deh.” Kata Iyan.
“Yaudah, apakah ada lagi yang akan dibicarakan? Soalnya gue
harus segera ke toko.” Tanya Adit.
“Gue rasa cukup, gimana yang lain?” Kata Dewi.
“Cukup.” Jawab Iyan sangat bersemangat.
“Bangunin gue dong besok, gue suka kesiangan kalo libur.”
Pinta Ridhan.
“Minta bangunin aja sama nyokap lu Dhan.” Iyan ngeledek
sambil tertawa.
“Tau deh yang lagi sangat on fire mah beda.” Jawab Ridhan.
“Eh pada pulang kearah mana?” Tanya Adit.
“Kenapa? Mau nganterin?” Canda Dita.
“Ngga sih, cuma nanya doang.” Jawab Adit sambil tertawa.
“Aku mah rumahnya di Lengkong Besar Dit, Ifa sama Okta di
deket Pasar Kordon, Sintia sama Dita di Bale Endah, Laras di Ciparay.” Jawab
Dewi.
“Wah pada jauh, geng touring dong kalian.” Canda Adit.
“Udah pada beres belom? Cabut yuk ke si Lampung, asem nih.”
Akbar datang menghampiri bersama Ewin dan Toro.
Rapat pun akhirnya selesai dan mereka pun berpisah. Ridhan,
Banyu, Adit, Toro, Ewin, Akbar dan Iyan langsung beranjak ke tempat parkir
motor. Sedangkan para wanita langsung keluar sekolah dan mencari angkutan umum
untuk pulang. Adit pulang duluan karena harus membantu ibunya di toko. Banyu
pun juga pulang duluan karena dia ada janji dengan kakaknya. Tersisa Ridhan,
Iyan, Toro, Akbar dan Ewin, mereka berencana berkumpul di kosan Ewin. Mereka
selalu menyebut kosan Ewin sebagai Saung Lampung, karena Ewin berasal dari
Lampung. Motor yang tersisa tinggal dua yaitu motor Ridhan dan Toro. Ridhan
membonceng Ewin, Toro membonceng Iyan dan Akbar. Badan Iyan dan Akbar yang
kecil merupakan alasan kenapa mereka berbocengan bertiga, dan juga jarak kosan
Ewin yang sekarang sangat dekat dengan sekolah, hanya beberapa meter. Ewin
sudah pindah kosan dari kosannya yang lama di daerah Laswi. Kosan Ewin selalu
dijadikan tempat berkumpul, karena jaraknya yang dekat dengan sekolah dan
keadaannya yang sangat bebas. Mereka kadang bermain kartu, menonton dvd,
bermain playstation, merokok dan berbagai macam hal lainnya. Ridhan, Akbar,
Iyan, Ewin, dan Banyu sudah merokok sejak SMA, akan tetapi mereka tidak pernah
merokok di sekolah seperti halnya murid – murid perokok lainnya. Ridhan dan
Ewin pernah mencobanya sekali akan tetapi mereka merasa tidak nyaman merokok di sekolah, jadi setelahnya mereka
tidak pernah mencoba merokok di sekolah lagi. Setelah sampai, mereka langsung
memarkirkan motor di parkiran kosan Ewin. Ridhan langsung beranjak mencari
warung bersama Akbar dan Iyan untuk mencari cemilan dan beberapa batang rokok,
tidak lupa mereka menawarkan kepada Ewin dan Toro barangkali ada yang ingin
dititipkan. Toro menitipkan cemilan dan Ewin menitipkan beberapa batang rokok
kretek tanpa filter. Rokok kretek lokal tanpa filter merupakan rokok favorit
Ewin. Iyan dan Akbar selalu membeli rokok berfilter keluaran Amerika sama
seperti Banyu. Sedangkan Ridhan suka rokok kretek lokal berfilter. Toro dan Adiy hanya
bisa pasrah kalau sahabat – sahabatnya sudah merokok didepan mereka. Seperti biasa mereka berkumpul di kosan Ewin sampai larut malam. Ketika
pulang, Iyan diantar oleh Ridhan sampai jalan Gatot Subroto, sedangkan Akbar diantar
Toro untuk mencari angkutan umum yang menuju ke arah Riung Bandung, atau terkadang dia
minta diantar ke Kosambi, ke rumah saudaranya. Tepat jam sepuluh malam akhirnya
mereka berpisah dan selalu begitu setiap mereka berkumpul, kecuali di akhir
pekan setelah pagi mereka baru pulang ke rumah masing – masing.
Sentuhan Pertama
Hari Jum’at sekitar jam enam pagi Iyan sudah selesai mandi,
tidak biasanya dia bangun pagi di hari libur. Hari Jum’at kali ini sekolah
diliburkan karena tanggal merah di kalender. Setelah selesai mandi dia langsung
bergegas ke kamarnya dan memilih pakaian yang pas. Hari ini ada janji bertemu
dengan sahabat – sahabatnya disebuah pameran buku yang bertempat di gedung
Landmark, jalan Braga. Pertemuan kali ini berbeda dengan pertemuan – pertemuan
sebelumnya. Kali ini tidak hanya ada Ridhan, Ewin, Toro, Akbar, Adit dan Banyu
saja melainkan ada Dewi dan teman – teman perempuan lainnya. Iyan tidak akan
terlalu menghiraukan kehadiran teman – teman perempuan yang lainya, fokus
perhatiannya hanya tertuju kepada Dewi. Seorang perempuan berusia sekitar tujuh
belas tahun, berkulit putih bersih, memiliki rambut sebahu dan berwajah cantik
apa lagi kalau dia sudah tersenyum dan tertawa dia terlihat sangat sexy.
Badannya kecil mungil hampir sama dengan Iyan tingginya. Perempuan inilah yang
berhasil mencuri hati Iyan setelah dua tahun terakhir. Setelah jalinan
asmaranya kandas sekitar dua tahun yang lalu, akhirnya dia menemukan pengganti
yang sepadan, malah ini dinilai lebih baik. Terakhir kali dia menemukan seorang
tambatan hati yaitu sekitar kelas tiga SMP, dan itu pun harus kandas setelah
kelulusan karena mereka berbeda sekolah setelahnya. Hari ini Iyan memilih kaos
hitam yang bergambarkan band grunge ternama era sembilan puluhan yang berasal
dari Washington, Amerika yaitu Nirvana. Untuk celana dia memilih skinny jeans
warna biru gelap dan memilih sepatu kads warna hitam dengan tali putih untuk
alas kakinya. Setelah dirasa pas, dia langsung menata rambutnya tampa sisir.
Model rambut poni lempar dengan belahan disebelah kanan adalah andalannya.
Setelah selesai dengan urusan rambut, dia langsung berpamitan kepada kedua
orang tuanya dan tidak lupa meminta uang saku, lalu berangkatlah dia ke tempat
berkumpul di Saung Lampung. Untuk mencapai Saung Lampung yang letaknya sangat
dekat dengan sekolah Iyan hanya butuh sekali naik angkutan umum dari rumah
barunya disekitar Gatot Subroto. Tidak butuh lama untuk mencapai Saung Lampung,
ditambah lagi lalu lintas yang sangat lancar di pagi hari karena masih sepi.
Sekitar jam setengah tujuh pagi dia sudah sampai di Saung Lampung, setelah
sampai dia langsung mencari kamar Ewin yang ternyata waktu itu masih dikunci
dan masih terlihat gelap karena lampu kamarnya masih dimatikan. Melihat situasi
kamar Ewin yang seperti itu, Iyan pun berinisiatif untuk membangunkan Ewin yang
belum bangun. Iyan menggedor – gedor pintu kamar Ewin agar Ewin terbangun.
Tidak lama Ewin pun terbangun dengan keadaan yang mengkhawatirkan dan emosi
yang menaik.
“Sialan lu ganggu mimpi indah gue aja!” Bentak Ewin setelah
membuka pintu.
“Pemalas lu, cepet bangun terus mandi, kita ada janji.”
Balas Iyan.
“Janjinya aja jam sembilan, sekarang jam berapa coba.” Ewin
Kesal lalu melompat ke kasurnya kembali.
“Yaelah dia malah tidur lagi.” Iyan kesal.
“Halo semua, selamat pagi.” Akbar baru saja datang dan
menyapa sambil menikmati sebatang rokok.
“Sendiri Bar?” Tanya Iyan.
“Iya, eh lu tumben dateng lebih pagi dari gue?” Kata Akbar.
“Biasanya kan kalo maen di hari libur gue selalu paling
pagi.” Lanjut Akbar.
“Gue lagi sangat bersemangat sekali hari ini bro.” Jawab
Iyan bersemangat.
“Yah bagi – bagi dong semangatnya.” Kata Akbar.
“Yang lain gimana? Coba tolong dijarkom.” Pinta Akbar.
“Iya deh gue jarkom deh.” Jawab Iyan.
Iyan pun langsung mengirim sebuah pesan singkat kepada
sahabat – sahabatnya. Isi pesanya sama yaitu menanyakan keberadaan dan
mengingatkan bahwa hari ini ada janji ke pameran buku.
“Gue langsung ke lokasi nanti.” Banyu langsung menjawab.
“Sabar, gue mau berangkat sekarang lagi manasin motor,
ketemu di lokasi aja.” Adit membalas setelah lima belas menit.
“Ini sedang menuju Saung Lampung, 5 menit sampe.” Toro
membalas setelah setengah jam.
“Iya bentar gue mandi dulu, baru bangun nih.” Ridhan
membalas setelah dua jam.
Sekitar jam setengah sembilan pagi Ridhan baru membalas
pesan singkat dari Iyan yang dikirim sekitar jam setengah tujuh pagi. Ridhan
baru bangun, semalam dia baru bisa tidur jam dua. Setelah membalas pesan
singkat dari Iyan dia tidak langsung mandi tapi dia terdiam sejenak diatas
kasur, menunggu nyawanya yang masih berterbangan kembali ke raganya. Sekitar
delapan menit Ridhan terdiam, dia baru beranjak ke kamar mandi untuk
mandi. Namun persiapan dari mandi sampai siap berangkat tidak memakan banyak
waktu, hanya dalam sekejap dia sudah siap berangkat menunggangi skuternya
menuju Saung Lampung sehingga sekitar jam sembilan kurang sepuluh menit dia
sudah sampai di Saung Lampung. Walaupun sudah bergegas berangkat dengan
kecepatan maksimal ternyata Ridhan masih terlambat. Ridhan langsung disambut
Toro ketika datang dan langsung membantunya memarkirkan motor. Terlihat wajah
Iyan kesal menunggu lama, dia sudah menghabiskan enam batang rokok selama
menunggu. Akbar pun sudah menghabiskan cukup banyak rokok namun tampangnya
tetap santai. Ewin baru dandan ketika Ridhan datang, tercium semerbak aroma
parfum Ewin yang sangat berlebihan dalam pemakaiannya. Rencananya mereka
berlima hari ini akan berjalan kaki menuju lokasi. Lokasi pameran buku yang
berada di jalan Braga tidak terlalu jauh dari Saung Lampung. Jika menggunakan
sepedah motor pribadi, membutuhkan waktu lima menit untuk mencapainya, jika
berjalan kaki membutuhkan waktu sekitar lima belas menit untuk mencapainya.
Berangkat lah mereka berjalan kaki bersama, sekitar jam sembilan lebih sepuluh
menit akhirnya mereka pun sampai di lokasi. Terlihat Adit dan Banyu sudah
sampai duluan, mereka duduk menunggu di tangga kecil di depan pintu masuk,
Dewi dan teman – temannya belum terlihat. Banyu sudah ada di lokasi dari jam
setengah sembilan sedangkan Adit datang lima menit kemudian.
“Tuh kan santai aja padahal, belom pada dateng.” Keluh
Ridhan.
“Berlebihan nih si Iyan.” Tambah Ewin.
“Ga enak sama Adit dan Banyu udah nunggu lama.” Iyan membela
diri.
“Gue sama si Adit udah disini dari jam setengah sembilan.” Curhat
Banyu.
“Kita kepagian ternyata.” Tambah Adit sambil tertawa.
“Kok pada ga bawa motor?” Tanya Banyu.
“Biar ga usah bayar parkir.” Jawab Akbar santai.
“Tau gitu gue parkir di Saung juga deh.” Kata Adit.
“Coba deh lu sms si Dewi Yan.” Pinta Ridhan.
“Gue ga punya nomernya.” Jawab Iyan.
“Ga ada yang punya sama sekali?” Tanya Ewin.
Semuanya menggelengkan kepala. Mau tidak mau mereka bertujuh
pun akhirnya menunggu di tangga kecil di depan pintu masuk pameran. Cukup lama
mereka menunggu, sampai akhirnya Ridhan merasa bosan. Akhirnya dia memutuskan
untuk membeli satu cup kopi panas di mini market yang berada di sebrang jalan.
Dia mengajak Akbar untuk membeli kopi tersebut karena dia selalu merasa
kesulitan untuk menyebrang jalan. Mereka berdua langsung berdiri dan berjalan
mendekati jalan raya untuk bersiap – siap menyebrang dan membawa pesan titipan
teman - temannya. Ketika mereka berdua hendak menyebrang tiba – tiba datang
sebuah taksi berwarna biru muda berlambangkan burung berhenti di depan mereka.
Dari pintu depan keluar sesosok perempuan yang tak lain dan tak bukan adalah
Dewi. Lalu diikuti dengan terbukanya pintu belakang dan keluar lah Sintia,
Laras, Okta, Dita dan Ifa. Ketika Dewi keluar dari taksi sontak Iyan pun
langsung berdiri dan memandanginya dari kejauhan.
“Hai Dhan, hai Bar. Maaf nih telat, taksinya lama soalnya.”
Dewi menyapa.
“Kalian berenam naik satu taksi? Wow kayak akrobat aja.”
Akbar terkejut.
“Iya, tadi Laras dipangku sama Okta.” Jawab Dewi sambil
tertawa.
“Kita berdua mau ke mini market, ada yang mau nitip ga?”
Ridhan menawarkan.
“Dhan aku nitip roti.” Jawab Sintia.
“Ada lagi? Belom sarapan ya kamu Ti?” Tanya Ridhan.
“Iya Dhan.” Jawab Sintia malu – malu.
“Kayaknya ga ada yang nitip lagi deh Dhan.” Jawab Ifa.
Mereka pun berpisah, Akbar dan Ridhan menyebrang menuju mini
market sedangkan Dewi dan teman – temannya datang menghampiri Iyan, Toro,
Banyu, Adit dan Ewin.
“Hai.. maaf nih telat.” Dewi menyapa sambil tersenyum
“Gak apa apa kok Wi, ga terlalu lama juga kok.” Jawab Iyan
sambil membalas senyuman Dewi.
“Setengah jam loh.” Jawab Ewin ketus.
“Maafin Win, tadi kita nunggu taksinya lama.” Dewi merasa
bersalah.
“Kita sebenernya udah siap dari jam setengah sembilan loh.”
Lanjut Dewi menjelaskan.
“Yaudah, sekarang rencananya gimana nih?” Tanya Banyu.
“Kita nungguin si Akbar sama si Ridhan dulu lah, baru
masuk.” Saran Toro.
“Iya tadi aku nitip roti juga sama Ridhan.” Kata Sintia.
“Wi kamu bawa kamera?” Tanya Iyan dengan ramah.
“Laras sama Ifa yang bawa Yan.” Jawab Dewi ramah.
“Nih dia barang – barang titipan kalian.” Kata Akbar yang
baru datang bersama Ridhan.
“Akhirnya gue makan.” Adit bersyukur.
“Kopi item pait untuk Ewin tiga ribu, teh manis anget buat
Toro dua ribu, roti keju coklat sama coklat panas buat Banyu sepuluh ribu, roti
isi daging sama susu anget buat Adit sepuluh ribu, permen mint buat Iyan seribu
lima ratus.” Ridhan membagikan belanjaan sambil menagih uang.
“Mantap.” Ewin memuji kopinya.
“Sama ini roti isi strawberi untuk Tia. Aku gatau kamu suka
rasa apa jadi aku beliin ini deh.” Lanjut Ridhan.
“Berapa Dhan?” Tanya Sintia.
“Ga usah Ti, gak apa – apa.” Jawab Ridhan sambil tersenyum.
“Woi! Kenapa dia ga bayar?” Adit protes.
“Soalnya dia cewek. Udah jangan protes.” Ridhan menjelaskan.
“Yaudah sih biar si Tia seneng dut.” Kata Akbar santai.
“Makasih yah Dhan.” Kata Sintia sambil tersenyum.
“Sama – sama.” Jawab Ridhan.
Mereka pun akhirnya menikmati sarapannya masing – masing
sambil berbincang ngalor – ngidul. Membicarakan tentang rencana Adit yang ingin
sekali melepas status suci dari lahir miliknya sampai masalah Toro yang masih
belum mau berterus – terang. Sesekali Iyan melepaskan beberapa jurus untuk
memikat Dewi, namun Dewi tidak mengerti sama sekali maksud dari Iyan. Ewin juga
bercerita tentang hubungannya dengan Nisa yang semakin romantis. Dia memuji
Nisa dan menyebutnya sebagai sosok perempuan impiannya. Akbar sempat memancing
Banyu untuk menceritakan tentang kedekatannya dengan salah seorang penyanyi
perempuan di ekskul paduan suara. Akhirnya Banyu menceritakan kedekatanya
dengan perempuan tersebut, namun dia masih tidak memberi tau siapa namanya
karena dia berpikir teman – temannya pasti tidak akan mengetahui orangnya yang
mana. Iyan sempat menanyakan latar belakang Dewi, dan Dewi pun menceritakan
tentang kisah hidupnya di masa lalu. Dewi sempat tinggal agak lama di luar negri, tepatnya di Belgia. Inilah
yang menyebabkan dia sangat lancar berbahasa Inggris. Terkadang dia suka
bercanda menggunakan bahasa Inggris dengan Banyu. Banyu memiliki kemampuan
berbahasa Inggris yang paling baik diantara sahabat – sahabatnya. Kalau Banyu
dan Dewi sudah bercanda menggunakan bahasa Inggris kadang suka disalah –
artikan oleh Adit, Ridhan, dan Iyan dan disambung – sambungkan dengan bahasa
Sunda oleh mereka bertiga. Karena hanya bahasa – bahasa non formal yang mereka
bertiga mengerti, seperti istilah – istilah kasar dan kurang baik. Dewi juga
memiliki saudara bule, sehingga kadang kalau sedang di rumah dia berbincang menggunakan bahasa Inggris. Kemampuan ini dia maksimalkan dengan mengikuti
klub bahasa Inggris di sekolah. Tidak terasa sarapan yang mereka nikmati pun
akhirnya habis. Mereka langsung bergegas untuk masuk ke pameran yang tidak
dikenakan biaya untuk masuknya. Mereka langsung berpencar berkeliling, melihat
– lihat buku, mencari – cari buku yang menarik. Adit langsung ke bagian
otomotif, karena dia sangat tertarik dengan bidang ini. Toro dan Ewin mencari
buku – buku bernuansa islami. Banyu bersama Dewi dan teman – temannya menuju
bagian fashion. Ridhan, Iyan, dan Akbar kebingungan harus memulai dari mana. Iyan
memberi saran untuk mencari bagian olah raga, mereka bertiga pun langsung
mencarinya, setelah ketemu mereka langsung melihat apakah ada yang menarik.
Tidak lama mereka pun merasa bosan, mereka langsung mencari Adit di bagian
otomotif. Ternyata dia sedang membaca sebuah majalah.
“Baca apa lu Dit?” Tanya Ridhan.
“Ini nih modifikasi motor.” Jawab Adit.
“Biar apa emang dimodif?” Tanya Akbar.
“Biar mantep.” Jawab Adit.
“Emang yang mantep gimana?” Tanya Iyan.
“Yang bisa ngebut lah.” Jawab Adit mulai kesal.
“Ga takut ditilang polisi?” Tanya Ridhan.
“Kalian ganggu aja sih! Sonoh ah!” Adit mengusir.
“Yaelah.” Ridhan, Iyan, dan Akbar mengeluh.
Mereka bertiga pun meninggalkan Adit sendirian. Mereka
bertiga pun akhirnya berjalan berkeliling lagi, kali ini mereka melihat Ewin
dan Toro dibagian buku islami. Mereka merasa tidak kuat untuk menghampiri
sehingga mereka menghindar. Mereka pun berjalan berkeliling lagi, kali ini
melihat Banyu, Dewi dan kawan – kawan di bagian fashion. Mereka merasa tidak akan mengerti dengan fashion dan takut
akan diusir lagi seperti apa yang dilakukan Adit terhadap mereka. Akhirnya
mereka memutuskan untuk keluar dari pameran buku dan menunggu di tangga kecil
di depan pintu masuk sambil menikmati sebatang rokok. Teman – temannya akhirnya
keluar dari pameran setelah satu batang rokok selesai mereka nikmati.
“Kok pada disini?” Tanya Toro.
“Bosen Tor didalem.” Jawab Ridhan.
“Kita karokean yuk biar ga bosen.” Ajak Dewi.
“Dimana?” Tanya Banyu.
“Disini Mall Braga aja biar deket.” Jawab Dewi.
“Boleh tuh.” Jawab Iyan bersemangat.
“Suara gue ancur.” Keluh Ridhan.
“Cuek aja yang penting seneng – seneng.” Sintia menghibur.
“Gue sama Toro ga bisa ikut, udah deket Jum’atan soalnya.”
Kata Ewin.
“Jam berapa sekarang?” Tanya Adit.
“Setengah sebelas.” Jawab Toro.
“Gue harus balik ini mah.” Kata Adit.
“Gue juga harus ketemu kakak gue.” Kata Banyu.
“Yaudah kita bertiga aja deh.” Iyan mengajak Ridhan dan Akbar.
“Eh tapi kita foto -
foto bareng dulu yuk disini.” Ajak Dewi.
“Ide bagus tuh.” Jawab Iyan sangat bersemangat.
“Minta tolong fotoin sama tukang parkir aja.” Ifa memberi
saran.
Mereka pun berfoto ria di depan pintu masuk pameran di
gedung Landmark sebelum harus berpencar setelahnya. Selesai berfoto ria Adit,
Banyu, Toro dan Ewin langsung berpamitan. Adit membonceng Ewin, Banyu
membonceng Toro. Mereka mengantarkan Ewin dan Toro ke Saung Lampung sebelum
pulang ke tempat masing – masing. Ridhan, Akbar, dan Iyan sempat mengantarkan
mereka sebelum akhirnya mereka berangkat. Dewi bersama teman – temanya lalu
mengajak mereka betiga untuk berangkat menuju Mall Braga. Letaknya tidak jauh
dari tempat pameran buku, cukup sekali menyebrang jalan dan berjalan sedikit
mereka akhirnya sampai. Mereka jalan melewati jalan masuk menuju mall. Jalan
tersebut sebeasar jalan Braga yang hanya bisa dilewati oleh satu mobil.
Dipinggirnya terdapat sebuah jalan setapak kecil untuk pendatang yang tidak
membawa kendaraan, jalan setapak ini langsung mengarah kedalam mall. Jalan ini
juga bisa dilewati kendaraan karena terdapat jalan untuk kendaraan yang
langsung menghubungkan dengan tempat parkir. Ada dua jalan untuk masuk ke mall
ini, yang pertama lewat depan, jalan yang yang dilewati Ridhan dan teman –
temannya. Jalan ini bisa digunakan untuk pengunjung yang datang membawa
kendaraan dan tidak membawa kendaraan. Yang kedua lewat jalan belakang yang
langsung terhubung ke tempat parkir, jalan ini hanya dilewati pengunjung mall
yang membawa kendaraan dan penghuni apartemen yang berada didalam mall. Area
foodcourt langsung tersaji setelah melewati pintu masuk mall. Ada berbagai
macam café didalamnya. Ditengah – tengan foodcourt terdapat tangga berjalan
yang sangat panjang. Tangga ini menghubungkan lantai dasar dengan lantai yang
ada diatasnya. Lokasi karoke yang akan mereka datangi berada di lantai tiga
jadi mereka harus menaiki tangga berjalan tesebut. Dua kali menaiki tangga
berjalan mereka langsung berkeliling mencari tempat karoke yang dimaksud.
Setelah menemukannya mereka langsung masuk dan berbicara dengan penjaga meja
resepsionis. Dewi menanyakan apakah ada ruangan yang kosong dan ternyata semua
ruangan penuh terisi sampai jam lima sore. Iyan mulai cemas, dia berpikir
mungkin rencana karoke bersama ini akan gagal. Namun Sintia berpendapat lain
dan dia pun memberikan saran. Sintia menyarankan untuk mencari tempat karoke di
tempat lain. Karena waktu shalat Jum’at sudah dekat, Sintia juga menyarankan
agar Ridhan, Iyan, dan Akbar melaksanakan kewajiban mereka terlebih dahulu
sebari Sintia dan teman – temannya mencari tempat karoke di lain tempat dan
berjanji nanti akan mengabari lewat pesan singkat. Lalu Sintia meminta nomor
telepon genggam Ridhan agar nanti bisa dikabari. Ridhan pun memberikan nomernya
kepada Sintia. Kesempatan ini dimanfaatkan Iyan untuk meminta nomor telepon
genggam Dewi. Akbar mengajak Ridhan dan Iyan untuk shalat di Mesjid Agung kota
Bandung yang berada di alun – alun kota karena dia jarang shalat di mesjid
tersebut. Ridhan dan Iyan menyetujui ajakan Akbar. Letak mesjid tersebut tidak
terlalu jauh dari Mall Braga. Jika berjalan kaki membutuhkan waktu sekitar dua
belas menit untuk mencapainya. Ridhan, Iyan dan Akbar berpamitan dan memisahkan
diri untuk menjalani kewajibannya. Mereka berjalan kaki menyusuri trotoar –
trotoar kota Bandung di siang hari. Panas terik matahari tidak mematahkan
semangat mereka untuk bisa shalat Jum’at di Mesjid Agung. Setelah sampai mereka
langsung menitipkan alas kaki mereka masing – masing di tempat penitipan,
karena disini rawan pencurian alas kaki. Setelah menitipkan, mereka lalu
menuruni anak tangga untuk mencapai tempat wudhu yang berada di bawah tanah.
Mereka melakukan wudhu dengan baik dan benar berurutan mulai dari mulai
membasuh tangan sampai dengan kaki dan tidak lupa membaca niat dan do’a
setelahnya. Beres berwudhu mereka langsung mencari tangga naik yang langsung
menghubungkan dengan isi mesjid. Mesjid ini sangat besar dan tampilannya cukup
mewah, meskipun masih kalah dengan Mesjid Istiqlal yang berada di Jakarta. Mesjid
ini memiliki menara kembar yang tinggi menjulang dan bisa dinaiki oleh pengunjung
di hari dan jam tertentu. Ketika mereka memasuki mesjid hawa sejuk langsung
terasa, suasana nyaman pun tercipta. Mereka langsung mencari shaf yang kosong
untuk ditempati. Mereka menemuka shaf kosong yang bisa mereka tempati sejajar
berdekatan. Mereka bertiga langsung melaksanakan shalat sunnah dua raka’at
setelah mendapatkan shaf, lalu duduk sila menunggu adzan dikumandangkan. Adzan
dikumandangkan tidak lama setelah mereka selesai melaksanakan shalat sunnah.
Adzan dikumandangkan dengan indah dan merdu. Muadzin memanggil seluruh umat
untuk segera melaksanakan shalat Jum’at dengan nada – nada yang indah. Tidak
lama setelah adzan selesai, khotib naik ke mimbar untuk berceramah. Ridhan,
Iyan, dan Akbar tertidur selama khotib berceramah, karena mereka merasa
kelelahan setelah berjalan kaki kesana – kemari. Mereka pun akhirnya terbangun
setelah mendengar suara qomat tanda shalat akan segera dimulai. Shalat Jum’at
dua rakaat mereka lakukan dengan khusyuk secara berjama’ah. Shalat Jum’at kali
ini berjalan cukup lama, karena imam shalat membacakan surat – surat yang
panjang. Walaupun merasa sedikit pegal karena terlalu lama berdiri mereka
bertiga tetap berusaha konsentrasi saat melakukan shalat. Setelah selesai melakukan kewajiban
mereka pun langsung berdo’a dan melakukan shalat sunnah dua raka’at setelahnya.
Lalu Iyan langsung menghubingi Dewi untuk menanyakan kabar kelanjutan acara
karoke mereka lewat pesan singkat. Dewi pun langsung menjawab dan memberi
taukan kalau mereka mendapatkan tempat disekitar jalan Dago jam tiga sore.
Mereka bertiga langsung bergegas ke Saung Lampung untuk mengajak teman –
temannya. Mereka berjalan agak terburu – buru agak tidak terlambat karena waktu
sudah menunjukan jam setengah dua siang. Mereka berjalan kaki melewati trotoar
– trotoar kota Bandung, menembus panas terik matahari yang menyinari. Mencari
jalan pintas melewati gang – gang sempit. Mereka berhasil mencapai Saung
Lampung dengan waktu yang cukup singkat dan ternyata ada Toro dan Ewin disitu.
“Sabar Yan, lu semangat banget deh.” Keluh Ridhan yang
kelelahan.
“Minta minum Win.” Ridhan meminta minum kepada Ewin.
“Ambil aja tuh di dispenser.” Jawab Ewin.
“Pada mau kemana? Buru – buru amat.” Tanya Toro.
“Si Dewi ngajakin karokean.” Jawan Iyan.
“Bukannya tadi udah ya?” Tanya Ewin.
“Diundur jadi jam setengah tiga.” Jawab Akbar.
“Ayo Dhan cepetan! Udah jam dua kurang nih.” Iyan mengajak.
“Bentar, sebatang dulu kenapa.” Keluh Ridhan.
“Nanti aja dijalan sambil nyetir.” Kata Iyan.
“Pada mau ikut gak?” Tanya Akbar.
“Ga ada uang.” Jawab Toro.
“Sama gue juga.” Jawab Ewin.
“Gue pinjem motor lu ya Tor, ga mungkin boncengan bertiga
kalo ke Dago.” Pinta Iyan.
“Emang lu punya SIM?” Tanya Toro.
“Yang penting mah gue bisa makenya, tenang aja gak akan
ketilang.” Jawab Iyan.
“Kalo ketilang juga kan tinggal minta tolong ke Babeh lu
Tor.” Lanjut Iyan sambil tertawa.
“Yaudah nih kunci sama STNK, hati – hati ya.” Toro
memberikan kunci dan surat motor.
“Ganteng deh lu Tor.” Iyan memuji Toro.
“Yaudah kita berangkat ya.” Iyan berpamitan.
“Assalamualaikum.” Iyan, Ridhan, dan Akbar mengucapkan
salam.
“Walaikumsalam.” Jawab Ewin dan Toro.
Mereka bertiga pun bergegas menuju tempat parkir motor
dimana motor Ridhan dan motor Toro berada. Ridhan langsung menyalakan mesin
skuternya dan memakai helm, lalu dia mengeluarkan motornya dari tempat parkir.
Iyan pun juga menyalakan motor yang dia pinjam dari Toro dan memakai helm milik
Toro. Setelah Akbar naik di boncengannya, Iyan pun menyusul Ridhan.
“Tunggu, kenapa si Akbar gak pake helm?” Tanya Ridhan.
“Oh iya lupa! Pinjem sanah ke si Ewin Bar.” Kata Iyan.
“Iya, dia punya simpenan helm satu.” Kata Ridhan.
Akbar pun langsung turun dari boncengan Iyan. Dia berjalan
santai menaiki tangga untuk menggapai kamar Ewin. Setelah sampai kamar Ewin dia
langsung meminjam helm milik Ewin dan kembali ketempat Ridhan dan Iyan berada
dengan berjalan santai dan langsung duduk di boncengan Iyan. Mereka pun
akhirnya berangkat, Akbar tidak langsung memakai helm yang dia pinjam. Setelah
memasuki jalan besar Akbar baru memakainya. Iyan dan Akbar jalan duluan,
dibelakangnya Ridhan membuntuti. Perjalanan berjalan cepat, mereka memacu
sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Dalam waktu sekitar empat belas menit
mereka sudah memarkirkan kendaraan di parkiran tempat mereka akan bertemu
dengan Dewi dan teman – temannya. Beres memarkirkan motor mereka langsung
bergegas mencari tempat karoke yang berada di lantai paling atas. Tempat karoke
tersebut berada di dekat sebuah kaca yang besar dan menghadap ke jalan raya.
Terlihat jelas pemandangan jalan Dago yang dihiasi oleh pohon – pohon rindang
dari atas sini. Terdapat banyak meja kursi yang disediakan di dekat kaca
tersebut. Dewi dan teman – temannya menunggu di salah satu meja kursi tersebut.
Mereka memilih meja kursi yang letaknya paling dekat dengan kaca besar.
“Hei Wi, bentar lagi mulai ya?” Iyan menyapa dan bertanya.
“Mulai apa? Kita belum booking Yan.” Jawab Dewi.
“Kata kamu setengah tiga kan?” Iyan bertanya.
“Maksud aku itu ngumpulnya jam setengah tiga.” Dewi
menjelaskan sambil tertawa.
“Cuma bertiga aja? Yang lain ga diajak?” Tanya Laras.
“Pada gak bisa.” Jawab Akbar santai.
“Yaudah deh booking dulu aja.” Kata Ridhan.
“Ayo Dhan temenin kedalem.” Ajak Sintia.
Ridhan membalas dengan menganggukan kepala. Ridhan dan
Sintia memisahkan diri sementara untuk memesan tempat.
“Eh itu si Banyu kan ya?” Ifa bertanya sambil menunjuk
seseorang.
“Eh iya bener itu si gendut.” Jawab Iyan.
“GENDUT………!!!!!!” Akbar memanggil sambil berteriak dengan
lantang sampai bibirnya termonyong - monyong.
Hal konyol yang dilakukan Akbar membuat semuanya tertawa.
Pada percobaan pertama yang dilakukan
Akbar tidak berhasil, maka dia mencobanya untuk kedua kali.
“BANYU………..!!!!!!” Akbar memanggil sambil berteriak dengan
lantang sampai bibirnya termonyong - monyong.
Percobaan kedua Akbar masih gagal. Karena penasaran Iyan pun
mencoba memanggil Banyu yang waktu itu sedang duduk bersama kakak perempuannya.
“BANYU GENDUT…….!!!!!!” Iyan memanggil sambil berteriak
dengan lantang sampai bibirnya termonyong - monyong.
Kali ini Banyu menyadari panggilan tersebut, sontak dia
langsung mencari – cari asal muasal suara yang terdengar tidak enak itu. Dengan
cepat dia menyadari asal muasal suara tersebut dan dia terkaget ternyata ada
teman – temannya disana. Dia pun langsung memisahkan diri dari kakaknya dan
menghampiri teman – temannya.
“Woi bikin malu aja ditempat umum.” Bentak Banyu.
“Lagi ngapain lu disini?” Tanya Iyan sambil tertawa.
“Gue nemenin kakak gue jalan – jalan.” Jawab Banyu.
“Mau ikutan karoke ga sekarang?” Tanya Iyan.
“Lah bukannya tadi ya?” Banyu bertanya balik.
“Diundur, gak dapet tempat tadi.” Jawab Akbar santai.
“Eh! Ada si Banyu.” Kata Ridhan yang baru kembali.
“Hai Nyu.” Sintia menyapa.
“Hai Ti.” Banyu membalas.
“Dapetnya jam empat nih.” Kata Sintia.
“Gue kayaknya ga bisa ikutan deh, sebentar lagi mau cabut
soalnya.” Banyu menjelaskan.
“Kenape?” Tanya Ridhan.
“Gue harus ketemu nyokap, nyokap gue lagi di Bandung.” Jawab
Banyu.
“Yah, yaudah deh.” Iyan kecewa.
“Jangan kecewa gitu dong Yan, lain waktu deh.” Kata Banyu.
Tidak lama setelahnya Banyu pun akhirnya berpamitan. Hujan
lebat mengantar keberangkatan Banyu. Kota Bandung diguyur hujan sore itu.
Untungnya Banyu dan kakaknya naik mobil jadi mereka tidak kehujanan. Sambil menunggu
giliran, Dewi dan teman – temannya memesan makanan. Ridhan, Iyan dan Akbar hanya
memesan es teh manis karena mereka hanya membawa uang yang pas – pasan. Mereka
bertiga hanya bisa menahan lapar karena tidak bisa makan siang. Mereka pun
berbincang – bincang membicarakan kejadian ketika mereka shalat Jum’at tadi.
Mereka juga membicarakan susahnya mereka mencapai tempat karoke ini. Waktu yang
ditunggu akhirnya tiba. Mereka langsung memasuki ruangan karoke yang sudah
dipesan. Ruangnya cukup besar, terlihat seperti bioskop kecil dengan bangku sofa
yang berjumlah empat baris dan terdiri dari empat sofa setiap barisnya.
Terdapat layar besar didepannya berukuran sekitar satu setengah meter kali dua
meter. Para perempuan memulai permainan, mereka memilih lagu – lagu romantis
favorit mereka masing - masing. Kali ini Ridhan, Iyan dan Akbar masih menjaga sikap,
mereka memilih untuk duduk rapih menyaksikan para perempuan bernyanyi dengan
suara yang pas – pasan. Pada lagu keempat, Dewi memilih lagu Dewa yang berjudul
Sedang Ingin Bercinta lalu berteriak.
“Ayo dong cowok – cowoknya pada nyanyi!.” Teriak Dewi.
Sambil membawa dua mikrofon dia berjalan mendekati tempat
Iyan sedang duduk. Dia langsung memeberikan salah satu mikrofon tersebut kepada
Iyan dan menarik tangannya untuk maju kedepan.
“Liat tuh Bar, si Iyan ga bisa apa – apa kalo digitiun.”
Kata Ridhan sambil tertawa.
Akbar dan Ridhan menertawai Iyan yang terlihat sangat gugup
waktu itu. Pada bagian awal lagu Iyan masih biasa – biasa saja bernyanyinya.
Dia masih kebingungan kali ini. Memasuki bagia reff pertama yang betempo agak
cepat Iyan masih biasa sampai akhirnya tempo kembali melambat.
“Ayo dong Yan, masa cuma segitu aja.” Dewi melecehkan.
Iyan agak terpancing dengan perkataan Dewi, tapi kali ini
dia masih gugup dan masih mencoba untuk tenang. Setelah memasuki reff kedua
tempo kembali naik namun kali ini sangat berbeda. Dewi menggerak – gerakkan
badannya didepan Iyan. Adrenalin Iyan pun langsung terpacu.
“AKU SEDANG INGIN BERCINTA, karena …” Dewi bernyanyi sambil
berjoget.
“MUNGKIN ADA KAMU DISINI, AKU INGIN.” Iyan membalas dengan
nyanyian dan mengikuti Dewi berjoget.
Kali ini Iyan mengeluarkan semua kemampuannya dalam
bernyanyi. Dia sudah tidak menjaga sikap lagi. Ridhan dan Akbar hanya bisa
tertawa melihat kekonyolan yang terjadi. Mereka berdua pun semakin menjadi –
jadi ketika lagu memasuki bagian yang bernada dangdut. Mereka bedua berjoget
bersama, Dewi memutar badannya sehingga kali ini dia membelakangi Iyan. Iyan
berjoget makin kegirangan dibelakang Dewi. Mereka berdua terlihat sangat
menikmati lagu ini. Sampai akhirnya mereka berdua pun menyudahi lagu ini dengan
berteriak bersama.
“MUNGKIN ADA KAMU DISINI! AKU INGIN.” Iyan dan Dewi menutup
lagu dengan sangat puas.
Giliran selanjutnya adalah giliran Ridhan. Dia memilih lagu
The Changcuters yang berjudul Racun Dunia. Ridhan langsung maju kedepan
memberanikan diri. Dia kebingungan, ternyata kali ini dia harus bernyanyi
sendiri.
“Gak ada yang nemenin gue ini?” Tanya Ridhan menggunakan
mikrofon.
Para penonton menjawabnya dengan menggelengkan kepala.
“Yaudah gak apa apa.” Kata Ridhan.
Ridhan pun akhirnya dengan percaya diri bernyanyi sendirian.
Dengan suara yang pas – pasan malah bisa dibilang buruk Ridhan mencoba untuk
bernyanyi. Benar saja para penonton tidak menikmati pertunjukan tersebut.
“SUARA LU ANCUR.” Iyan berteriak
Ridhan tidak meghiraukan dan terus bernyanyi. Dia terus
bernyanyi dengan sepenuh hati sampai lagu habis walaupun para penonton
menyorakinya. Akhirnya para penonton bisa bernafas lega karena Ridhan sudah
selesai bernyanyi. Kali ini adalah giliran Sintia yang berduet dengan Ifa.
Mereka berdua menyanyikan lagu D’Masiv yang berjudul Merindukanmu. Mereka
berdua bernyanyi dengan sepenuh hati, walaupun suaranya pas – pasan. Iyan agak
merasa kecewa karena tempo lagu ini sangat lambat dan terlihat tidak
bersemangat. Ridhan yang merasa kelelahan setelah beteriak – teriak hanya bisa
memperhatikan. Lagu ini membuatnya nyaman dan rileks. Akbar pun merasakan hal
yang sama seperti Ridhan. Tidak biasanya Akbar bisa menikmati lagu cinta yang
mendayu – dayu seperti ini. Perhatiannya tertuju kepada satu orang. Seorang
perempuan berkulit putih, tampangnya lugu seperti anak balita, memiliki pipi
yang merah merona padahal dia tidak memakai make – up, rambutnya panjang
bergelombang sepunggung. Yang tidak lain adalah Ifa. Waktu seperti berhenti
ketika Akbar menikmati lagu yang dinyanyikan oleh Ifa. Walaupun suaranya pas –
pasa, namun Akbar memiliki penilaian sendiri. Detak jantungnya bergerak seirama dengan lagu. Akhirnya setelah lima tahun dia merasakannya lagi.
Merasakan perasaan yang aneh dan berbeda. Sampai akhirnya lagu itu pun selesai
dinyanyikan, para penonton pun memberi penghormatan dengan bertepuk tangan.
Akbar tidak ikut bertepuk tangan, dia hanya terdiam. Namun hatinya berbicara. Dalam
hati Akbar berkata bahwa Ifa itu spesial. Akbar langsung mengajukan diri untuk
bernyanyi, dia memilih lagu Aerosmith yang berjudul I don’t Wanna Miss a Thing.
Dia langsung maju kedepan dan meminta agar tidak ada yang menemaninya. Dia
hanya ini bernyanyi sendiri. Akbar pun memulai lagu dengan percaya diri dan
sepenuh hati. Dia sangat menghayati lirik demi lirik lagu tersebut dengan suara
yang pas – pasan, namun tidak ada yang menyorakinya kecuali Iyan.
“SUARA LU LEBIH ANCUR DARI SI RIDHAN.” Teriak Iyan.
Akbar dengan santai terus bernyanyi dan tidak menghiraukan
teriakan Iyan. Ini adalah ciri khasnya yang selalu cuek dan santai sampai lagu
itu berakhir. Dia mendapatkan penghormatan berupa tepuk tangan dari penonton.
Acara terus dilanjutkan sampai menghabiskan waktu dua jam. Setelah giliran
Akbar, mereka hanya memilih lagu dangdut agar bisa lebih bersemangat. Setelah
acara karokean selesai, mereka pun langsung keluar dari ruangan dan membayar
sewa karoke sampai akhirnya mereka berpisah. Hujan sudah reda ketika mereka
hendak pulang, hanya bersisa gerimis rintik - rintik. Dewi dan teman – temannya
pulang menaiki taksi berwarna biru muda dengan lambang burung. Ridhan, Akbar dan
Iyan pulang menuju Saung Lampung naik motor. Semua berjalan biasa – biasa saja
selama perjalanan menuju Saung Lampung. Ridhan memarkirkan motornya di parkiran
dan membawa helmnya ketika akan ke kamar Ewin. Begitu pun dengan Iyan setelah
memarkirkan motor Toro di parkiran. Akbar menunjukan gelagak yang berbeda. Dia
terlihat gelisah kali ini.
“Minjem korek Bar.” Kata Iyan.
Akbar tidak menjawab, pandangannya datar. Dia seperti
memikirkan seseuatu.
“Bar, minjem korek dong.” Iyan meminta lagi.
“Gue jatuh cinta.” Jawab Akbar dengan berat.
“Hah?” Iyan kebingungan.
“Gue mau ngerokok ini, pinjem korek dong.” Lanjut Iyan.
“Gue mau bikin puisi sekarang.” Kata Akbar sambil
meninggalkan Iyan dan Ridhan dipakiran.
“Bocah sedeng. Pake korek gue aja Yan.” Kata Ridhan sambil
memberikan korek.
Akbar bergegas menuju kamar Ewin meninggalkan Iyan dan
Ridhan di tempat parkir. Dia meminjam pensil dan meminta kertas kepada Ewin.
Dia langsung menuliskan sesuatu di kertas tersebut. Inspirasinya sedang cerah.
Ifan memberikan sangat banyak inspirasi baginya kali ini. Sahabat – sahabatnya
masih kebingungan dengan kelakuan Akbar kali ini. Dalam waktu singkat jadilah
sebuah puisi karangan Akbar. Puisi yang tertuju hanya kepada satu orang, yaitu
Ifa. Akbar langsung menunjukan puisi tersebut kepada sahabat – sahabatnya.
Akbar mendapatkan pujian akan hasil karyanya. Akbar langsung menjelaskan tentang apa yang sedang terjadi pada dirinya. Sahabat – sahabatnya ikut senang atas kejadian ini dan sangat
mendukung Akbar.
Pusi Ba’da Magrib
Aku tidak selalu
memperhatikan
Selama itu tidak
merugikan
Aku tidak peduli akan
keadaan
Selama itu tidak
meresahkan
Tidak peduli siang
malam
Gelap terang
Cerah hujan
Aku tetap melangkah
Kenapa kamu datang?
Ba’da Magrib di kala
hujan
Dan kau merubah
segalanya
Sekarang semua
berbeda
Aku mulai
membutuhkan,
Keberadaanmu
Tidak ingin lagi aku
melangkah,
Jika tanpa kamu
Perhatian ini akan
selalu ada,
Hanya untuk kamu
Ifa, aku peduli
terhadap kamu
Akbar ingin lebih
dekat denganmu
Akbar Firdaus, 2008
Puisi ini dibuat ba’da Magrib jam enam kurang beberapa
menit. Hujan kembali mengguyur kota Bandung ketika Akbar menulis puisi ini.
Kota Bandung pun ikut senang atas apa yang dirasa oleh Akbar kali ini. Adzan
Magrib langsung berkumandang setelah puisi ini jadi. Ridhan, Iyan, dan Akbar
baru sadar kalau mereka melewati shalat Ashar beberapa saat kemudian. Mereka
pun langsung mendapat ceramah singkat dari Toro.