Intermezzo
Malam sudah larut, udara dingin sudah menyelimuti kota
Bandung sedari lama, rokok yang tersedia pun makin menipis, tapi itu semua
tidak mematikan semangat Ewin dan Ridhan untuk bermain game online di warnet
langganan mereka. Saking seriusnya mereka sampai-sampai mereka tidak sadar
setiap rokok yang mereka taruh di asbak habis karena angin yang dihembuskan
oleh kipas angin warnet. Ewin dan Ridhan memang salah satu contoh anak SMA yang
maniak terhadap game online yang sedang populer di masanya. Mereka tidak
menyadari kalau besok harus sekolah jam 7 pagi. Mereka bisa seleluasa itu
karena mereka berdua jauh dari orang tua masing-masing.
“Yah rokok gue abis.” Keluh Ridhan.
“Udah sanah beli lagi biar gue yang bayar, gue lagi seneng soalnya
sukses upgrade senjata nih.” Samber Ewin sambil tersenyum lebar.
Ridhan pun bergegas pergi keluar warnet untuk membeli rokok
setelah menerima uang dari Ewin. Ridhan pun berjalan sendirian menyusuri jalan
yang diterangi oleh kilau-kilau terang lampu jalanan yang waktu itu nampak
sudah sangat sepi. Warung-warung pun sudah tutup, sehingga Ridhan harus
berjalan sedikit jauh untuk mendapatkan rokok. Setelah mendapatkan rokok Ridhan
pun kembali ke warnet.
“Mau sampe kapan nih kita maen win? Udah jam setengah
sebelas loh.” Tanya Ridhan setelah dia menyundut sebatang rokok.
“Sebentar lagi deh, sampe jam sebelas.” Jawab Ewin.
Mereka pun akhirnya melanjutkan main game online lagi. Ewin
masih sibuk hunting agar level karakter gamenya naik, sedangkan Ridhan hanya
chating dengan karakter lain yang sedang online sambil menikmati rokoknya.
Jam sudah menujuk angka sebelas, sesuai dengan perkataan
Ewin, mereka pun menyudahi permainan game online tersebut. Setelah log out
mereka pun membayar biaya sewa komputer di kasir.
“Sekarang kita ngapain nih?” Tanya Ewin setelah menyundut
sebatang rokok.
“Gatau, gue males balik.” Jawab Ridhan.
“Jalan-jalan yuk keliling, kita mulai dari Braga.” Ajak
Ewin.
“Boncengan naek sepedah gunung gue?” Tanya Ridhan.
“Kenapa ngga? Udah lu gue bonceng di besi tengahnya.” Seru
Ewin.
“Yaudah deh hayuk, kita liat kehidupan malam jalanan
Bandung.” Balas Ridhan.
Mereka pun berangkat dari warnet menaiki sepedah gunung
Ridhan. Ewin mengayuh sepedah sekuat tenaga dengan bebat dua kali lipat. Mereka
berboncengan sambil masing-masing merokok. Jalanan sangat sepi waktu itu,
mereka ditemani cahaya lampu jalanan yang berwarna kekuning-kuningan. Udara
dingin malam mendampingi mereka diiringi hembusan angin malam. Mereka melewati
daerah jalan Asia-Afrika, mereka melihat ada banyak wanita berpakaian minim
melambai-lambaikan tangannya di pinggir jalan di bawah jembatan penyebrangan.
Merayu setiap orang yang lewat sambil menawarkan sebuah jasa.
Melihat peristiwa tersebut mereka hanya bisa tertawa dan
akhirnya perjalanan pun sampai ke jalan Braga. Mereka pun menepi di sebuah mini
market. Sepedah di naikan ke atas trotoar dan di parkirkan di dekat tempat
duduk di pinggir jalan. Ewin memasuki mini market tersebut untuk membeli
secangkir kopi hangat dan Ridhan duduk di luar menghabiskan rokoknya.
“Itu tadi rame banget ya di bawah jembatan.” Ridhan membuka
pembicaraan setelah melihat Ewin keluar dari mini market.
“Kenapa? Lu mau nyobain?” Tanya Ewin bercanda.
“Duit gue tinggal 150 ribu sampe akhir bulan, terus awal
bulan masih 2 minggu lagi.” Jawab Ridhan sambil tertawa.
“Gimana kalo gue modalin pengamannya tapi lu yang bayarin
jasanya win?” Tanya Ridhan sambil tersemyum lebar.
“Gila aja lu. Kalo bayarin yang palsu gue bisa, tapi kalo
yang asli kayak yang tadi mah ga sanggup, gue anak kosan Dhan.” Jawab Ewin
ketus.
“Yaudah kita cari yang palsu yuk, tujuan selanjutnya kita ke
Taman Lalu Lintas.” Balas Ridhan sambil tertawa.
Ewin menjawab dengan bahasa Lampung yang Ridhan tidak
mengerti, tapi melihat raut wajah Ewin yang bete Ridhan pun tertawa
terbahak-bahak.
Setelah secangkir kopi hangat yang dipesan habis dinikmati
mereka berdua, perjalanan pun dilanjutkan. Ewin masih pegang kendali kemudi dan
pusat tenaga kayuhan sepedah, Ridhan harus menahan sakit di bokongnya lagi
karena harus duduk di atas besi rangka sepedah. Malam semakin larut, udara
semakin dingin, pembalap-pembalap liar makin sering terlihat, tapi kantuk belum
juga mengalahkan mereka untuk bersepedah di malam hari yang sudah menujukan jam
setengah satu.
Setelah sekitar 20 menit dari keberangkatan Ridhan merasakan
ada yang tidak beres di kedua kakinya. Kakinya terasa seperti tersetrum dengan
voltase rendah, seperti ada banyak semut yang merayap di kedua kakinya.
Ternyata Ridhan mengalami kesemutan, dan Ridhan pun meminta Ewin untuk berhenti
sebentar di pinggir jalan. Ridhan turun dari sepedah lalu duduk di trotoar
untun meregangkan kakinya. Ridhan tidak sadar kalau mereka berdua berhenti di
kawasan Taman Lalu Lintas. Taman Lalu Lintas adalah kawasan yang sering di pakai
oleh para waria untuk mangkal dan menawarkan jasa. Ewin yang sudah mulai sadar
dan merasakan hal yang tidak beres terjadi dengan reflek membanting sepedah
Ridhan yang sedang dia tahan lalu berlari kencang meninggalkan Ridhan. Ridhan
kebingungan melihat tingkah laku Ewin. Tidak beberapa lama terdengar ada suara
langkah yang mendekat ke arah Ridhan yang sedang duduk di trotoar. Dari suara
langkahnya terdengar seperti orang yang menggunakan sepatu high heels. Ternyata
ada dua orang waria yang menghampiri Ridhan.
“Hei ganteng, malem-malem gini kok duduk sendirian di
trotoar?” Tanya salah seorang waria.
“Nanti diculik waria loh.” Lanjut waria satunya lagi.
“Mau olah raga kang.” Jawab Ridhan sambil tersenyum berat
dan memberdirikan sepedahnya.
“Jangan panggil akang dong, panggil neng aja dong ganteng.”
Balas salah seorang waria.
“Olah raga kok jam segini, ga takut turun bero nanti?” Tanya
waria satunya lagi.
“Engga kok neng, saya udah biasa. Pergi dulu ya, dadah.”
Jawab Ridhan sambil bersiap mengayuh sepedahnya.
“Hati-hati di jalan ya ganteng, kamu kalo lagi panik makin
ganteng deh.” Kata salah satu waria tersebut.
Ridhan tidak menghiraukan perkataan perpisahan waria
tersebut dan langsung mengayuh sepedahnya kencang ke arah Ewin berlari. Ridhan
mengayuh sepedah sekencangnya sekuat tenaganya yang masih tersisa di tengah
malam. Ternyata Ewin sedang menunggu Ridhan di trotoar di ujung jalan. Dia
sedang mengatur nafasnya yang terengah-engah. Ridhan yang agak kesal langsung
mengarahkan sepedahnya ke arah Ewin di trotoar.
“Sialan lu! Ninggalin gue sama bencong.” Kata Ridhan kesal.
Ewin sebenarnya ingin tertawa mendengar perkataan Ridhan,
tapi dia harus mengatur nafasnya yang masih belum benar karena sudah berlari.
“Maaf, maaf tadi gue panik banget, dan gue takut banget sama
bencong.” Jawab Ewin sambil tertawa.
“Gue juga takut banget sama bencong. Hampir nangis gue tadi
disana.” Kata Ridhan ketus.
Ewin hanya bisa tertawa terbahak-bahak, sekarang nafasnya
sudah teratur lagi.
“Yaudah, sekarang kemana lagi nih Win? Gue ngantuk, pengen
tidur.” Tanya Ridhan.
“Kita ke kosan gue aja yuk, lu tidur di kosan gue.” Jawab
Ewin.
Mereka pun langsung berangkat menuju kosan Ewin di daerah
Laswi dengan bergegas, karena ternyata dua waria tadi berusaha menghampiri
mereka lagi. Ewin masih pegang kendali kemudi dan pusat tenaga kayuhan sepedah,
Ridhan harus menahan sakit di bokongnya lagi karena harus duduk di atas besi
rangka sepedah. Akan tetapi semua beban tersebut tidak terlalu terasa, yang
terasa adalah rasa panik dihampiri dua orang waria. Waktu menunjukan jam
setengan 2 malam, mereka berdua masih berkeliaran di jalanan kota bandung
berboncengan menggunakan sepedah gunung.
Setelah sekitar 30 menit perjalanan akhirnya mereka pun
sampai di kosan Ewin. Tepat jam 2 malam mereka sampai. Ewin pun memarkirkan
sepedah Ridhan di depan kamarnya. Setelah kunci pintu kamar dibukan oleh Ewin,
Ridhan pun langsung masuk dan loncat ke atas kasur Ewin karena sudah tidak
tahan dengan kantuk yang makin menjadi-jadi. Ewin pun merasakan hal yang sama
dan meminta Ridhan untuk geser sedikit. Mereka pun tidur berdua dalam satu
ranjang. Tidak lama mereka pun terlelap masuk ke alam bawah sadar, dibuai alam
mimpi yang menghampiri mereka. Mereka tidur terlalu larut, sehingga tidak bisa
bangun pagi. Akhirnya mereka pun memutuskan untuk bolos sekolah bersama.
Cerita Manis
Hari ini hari Jum’at, dimana jam sekolah hanya berlangsung
setengah hari. Siswa-siwa diperbolehkan pulang setelah melakukan shalat Jum’at
berjamaah di sekolah. Tidak seperti biasanya hari Jum’at ini cuacanya mendung.
Matahari seperti bersembunyi dibalik awan-awan hitam mendung. Petir pun kadang
terdengar bersautan. Akan tetapi sepertinya langit tidak terlalu marah karena
petir yang terdengar tidak terlalu sering. Langit belum membasahi bumi dengan
hujannya saat Ridhan dan kawan-kawannya akan berangkat ke mesjid sekolah untuk
shalat Jum’at. Akan tetapi setelah imam shalat jum’at mengucapkan salam dan
do’a penutup setelah khotbah langit mulai mengguyur bumi dengan hujannya. Ketika
hujan turun petir yang tadinya bersautan tiba-tiba menghilang dan tidak
terdengar lagi digantikan oleh suara rintik hujan yang merdu dengan aromanya
yang khas. Aroma hujan yang sangat menyejukan dan menenangkan. Langit seperti
memberikan hadiah kepada para siswa yang sudah mulai penat dengan kegiatan
belajar mengajar di sekolah. Mau tidak mau para siswa pun meneduh dulu sebelum
pulang walaupun ada sedikit siswa yang cukup berani menantang hujan agar bisa
pulang. Ridhan dan kawan-kawannya memutuskan untuk tidak menantang hujan dan
pulang. Mereka memutuskan untuk meneduh menunggu hujan reda.
“Pak Ustadz, ujan nih. Shalat udah, berdoa udah, ngapain
dong kita?” Tanya Adit kepada Toro.
“Iya nih, gue ga bisa ke kantin mau jajan.”Kata Banyu.
“Yaudah kita neduh dulu aja di mesjid, kan bisa sambil
dzikir kayak ane dit.” Jawab Toro yang dari tadi memang masih berdzikir.
“Bener tuh kata si ustadz, kita neduh dulu dit, nanti kan
tuh bakal dateng banyak cewek mau pada shalat dzuhur tuh.” Kata Ridhan sambil
tersenyum.
“Oh bener juga ya.” Jawab Adit polos.
“Oh bener juga ya.” Jawab Adit polos.
“Kalian ini pikirannya cewek terus, bersihin tuh otak kalian
ini lagi di mesjid tau.” Ewin menyentak dengan logat sunda bercampur logat
lampung.
“Astagfirullah….” Kata Iyan sambil menggelengkan kepala.
“Gak apa-apa lah win sekali-sekali, malah kalo sambil poker
rame nih neduhnya.” Kata Akbar sambil tertawa.
Tiba-tiba perhatian mereka tertuju ke segerombolah siswa
perempuan yang akan menunaikan shalat dzuhur, hanya Toro yang tidak
memperhatika kedatangan mereka dan diantara perempuan tersebut ada Sigi yang
pernah Ridhan tembak ketima bermain truth or dare di kelas.
“Dhan! Dhan! Ada Sigi tuh.” Spontan Iyan berkata dengan
tidak santai.
“Iya tuh Dhan! Ada Sigi.” Ewin meneruskan dengan lebih tidak
santai daripada Iyan.
“Tadi kata lu kita jangan mikirin cewek win, sekarang lu
malah ngeceng-cengin.” Kata Ridhan sinis.
“Terus kalo ada si Sigi gue haru ngapain coba?” Tanya
Ridhan.
“Lu tembak lagi, tapi serius sekarang mah ga main-main.”
Jawab Banyu.
“Gila! Kalian pada tau kan gue naksirnya ke siapa. Tapi
diliat-liat lucu juga ya si Sigi.” Kata Ridhan.
“Ah lu ini dasar mata keranjang.” Ewin berkata sinis.
Mereka hanya tertawa mendengar celotehan Ewin yang berlogat
sunda bercampur lampung. Mereka pun mengganti topik pembicaraan. Sebenarnya
topiknya tidak jauh, masih tentang siswa-siswa perempuan yang berdatangan ke
mesjid untuk shalat dzuhur. Topik pun bergantian dari siswa perempuan satu ke
siswa perempuan lainnya. Terkadang mereka tertawa terbahak-bahak akibat obrolan
mereka sendiri dan Ewin yang mengingatkan kalau mereka sedang berada di mesjid
dan mesjid adalah tempat ibadah. Karena kegaduhan mereka ciptakan Sigi pun
tersadar ada sesuatu yang tidak benar terjadi di mesjid dan dia hanya melihat
dari kejauhan para pelaku kegaduhan tersebut. Tidak lama hujan pun berhenti.
Mereka memutuskan untuk berpisah pulang ke rumah masing-masing karena sudah
memiliki acara masing-masing saat malam nanti. Adit pulang menggunakan motor
menuju Margahayu bersama Akbar yang rumahnya di Riung Bandung. Toro pulang ke
arah komplek polisi didekat Polwiltabes, Toro adalah anak seorang polisi. Banyu
pulang ke kosannya di daerah Pasteur dengan menggunakan motor. Mereka berempat
berjalan bersama kearah parkiran motor. Sisa tinggal Ridhan, Ewin, dan Banyu
yang memang mereka bertiga tidak punya motor. Mereka pun berjalan bertiga
menyusuri lorong-lorong sekolah, ketika melewati ruang piket guru tiba-tiba
Ewin dipanggil dan menyuruh Iyan dan Ridhan pulang duluan. Mereka berdua pun
berjalan menyusuri lorong kecil menuju gerbang sekolah. Ketika mereka sudah
melewati gerbang sekolah, Iyan melihat Sigi yang sedang berteduh di depan
sebuah ruko sambil mengetik sms di handphonenya. Waktu itu memang hujan turun
lagi namun tidak selebat sebelumnya.
“Dhan ini kesempatan, buruan tuh si Sigi lagi sendirian,
cepetan lu bergerak! Gue pulang duluan ya.” Kata Iyan kepada Ridhan.
Arah pulang Iyan dan Ridhan memang berlawanan sehingga
angkot yang digunakan pun berbeda. Iyan pun langsung naik ke angkot dan
meninggalkan Ridhan. Ridhan pun langsung kebingungan dengan situasi ini. Lalu
dia pun langsung pergi kearah Sigi berteduh. Lalu Ridhan pun membuka
pembicaraan.
“Hei Sigi, sendirian aja?” Tanya Ridhan.
“Keliatannya gimana?” Tanya balik Sigi dengan nada jutek.
“Iya sih sendirian. Kamu pulangnya kearah mana?” Kata
Ridhan.
“Harusnya aku seangkot sama temen kamu si Iyan, cuma aku
sekarang harus ke Buah Batu dulu.” Jawab Sigi.
“Searah dong kita sekarang, ada acara apa gitu di Buah Batu
gi?” Tanya Ridhan.
“Mau ke sodara.” Jawab Sigi singkat padat dan jutek.
“Oh gitu, kamu lagi bete ya?” Jawab Ridhan.
“Kamu tau ga perbuatan kamu sama temen-temen kamu tuh
salah?” Kata Sigi.
“Perbuatan yang mana?” Ridhan kaget.
“Tadi pas di mesjid, kalian berisik di mesjid, tau ga itu
tuh tempat ibadah!” Jawab Sigi.
Setelah berkata seperti itu Sigi langsung mengeluarkan
payung dan meninggalkan Ridhan. Untuk mencapai tempat yang dilewati rute angkot
menuju Buah Batu memang harus berjalan sedikit keujung jalan Lengkong Kecil
dari sekolah. Ridhan yang merasa telah di tegur pun langsung mengejar Sigi dan
mengikutinya di luar payung sambil kehujanan.
“Tapi tadi itu cuma becanda Sigi. Aku minta maaf kalau udah
ngeganggu kenyamanan di mesjid tadi, dan tolong maafin temen-temen aku juga.”
Ridhan mencoba menjelaskan.
Sigi mendengarkan perkataan Ridhan, tetapi dia pura-pura
tidak dengar. Ridhan pun terus mencoba menjelaskan sambil meminta maaf.
Walaupun keliatannya Sigi tidak memperdulikannya Ridhan tetap mengikutinya.
Sampai akhirnya disuatu persimpangan jalan, masih di jalan Lengkong Kecil
langkah Sigi terhenti.
“Maaf harusnya aku ga kayak gini, sinih nanti kamu sakit
gara-gara ujan-ujanan kayak gitu.” Kata Sigi sambil mengajak Ridhan masuk ke
payung.
“Kamu tau daerah Rajamatri di Buah Batu? Rumah sodara aku
disitu.” Lanjut Sigi sambil memberika handuk kecil kepada Ridhan.
“Iya aku tau, aku anter kamu kesana ya.” Jawab Ridhan.
Sigi hanya menggangguk sambil tersenyum. Mereka pun berjalan
berdua dibawah payung ketika hari sedang hujan. Ridhan membuka baju seragam
muslim untuk hari Jum’atnya, dia sudah memakai kaos oblong untuk baju dalam
sebelumnya, dan memakai jaket yang dia bawa. Lalu Ridhan memegang payung yang
melindungi mereka berdua dari hujan. Mereka berjalan berdua sambil terus
mengobrol. Banyak topik yang dibicarakan. Ternyata rumah Sigi itu dekat dengan
rumah Iyan, sama-sama didaerah Gatot Subroto. Dan banyak lagi topik yang mereka
bicarakan sampai akhirnya sampai di rumah sepupunya Sigi, mereka pun berpisah.
Ridhan dipinjami payung karena waktu itu hari masih hujan dan dia memutuskan
untuk pulang karena dia terlalu malu kalau untuk ikut berkunjung, padahal Sigi
sudah mengajaknya.
Dilain tempat dan di waktu yang hampir bersamaan, Ewin
dipanggil ketika melewati ruang piket guru. Yang memanggil dia adalah seorang
guru yang sedang PKL di sekolah. Guru itu masih muda, dia adalaha mahasiswa
yang sedang praktek mengajar. Beliau bernama Ibu Lia. Ibu Lia memang sudah
sangat dekat dengan Ewin. Ewin sengaja dipanggil karena memang ada sedikit
urusan, dan urusan ini sebenarnya non-akademik.
“Hei win, bisa kesini dulu sebentar.” Kata Bu Lia.
“Ada apa bu?” Tanya Ewin sambil menghampiri ruang piket
guru.
“Win gue balik duluan ya, takut ujan lagi euy.” Kata Iyan.
“Iya win gue juga duluan ya.” Sambung Ridhan.
“Yaudah kalian duluan aja, gue mau ngobrol dulu sama Bu
Lia.” Kata Ewin.
Ridhan dan Iyan pun meninggalkan Ewin bertiga di ruang piket
dengan Bu Lia dan salah seorang siswa perempuan. Sebenarnya daritadi Bu Lia
tidak sendiri di ruang piket, dia ditemani oleh seorang siswa perempuan.
“Belum pulang bu?” Ewin membuka pembicaraan.
“Belum win, hujan soalnya.” Jawab Bu Lia.
“Eh win, ada yang mau kenalan nih anak kelas satu.” Kata Bu
Lia sambil tersenyum sambil melirik kearah seorang siswa perempuan tersebut.
“Siapa bu?” Tanya Ewin sambil tersenyum malu-malu.
“Ini namanya Nisa katanya dia udah lama pengen kenalan sama
kamu win, cuma dia malu kalau kenalan langsung sama kamu win jadi minta tolong
ibu.” Jawab Bu Lia.
“Nis hayo kenalan, tuh Ewin udah ada disini.” Bu Lia
membujuk.
“Kenalin kak, namaku Nisa.” Kata Nisa sambil menjulurkan
tangannya kearah Nisa sambil malu-malu.
“Iya namaku Ewin jangan panggil kakak, panggil nama aja ya,
umur kita kan gak beda jauh.” Jawab Ewin sambil tersenyum malu-malu.
Melihat kejadian tersebut Bu Lia hanya bisa tertawa. Lalu Bu
Lia pun menjelaskan yang sebenarnya kalu Nisa sudah sering curhat kepadanya dan
menanyakan Ewin kepada Bu Lia. Nisa tau kalau Bu Lia dekat dengan Ewin jadi
Nisa sering menanyakan tentang Ewin kepada Bu Lia. Mereka berkenalan dan mulai
mencari tau satu sama lain tentang keberadaan masing-masing. Rumah Nisa
ternyata berada di Kopo. Lalu Ewin menjelaskan kalau dia tinggal jauh dari
orang tuanya. Orang tua Ewin berada di Lampung, di Bandung dia menyewa kamar
kost di daerah Lengkong Kecil, Ewin sudah pindah kost-an ke daerah Lengkong
Kecil agar lebih dekat ke sekolah. Banyak topik yang mereka bicarakan, sampai
akhirnya Ewin dan Nisa pamit pulang kepada Bu Lia. Ewin langsung akan
mengantarkan Nisa ke Kopo menggunakan kendaraan umum. Ketika mereka berdua
melewati gerbang sekolah hujan tiba-tiba hujan turun lagi. Mereka pun berteduh
sejenak di depan sebuah ruko. Lalu Ewin melihat sosok yang dia kenal di
kejauhan, sosok yang dia kenal itu adalah Ridhan yang sedang hujan-hujanan
mengejar Sigi yang menggunakan payung.
“Kenapa itu bocah? Ngejar-ngejar cewek sampe ujan-ujanan
gitu. Dasar mata si mata keranjang.” Kata Ewin dalam benaknya sambil melihat
kearah Ridhan dikejauhan.
“Kenapa win? Pulang yuk, aku bawa payung nih.” Ajak Nisa.
“Gak apa-apa nis. Hayuk kita pulang, tapi kita jangan lewat
sana ya, angkotnya suka ngetem.” Jawab Ewin sambil menunjuk kearah rute angkot
Buah Batu.
“Iya deh gak apa-apa.” Jawab Nisa sambil tersenyum.
Ewin dan Nisa pun berangkata, akan tetapi Ewin mengajak Nisa
memilih jalan pintas melewati gang-gang kecil dan mencegat angkot di tempat
lain agar tidak berpapasan dengan Ridhan yang sedang dalam masalah. Ewin
memutuskan untuk tidak ikut campur dengan urusan Ridhan yang Ewin pikir telah
membuat marah seorang perempuan akibat perbuatannya. Ewin pun mengantarkan Nisa
dibawah rintik-rintik hujan. Ewin memegang payung milik Nisa yang melindungi
mereka dari hujan. Ewin waktu itu belum tau letak Kopo dimana. Yang Ewin tau
dia harus melindungi dan menemani Nisa selama perjalannya pulang ke rumah.
Perjalanan dari Lengkong Kecil ke Kopo dan balik lagi ke Lengkong Kecil itu
tidak ringan. Untuk mengantarkan Nisa sampai ke rumahnya saja Dia harus
menempuh waktu sekitar 3 jam perjalanan menggunakan kendaraan umum. Sekitar jam
5 sore mereka sampai di Kopo. Ewin beristirahat sejenak di rumah Nisa sambil
menunggu waktu magrib dan ikut shalat magrib di rumah Nisa. Setelah shalat
magrib Ewin pamit untuk pulang. Perjalanan pulang tidak seberat ketika
perjalanan berangkat karena jalanan sudah mulai terurai. Akan tetapi karena
jaraknya yang jauh Ewin tiba di kost-annya sekitar jam 8 malam. Handphone Ewin
berbunyi ketika dia baru saja sampai kamarnya. Ternyata itu adalah sms dari
Nisa.
“Kamu udah sampe kosan kan? Aku khawatir win.” Isi dari sms
tersebut.
Ewin merasakan sangat lelah ketika sampai, akan tetapi ada
sesuatu yang membuat rasa lelahnya itu hilang dan berubah menjadi sebuah
semangat yang menggebu-gebu. Rasa semangat untuk melanjutkan hidup di dunia.
Ada sesuatu yang mengubah jalan hidup Ewin. Dan Ewin merasa telah menjadi
seorang laki-laki yang paling beruntung di dunia.
Kesokan harinya, ketika hari Sab’tu malam. Ewin, Ridhan,
Banyu, Iyan, Toro, dan Akbar mengunjungi rumah Adit. Mereka memang sudah
merencanakan akan berkumpul dirumah Adit. Mereka berkumpul dan menginap di
rumah Adit, karena hanya Adit yang tidak bisa keluar malam-malam. Dia tidak
diizinkan oleh orang tuanya untuk keluar malam-malam. Ada banyak agenda yang
mereka lakukan dari mulai main playstation, main poker sambil ditemani rokok dan
kopi, dan sebagainya sampai larut malam. Akhirnya mereka memutuskan untuk tidur
di kamar Adit berbarengan. Sebelum tidur ada sedikit topik yang mereka
obrolkan.
“Jum’at kemaren gue keujanan pas pulang bareng si Akbar,
sial banget emang.” Adit membuka pembicaraan.
“Lu bukannya neduh dulu lagi dit, malah terabas aja.” Lanjut
Akbar.
“Kagok soalnya bar, kan enak tuh kebut-kebutan sambil
ujan-ujanan.” Jawab Adit sambil tertawa.
“Gue juga keujan tuh kemaren, makanya sekarang gue flu.”
Kata Banyu yang daritadi sudah bersin-bersin.
“Ane juga keujanan nyu, untungnya rumah ane ga sejauh
kost-an ente ya.” Kata Toro sambil tertawa.
“Untung gue neduh di angkot, jadi ga keujanan.” Kata Iyan
sambil tertawa.
“Kemaren gimana dhan? Jadi nganterin Sigi?” Tanya Iyan ke Ridha.
“Jadi, tapi sempet keujanan dulu.” Jawab Ridhan.
“Oh kemaren itu lu mau nganterin Sigi ya dhan?” Tanya Ewin.
“Iya win, eh lu kemaren kenapa di panggil Bu Lia?” Tanya
Ridhan.
“Ada anak kelas satu yang mau kenalan sama gue.” Jawab Ewin
sambil tersenyum lebar.
Lalu Ewin pun menceritakan kalau dia dikenalkan dengan Nisa
kepada teman-temannya. Mendengar cerita Ewin sebenarnya teman-temanya sedikit
tidak percaya. Akan tetapi setelah Ewin menunjukan sms dari Nisa mereka baru
percaya. Lalu Ewin menceritakan kalau sekarang dia sudah tidak jomblo lagi. Dia
sudah menjadi pacarnya Nisa. Jadi setelah Nisa mengirim sms kepada Ewin ketika
dia baru sampai kamarnya, Ewin langsung menelepon Nisa. Diawali dengan sedikit
basa-basi Ewin langsung menembak Nisa, dan Nisa pun menerimanya.
“Wah jadi lu punya pacar sekarang win? Gamau tau ah, lu
harus teraktir kita, kalau ngga lu kita telanjangin terus lu kita suruh tidur
di teras.” Canda Akbar.
Mereka pun tertawa dilanjutkan dengan candaan-candaan
lainnya sebelum tidur. Agak lama mereka pun tidur setelah pintu kamar Adit diketok
oleh Ibunya Adit dan menyuruh mereka untuk tidur. Ketika pagi hari Ewin
meneraktir teman-temannya itu sarapan bubur di dekat rumah Adit. Tukan bubur
tersebut sudah direkomendasikan oleh Adit. Sendau gurau selalu terlihat kalau
mereka sudah berkumpul. Akhir pekan ini Ridhan dan Ewin memang sedang
beruntung, tetapi Ewin lebih beruntung karena dia bisa memanfaatkan keuntungan
yang dia dapatkan.
Akhir Taun Kedua
Suasana hening tercipta didalam kelas. Kelas yang biasanya
selalu ramai dengan suara-suara murid dan guru yang sedang melakukan kegiatan
belajar mengajar kali ini tidak terdengar. Pak Deni yang merupakan guru
matematika duduk manis di meja guru sambil menulis sebuah catatan catatan
kecil. Matanya kadang memperhatikan murid-murid kadang juga kembali
memperhatikan catatannya lagi. Kadang terdengar suara langkah kaki guru piket
yang melewati koridor depan kelas. Guru piket tersebut datang ke setiap kelas
untuk memberikan suatu berkas kepada guru yang bertugas di kelas. Suasana waktu
itu sangat dingin ditambah lagi dengan cuaca dingin ketika pagi hari di kota
Bandung. Walaupun pagi itu cerah sampai terlihat ada cahaya matahari yang masuk
kedalam kelas melalui jendela dan celah-celah ventilasi, namun udara yang
terasa tetap saja dingin. Pak Deni yang terlihat bangun dari bangku tempatnya
duduk di meja guru. Dia berjalan kearah depan kelas sambil memperhatikan
murid-murid. Dia berhenti sebentar di dapan papan tulis, lalu berjalan lagi
menuju ke belakang kelas. Masih tetap sambil memperhatikan murid-murid. Dia
berhenti sejenak disamping tempat duduk Rachmi.
“Kamu bisa mengerjakannya nak?” Tanya Pak Deni sambil
tersenyum.
“Hmm.. Bisa pak.” Jawab Rachmi sambil masih menulis.
Lalu Pak Deni berjalan lagi, kali ini makin kebelakang
kelas. Terus kebelakang dengan langkah pelannya. Makin lama makin mendekat ke
tempat Ridhan dan teman-temannya duduk. Gerak-gerik Pak Deni sebenarnya sudah
diperhatikan oleh Akbar. Ketika Pak Deni sudah terlihat mendekat dan posisinya sudah
masuk kedalam zona tidak aman, Akbar langsung memberikan sinyal isyarat kepada
teman-temannya. Teman-temannya yang lain pun langsung menerima sinyal tersebut
lalu langsung bersikap biasa, seakan-akan tidak ada apa-apa. Ditempat yang
berbeda namun pada waktu yang sama, di posisi depan terlihat kertas beterbangan
dari meja ke meja. Pak Deni tidak menyadari itu karena dia sedang sibuk
memperhatikan bagian belakang kelas dan posisinya membelakangi posisi depan
kelas.
“Kamu kerjain sendiri yang bener! Kalau kamu nyontek saya
suruh kamu ngerjain di ruang guru!” Kata Pak Deni kepada Ridhan.
“Iya pak.” Jawab Ridhan sambil berpura-pura menulis di
kotretan.
Sikap Pak Deni memang agak berbeda kepada siswa yang duduk
diposisi belakang. Tidak hanya Ridhan yang ditegur, tetapi siswa yang duduk
dibelakang lain pun bernasib sama. Di posisi depan Shifa menyobekan kertas
kecil dari bukunya lalu menuliskan sebuah pesan di kertas tersebut. Setelah
menuliskan pesan dia pun langsung meremas kertas tersebut sampai berbentuk bulat
dan melemparkannya kearah Ayu. Ayu adalah siswa yang terkenal paling rajin
dikelas, nilai hariannya pun diatas rata-rata. Pada percobaan Shifa yang
pertama ini dia gagal, karena kertas yang dia lempar terlalu jauh melewati
tempat duduk Ayu. Kertas tersebut malah sampai ke tempat Sigi. Sigi langsung
membuka kertas tersebut. Isinya pesan tersebut ternyata Shifa ingin meminta
jawaban nomer 3 dan 5. Rachmi sempat tertawa kecil sambil menutup mulut setelah
membaca pesan tersebut. Lalu dia langsung menuliskan sesuatu di kertas itu,
lalu meremasnya dan melemparkan kearah Shifa. Shifa yang berpikir Sigi tau
jawabannya langsung membuka kertas tersebut. Dia malah kaget setelah menbaca
pesan dari Sigi.
“Mau pinter? Makanya belajar!” Isi pesan dari Sigi.
Shifa pun geram lalu dia hanya bisa bergumam sambil melihat
kearah Sigi yang sedang menahan tawanya. Shifa tidak patah semangat, dia
mencoba sekali lagi. Kali ini dia lebih berhati-hati. Cara dia melemparkan
kertas pun sekarang lebih dengan penuh perasaan. Dia mengambil ancang-ancang
untuk melempar sambil menempatkan posisi Ayu. Kali ini lemparannya pas, namun
mengenai gagang kacamata Ayu yang menggantung di mukanya. Ayu pun langsung
kesal dan mencari siapa pelakunya. Namun dia tidak menemukan pelakunya karena
Shifa langsung membuang muka setelah melihat kesalahan yang dia perbuat dan
juga dia sudah menyadari kalau Pak Deni mulai bergerak ke posisi depan dan akan
kembali ke meja guru lagi. Sial benar memang nasib Shifa. Dia tidak bisa
berbuat apa-apa. Di sisa waktu dia jadi hanya bisa menunggu pertolongan Mega
teman sebangkunya. Mega pun hanya mampu mengerjakan seadanya. Ketika Pak Deni
kembali ke meja guru, siswa-siswa yang duduk di posisi belakang mulai merasa
lega. Mereka merasa lega karena bisa mengerjakan ujian dengan tenang. Seperti
itulah keadaan kelas ketika sedang melaksanakan ujian akhir sekolah untuk
kenaikan kelas. Masa belajar mengajar di sekolah memang sudah memasuki akhir
semester genap. Yang dimana akan dilakukan ujian akhir sekolah untuk kenaikan
kelas. Semua siswa menanggapi serius dengan ujian ini, karena jika gagal
kemungkinan kejadian buruk akan terjadi. Kejadian buruk tersebut adalah tidak
naik kelas. Kejadian burut tersebut memang sudah diwanti-wanti oleh wali kelas
dari jauh hari. Kira-kira dua minggu sebelum ujian dilaksanakan, Ibu Titi yang
merupakan wali kelas XI IPA 4 sudah mewanti-wanti. Dia mengatakan bahwa ada 6
siswa di kelas yang merupakan calon tidak naik kelas. Dia mengatakan hal
tersebut setelah dia mengumumkan berita baik tentang Ayu, Ewin, dan Toro yang
lolos seleksi olimpiade Kimia sekota Bandung sebagai wakil dari sekolah. Ibu Titi
tidak menyebutkan siapa saja nama siswa-siswa yang merupakan calon tidak naik
kelas tersebut. Karena begitu siswa-siswa di kelas jadi cemas akan masa depannya
masing-masing. Mereka semua ingin naik kelas. Mereka juga ingin semua teman
sekelasnya naik kelas. Ridhan dan teman-temannya menanggapi santai pengumuman
tersebut. Mereka memilih untuk tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Sampai
suatu ketika, sekitar beberapa hari setelah pengumuman Ibu Titi handphone
Ridhan bergetar dan terdengan nada sms masuk. Hari itu hari Minggu pagi. Ridhan
tidak terlalu mengacuhkan sms tersebut karena dia masih merasa mengantuk
setelah bergadang bersama teman-temannya semalam. Ridhan pun melanjutkan
tidurnya sampai akhirnya dia terbangun jam 11 siang. Itu pun setelah dia
dibangunkan neneknya karena sudah hampir masuk waktu dzuhur. Setelah bangun dia
pun langsung memeriksa handphonenya ternyata ada beberapa misscall dan sms yang
masuk. Ternyata teman-temannya banyak yang berusaha menghubunginya ketika dia
masih tidur. Lalu Ridhan memeriksa inbox. Banyak sms masuk yang isinya
menanyakan keberadaannya. Ada salah satu sms masuk dari nomor yang Ridhan tidak
kenal, lalu dia pun membukanya.
“Nanti jam 11 kamu menghadap saya ya di rumah saya. Ada
sesuatu yang akan dibicarakan. –Ibu Titi.” Isi sms tersebut.
Ridhan pun kaget bukan kepalang, dia langsung bergegas lari
ke kamar madi. Dia langsung mandi. Dia mandi tidak selama biasanya, hanya dalam
5 menit dia sudah selesai mandi. Setelah mandi dia langsung terburu-buru
mempersiapkan diri. Dia memakai kemeja dan celana jeans yang dipakainya semalam
ketika berkumpul dengan teman-temannya. Setelah siap dia langsung berpamitan
dengan neneknya. Dia berjalan tergesah-gesah menuju jalan utama Buah Batu untuk
naik angkot. Didalam perjalanan di angkot dia menanyakan alamat Bu Titi.
Setelah dapat dia langsung mencari alamat tersebut. Untungnya rumah Bu Titi
tidak terlalu jauh dari rumah neneknya. Setelah waktu menunjukan jam setengan
12 dia sampai didepan rumah Bu Titi. Rumahnya sederhana, minimalis. Terlihat
gerbang rumah yang dibenteng berwarna putih. Ada kolam ikan kecil di halamannya
yang terlihat dari luar. Ada sepasang kursi rotan di terasnya dilengkapi meja
kecil diantara kursi tersebut. Di terasnya pun terdapat lampu klasik yang
menggantung. Pintu gerbangnya terbuka, Ridhan pun masuk pelan-pelan sambil
mencari tombol bel. Setelah menemukan tombol bel dia pun langsung memencetnya.
Dia memencet sekali tetapi belum ada respon dari pemilik rumah, dia pencet dua
kali masih belum ada respon. Setelah kelima kali pemilik rumah baru keluar dan
menghampiri Ridhan. Yang keluar bukan Ibu Wati, akan tetapi anaknya yang
bernama Anggi. Anggi bersekolah di SMA yang sama dengan Ridhan akan tetapi
berbeda kelas.
“Eh Ridhan, hayo masuk dhan. Udah ditungguin daritadi.” Kata
Anggi.
“Iya nggi. Maaf telat.” Kata Ridhan malu-malu.
Ridhan pun langsung masuk, dia melewati halaman rumah yang
terdapat kolam ikan kecil. Lalu memasuki teras. Ketika di teras dia melihat ada
banyak sepatu berjajar. Setelah dihitung ada 5 pasang sepatu dan 4 diantaranya
dikenali oleh Ridhan. 4 sepatu tersebut adalah sepatu laki-laki dan satunya
lagi adalah sepatu perempuan. Dia pun masuk melewati ruang tamu yang dipenuhi
oleh hiasan interior rumahan. Ridhan dipersilahkan masuk ke ruang keluarga.
Ridhan kaget karena melihat ada Iyan, Akbar, Adit, dan Banyu disitu. Dan ada
satu lagi perempuan disitu yang dia kenal, perempuan itu adalah Shifa.
“Kemana aja kamu? Ayo sekarang silahkan duduk.” Kata Bu Titi
sambil tersenyum.
“Anggi, tolong bikinin jus satu lagi.” Pinta Bu Titi kepada
Anggi.
Anggi yang mendengar perintah dari ibunya langsung melakukan
perintah yang diminta. Tidak beberapa lama Anggi datang dan membawakan segelas
jus jeruk untuk Ridhan.
“Saya rasa kalian sudah tau kenapa kalian saya kumpulkan
sekarang.” Bu Titi membuka pembicaraan.
“Memang ada apa ya bu?” Tanya Banyu.
“Tempo hari kan ibu pernah mengumumkan kalau ada 6 orang
siswa yang kemungkinan besar tidak akan naik kelas. Nah, 6 siswa itu kalian
ini.” Jawab Bu Titi.
“Kok begitu bu?” Tanya Shifa.
“Ada banyak komplain dari guru-guru yang lain kepada saya
tentang kalian. Dari mulai tingkah laku kalian sampai nilai pelajaran kalian di
kelas.” Jawab Bu Titi.
“Seperti contohnya Ridhan selalu mendengarkan mp3 ketika
guru mengajar, Akbar yang selalu telat kalau datang ke sekolah. Dan yang pasti
nilai pelajaran kalian itu kurang memuaskan.” Tambah Bu Titi.
Mereka berenam hanya bisa terdiam setelah divonis seperti
itu. Divonis sebagai calon tidak naik kelas. Didalam diam tersebut mereka
berpikir. Apa yang harus mereka lakukan sekarang? Mereka kebingungan.
“Loh kok malah pada diem? Udah sekarang yang penting kalian
harus mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian. Kalian itu baru calon tidak
naik kelas, belum tentu juga kalian bakal tidak naik kelas.” Bu Titi memecah
kesunyian.
Setelah mendengar perkataan Bu Titi mereka langsung merasa
agak lega. Tidak lama Anggi memberi tau kalau makan siang sudah siap. Ternyata
Anggi sedang masak daritadi. Anggi sengaja masak karena sudah diperintahkan
oleh Bu Titi. Karena akan kedatangan tamu Bu Titi menyuruh Anggi untuk masak.
Mereka berenam dipersilahkan untuk makan bersama Bu Titi dan Anggi. Suami Bu
Titi sedang keluar kota sehingga dia hanya berdua di rumah bersama Anggi.
Mereka makan siang bersama sambil sesekali bercanda dan tertawa. Ketika waktu
menunjukan jam 3 sore mereka pun pamit pulang ke rumah masing-masing. Tidak
terasa mereka sudah melewatkan waktu bersama. Setelah sampai dirumah Ridhan
langsung berpikir dia harus bisa memanfaatkan waktu yang tersisa sekitar
seminggu lagi dengan maksimal. Dia bertekad memperbaiki diri.
Ujian berlangsung dalam waktu dua minggu. Setelah ujian
selesai siswa-siswa diberi waktu libur. Lalu seminggu kemudia diadakan
pembagian rapot. Semua orang tua siswa diundang. Untuk Ridhan, Iyan, Akbar,
Adit, Banyu, dan Shifa waktu pembagian rapot adalah waktu yang paling
mendebarkan. Mereka harap-harap cemas. Mereka berharap bisa naik kelas, akan
tetapi tidak yakin sehingga cemas. Dan akhirnya tiba lah waktunya. Ridhan
berangkat ke sekolah bersama kedua orang tuanya yang datang dari Tangerang ke
Bandung. Ridhan tidak menceritakan tentang pertemuannya dengan Bu Wati kepada
kedua orang tuanya karena dia terlalu takut untuk bercerita. Ridhan masuk ke
mobil yang dibawa oleh orang tuanya, dia duduk di jok belakang dan kedua orang
tuanya duduk didepan. Perjalanan ke sekolah tidak terlalu lama meskipun jalan
agak macet. Setelah sekitar setengah jam mereka akhirnya sampai. Mereka bertiga
pun langsung mencari kelas Ridhan untuk mengambil rapot. Setelah sampai di
depan kelas, kedua orang tua Ridhan pun langsung masuk ke kelas dan Ridhan
menunggu diluar bersama teman-temannya yang datang. Ridhan menunggu agak lama
diluar. Sekitar 45 menit. Lalu kedua orang tua Ridhan keluar dan memberi tau
kalau Ridhan naik kelas. Dia pun sangat bersyukur setelah mendengarnya. Dia
sangat senang karena kerja kerasnya tidak berakhir sia-sia. Perasaannya sama
seperti Iyan, Adit, dan Akbar yang sebelumnya sudah menerima rapot terlebih
dulu daripada Ridhan. Tinggal Banyu dan Shifa yang belum menerima rapot. Ridhan
mempersilahkan kedua orang tuanya pulang duluan karena dia masih ingin di
sekolah menunggu pengumuman tentang Banyu dan Shifa. Tidak lama berselang Orang
tua Banyu keluar membawa rapot dan memberi tau kalau Banyu naik kelas, disusul
orang tua Shifa yang juga membawa berita baik tentang Shifa. Mereka berenam
naik kelas. Motifasi dari Bu Titi cukup ampuh untuk membangkitkan semangat
belajar mereka. Mereka sangat bahagia saat ini, sampai Shifat menangis terharu.
Ewin dan Toro yang sudah dipastikan naik kelas pun memberi selamat. Rachmi pun
tak ingin ketinggalan, dia pun memberikan selamat. Saking bahagianya, Akbar
berjanji akan meneraktir satu batang rokok kepada teman-temannya. Ditengah
kebagiaan penuh suka cita tersebut Sigi datang menghampiri Ridhan.
“Seneng banget sepertinya dhan?” Sigi membuka pembicaraan
sambil tersenyum.
“Keliatannya gimana?” Ridhan menanya balik sambil tertawa.
“Selamat ya, ternyata seorang pembuat onar di mesjid bisa
juga ngerubah diri.” Kata Sigi sambil tersenyum.
“Makasih ya Sigi, ga ada yang ga mungkin di dunia ini gi.”
Kata Ridhan sambil tersenyum.
“Eh makan es campur di ujung jalan Lengkong Kecil yuk gi,
aku sama anak-anak yang teraktir nih.” Ajak Ridhan kepada Sigi.
Sigi pun mengangguk mengisyaratkan kalau dia mau ikut.
Ridhan bersama Sigi, Iyan, Akbar, Ewin, Toro, Adit, Banyu, Rachmi, dan Shifa
pun pergi ke tukang es campur yang berada di ujung jalan Lengkong Kecil
bersama-sama.
“Eh gue ngajak pacar gue ya.” Kata Ewin.
“Iya cepet ajak si Nisa juga win.” Saut Ridhan.
Mereka merayakan syukuran kecil-kecilan di sebuah kios es
campur. Mensyukuri hasil dari kerja keras yang tidak sia-sia. Mensyukuri nikmat
dan karunia-Nya yang tidak pernah habis. Mensyukuri hubungan persahabatan yang
erat diantara mereka.
“Eh gi, sekarang kita udah kelas 3 loh. Paling senior kita
sekarang.” Kata Ridhan sambil tertawa.
“Berarti nanti kita harus belajar lebih rajin lagi dhan,
soalnya bakal berhadapan dengan UN dan SNMPTN. Dua ujian itu lebih susah
daripada UAS loh dhan.” Jawab Sigi.
“Bener tuh kata si Sigi, dengerin tuh kata dia, dasar lu
mata keranjang.” Canda Ewin kepada Ridhan.
Mereka pun tertawa bersama setelah mendengar candaan Ewin.
Momen bahagia seperti ini, ketika mereka bisa tertawa lepas bersama, tertawa
lepas ketika mereka saling berbagi. Pasti akan mereka rindukan di masa depan
nanti. Sebuah momen yang akan selalu mereka ingat sampai kapan pun.
End Of Part 3